
Uji Coba Sukses, Pengembangan Energi D-100 Butuh Insentif

Jakarta, CNBC Indonesia - Green diesel atau D-100 merupakan bahan bakar pertama di Indonesia yang terbuat dari 100% bahan nabati. Namun untuk memproduksinya butuh ongkos yang mahal.
Deputy CEO PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Budi Santoso Syarif mengatakan perlu ada insentif dalam penggunaan bahan bakar minyak yang ramah lingkungan.
Ia menyebut bentuk insentifnya mungkin akan berbeda-beda bentuknya. Misalnya untuk fatty acid methyl ester (FAME) mendapatkan insentif badan pengelola dana perkebunan kelapa sawit (BPDPKS).
"Mungkin bentuknya yang beda, misalnya FAME dapat insentif BPDPKS, mungkin modelnya saja yang beda, tapi pada dasarnya support setuju pengembangan bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan," ungkapnya dalam Power Lunch, CNBC Indonesia (Senin, 20/07/2020).
Pertamina sudah melakukan uji performa (road test) menunjukkan penggunaan D-100 dalam campuran bahan bakar kendaraan dapat meningkatkan cetane number dan menurunkan kepekatan asap yang dibuang. Bahan bakar yang digunakan dalam uji performa tersebut adalah campuran D-100 sebanyak 20%, Dexlite sebanyak 50% dan FAME sebanyak 30%.
"Harganya akan sekitar itu, jangan dikira D-100 dicampurkan satu mesin kendaraan. Produknya lebih mahal karena biaya operasi lebih tinggi memang kita harapkan pemerintah berikan insentif atau subsidi baik di bahan baku maupun produk," jelasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan tahun 2023 dengan kapasitas 20.000 barel per hari akan dibangun di kilang Plaju. Kemudian kilang Cilacap akan ditambah lagi 3.000 barel per hari, tahun 2022 6.000 barel per hari.
"20.000 di Plaju, 3.000 dan pengembangan jadi 6.000 ada di Cilacap. Kalau yang 3000 di Cilacap tahun depan 2021 ditambah dtingkatkan 6.000 2022 dan 20.000 barel di Plaju. Dumai 1000," ungkapnya.
Ia menyebut investasi Pertamina untuk Plaju dan Dumai sebesar US$ 500 juta, butuh sawit 20.000 barel. "Harga sawit kan US$ 500 - 600 per ton ya mungkin. Ya kita akan cari dana, sebagian dari kita, joint venture (JV) cari partner seperti itu," jelasnya.
Pertamina berhasil melakukannya di Kilang Dumai, dengan dibantu oleh Katalis Merah Putih yang merupakan kerjasama Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Menurutnya secara teknis dan materi pembuatan katalis sudah bisa.
"Sedangkan secara ekonomi masih perlu dari regulator dan stakeholder yang ada. Bahan baku sawit komoditas oleochemical FAME dan makan. Kita nggak punya sumber daya alam dan kita sangat tergantung, ketiga produksi D-100 akan lebih mahal karena dari sisi operasional butuh gas hidrogen," jelasya.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Biar Gak Salah, Ini Bedanya B30 & D100 yang Diuji Pertamina