Internasional

Ilmuwan Klaim Banyak Hasil Penelitian Covid-19 Cacat?

Lynda Hasibuan, CNBC Indonesia
02 October 2020 09:52
Pengemudi ambulan berpakaian hazmat atau alat pelindung diri (APD) yag membawa pasien orang tanpa gejala (OTG) di Hotel Yasmin, Karawaci, Kelurahan Binong, Kecamatan Curug, Kebupaten Tangerang, Senin (28/9/2020). (CNBC Indonesia/Tri Susilo) 

Seminggu beroperasi, satu gedung di Hotel Yasmin, Karawaci, Kelurahan Binong, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang yang dijadikan tempat isolasi atau rumah singgah untuk pasien orang tanpa gejala (OTG) virus corona atau Covid-19 Kabupaten Tangerang penuh. 

Pantauan CNBC Indonesia, dalam sehari ada 30 lebih pasien (OTG) yang datang untuk diberikan perawatan. 

Penanggung jawab medis rumah inggah OTG Covid-19 Kabupaten Tangerang, Muchlis menjelaskan,
Foto: Pelayanan Pasien OTG di Hotel Yasmin (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 telah menciptakan lonjakan dalam studi ilmiah. Namun sayangnya banyak studi diklaim cacat.

Itu karena para peneliti terlalu terburu-buru menerbitkan hasil. Meskipun tanpa pengawasan yang memadai.

Sejak virus corona baru muncul akhir tahun lalu, ada lebih dari 4.000 makalah akademis yang berkaitan dengan virus tersebut. Banyak di antaranya telah muncul online tanpa memanfaatkan proses peninjauan sejawat penuh.

Dalam Journal of Medical Ethics, Katrina Bramstedt seorang profesor di Fakultas Ilmu Kesehatan dan Kedokteran Universitas Bond, Queensland, memperingatkan ini. Bahwa penelitian yang terburu-buru atau tidak akurat tentunya dapat membahayakan nyawa.

"Kerusakan pasien yang signifikan, permanen dan tidak dapat diubah dapat terjadi akibat penggunaan hasil penelitian yang salah dari pra-cetak serta makalah yang diterbitkan," tulisnya seperti dilansir Channel New Asia, Jumat (2/10/2020).

Pada akhir Juli, setidaknya ada 19 artikel yang diterbitkan dan 14 yang pra cetak terkait Covid-19 yang ditarik kembali atau ditandai dengan ekspresi keprihatinan. Sebagian besar hal itu terjadi di Asia, dengan China sendiri yang bertanggung jawab atas 11 penarikan.

Salah satu pencabutan profil yang paling terkenal adalah dari makalah yang diterbitkan di jurnal medis The Lancet tentang keefektifan mengobati pasien Covid-19 dengan obat anti-arthritis hydroxychloroquine (hidroklorokuin).

Penelitian yang dirilis pada bulan Mei, mendorong Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menghentikan uji coba hydroxychloroquine setelah hasilnya menunjukkan bahwa obat tersebut tidak memiliki efek positif pada individu yang dirawat di rumah sakit dan kemungkinan berujung kematian.

Studi tersebut ditarik setelah sekelompok ahli mengemukakan masalah metodologis dan integritas data tentang hal itu. Pada bulan September, The Lancet mengatakan telah memperkuat sistem tinjauan sejawatnya untuk memastikan setidaknya satu pengulas adalah pakar di bidang penelitian yang dimaksud.

Studi lain yang dikeluarkan The Lancet yakni terkait potensi vaksin Rusia yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan ilmuwan dunia atas kurangnya data keamanan. The Lancet juga telah meminta klarifikasi studi tentang potensi vaksin Covid-19 Rusia setelah penelitian mereka berada di bawah pengawasan.

Bramstedt mengatakan bahwa para ilmuwan berada di bawah tekanan yang meningkat untuk melakukan penelitian di ruang publik saat dunia berpacu menuju pengobatan dan vaksin Covid-19 yang efektif. "Penelitian biasanya terjadi pada kecepatan maraton, tetapi selama pandemi, kecepatannya lebih seperti lari cepat," tulisnya.

Dia mengatakan pandemi telah menciptakan gelombang manuskrip, sesuatu yang sedang diperjuangkan oleh armada peninjau jurnal. "Tidak ada tim peneliti yang dibebaskan dari tekanan dan kecepatan penelitian Covid-19. Dan ini dapat meningkatkan risiko kesalahan jujur serta pelanggaran yang disengaja," kata Bramstedt.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 3 Negara dengan Positivity Rate Tertinggi Saat Tiba di RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular