
LAPAN Buka-bukaan Soal Matahari Lockdown, Seramkah?
Roy Franedya, CNBC Indonesia
20 May 2020 05:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) buka-bukaan perihal fase Matahari lockdown atau penurunan aktivitas Matahari (solar minimum) tidak akan menyebabkan bencana alam di Bumi. Menurut peneliti LAPAN Rhorom Priyatikanto, aktivitas Matahari yang rendah saat ini belum terbilang ekstrem dibandingkan pada periode 1790-1830 lalu.
Selain itu, Rhorom mengatakan dunia modern saat ini telah siap menghadapi solar minimum. Belum lagi mengingat masalah pemanasan global yang tetap menjaga suhu Bumi meski terjadi penurunan aktivitas Matahari.
"Aktivitas Matahari yang rendah saat ini belum terbilang ekstrem. Era modern lebih siap menghadapi aktivitas matahari yang teramat minimum. Atau setidaknya, global warming memberi kita 'surplus temperatur' sekitar 1 derajat," kata Rhorom saat dihubungi cnnindonesia.com, Selasa (19/5/2020), seperti dikutip cnbcindonesia.com.
Lebih lanjut, Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin menegaskan kalau bencana alam yang terjadi belakangan tidak terkait dengan situasi Matahari.
"Bencana tidak terkait dengan kondisi aktivitas Matahari minimum," tambahnya.
Pada 1790-1830, bencana akibat penurunan aktivitas Matahari pernah terjadi. Saat itu, rendahnya aktivitas memicu penurunan suhu global dan berimbas pada produksi pangan. Periode tersebut ditandai dengan cuaca yang sangat dingin, gagal panen, kelaparan, dan letusan gunung berapi yang signifikan.
Rhorom mengatakan suhu global memang sempat menurun pada saat periode minimum Dalton (tahun 1800) dan periode minimum Maunder (tahun 1700). Ketika itu Bumi mengalami pendinginan global, gagal panen, hingga krisis pangan.
"Pada kasus ekstrem minimum Maunder dan Dalton, rendahnya aktivitas Matahari beberapa dekade berimbas pada pendinginan global, tak hanya di daerah 4 musim, tapi juga di daerah tropis," kata Rhorom.
Penggunaan kata lockdown Matahari menandakan penurunan aktivitas Matahari atau biasa disebut dengan periode solar minimum. Pengamatan para ilmuwan menunjukkan penurunan aktivitas permukaan matahari yang drastis.
Hal tersebut ditandai dengan bintik matahari yang menghilang. Ilmuwan mencatat Matahari tidak beraktivitas atau mengalami hari tanpa bintik sebanyak 76 persen hingga saat ini. Tahun lalu, Matahari tercatat tidak beraktivitas sebanyak 77 persen dalam satu tahun, artinya 281 hari tanpa adanya bintik Matahari.
"Kata lockdown dipilih untuk menekankan potensi resesi akibat aktivitas Matahari yang teramat rendah. Hal ini pernah terjadi sekitar 1790-1830, dikenal sebagai periode minimum Dalton. Aktivitas Matahari yang rendah memicu penurunan suhu global dan berimbas pada produksi pangan," ujar Rhorom.
Dilansir dari Britannica, bagian dari belahan bumi utara mengalami periode sporadis salju tebal yang mematikan selama Juni, Juli, dan Agustus 1816.
Di tengah-tengah penurunan aktivitas Matahari, pada tahun 1815 Gunung Tambora di Indonesia meletus. Letusan dijuluki sebagai letusan gunung berapi terbesar kedua dalam 2 ribu tahun yang menewaskan sedikitnya 71 ribu orang.
Rhorom memastikan aktivitas Matahari tidak berkaitan dengan gempa atau gunung meletus. Kebetulan saat itu Gunung Tambora meletus di saat penurunan aktivitas Matahari.
Rhorom mengatakan letusan gunung Tambora justru memperparah dampak penurunan aktivitas Matahari karena debu vulkanik Gunung Tambora menutupi sinar Matahari.
"Aktivitas Matahari tidak berkaitan dengan gempa atau gunung meletus, tapi letusan gunung Tambora tahun 1815 memperparah minimum Dalton karena abu dari Tambora menutupi sinar Matahari," kata Rhorom.
Sebelumnya, Astronom Tony Philips mengungkapkan bahwa matahari akan mengalami periode lockdown (penguncian diri). Fenomena itu akan menyebabkan udara dingin, gempa bumi dan kelaparan bagi umat manusia di bumi.
Para ahli menyakini sekarang ini tata surya kita akan memasuki periode 'minimum matahari' yang berarti aktivitas di permukaan matahari telah turun secara drastis. Tata surya akan mengalami 'resesi' sinar matahari yang dibuktikan dari telah menghilangnya bintik matahari.
Menurut Tony, solar minimum sedang berlangsung dan ini sangat dalam.
"Hitungan sun spot ini adalah salah satu yang terdalam abad ini. Medan magnet matahari menjadi lemah, memungkinkan sinar kosmik ekstra ke tata surya," ujarnya seperti dilansir dari New York Post, Senin (18/5/2020).
"Kelebihan sinar kosmik akan menimbulkan bahaya kesehatan bagi astronot dan pelancong udara kutub utara, memengaruhi elektro-kimia atmosfer atas bumi, dan membantu memicu petir," lanjut Tony.
Para ilmuwan NASA khawatir ini akan mengulangi periode Dalton Minimum, yang terjadi pada 1790 dan 1830. Ketika itu bumi mengalami periode dingin yang parah, kegagalan panen, kelaparan dan letusan gunung berapi yang dahsyat. Pada periode itu suhu merosot hingga 2 derajat celcius selama 20 tahun, menghancurkan produksi pangan dunia.
Pada 10 April 1815, terjadi letusan gunung berapi terbesar kedua dalam 2.000 tahun. Letusan tersebut terjadi di Gunung Tamboro, Nusa Tenggara Barat, yang menewaskan 71.000 orang.
Pada 1816, terjadi periode yang dijuluki Tahun Tanpa Musim Panas atau ngetren dengan nama delapan belas ribu dan membeku hingga mati, ketika salju turun di Juli.
Sejauh ini matahari telah mengalami 'kosong' tanpa bintik matahari 76% dari waktu itu, angka ini turun sedikit dari tahun lalu di mana kekosongannya mencapai 77%.
(miq/miq) Next Article Tak Cuma Bumi, Matahari pun Lockdown dan Itu Berbahaya
Selain itu, Rhorom mengatakan dunia modern saat ini telah siap menghadapi solar minimum. Belum lagi mengingat masalah pemanasan global yang tetap menjaga suhu Bumi meski terjadi penurunan aktivitas Matahari.
"Aktivitas Matahari yang rendah saat ini belum terbilang ekstrem. Era modern lebih siap menghadapi aktivitas matahari yang teramat minimum. Atau setidaknya, global warming memberi kita 'surplus temperatur' sekitar 1 derajat," kata Rhorom saat dihubungi cnnindonesia.com, Selasa (19/5/2020), seperti dikutip cnbcindonesia.com.
"Bencana tidak terkait dengan kondisi aktivitas Matahari minimum," tambahnya.
Pada 1790-1830, bencana akibat penurunan aktivitas Matahari pernah terjadi. Saat itu, rendahnya aktivitas memicu penurunan suhu global dan berimbas pada produksi pangan. Periode tersebut ditandai dengan cuaca yang sangat dingin, gagal panen, kelaparan, dan letusan gunung berapi yang signifikan.
Rhorom mengatakan suhu global memang sempat menurun pada saat periode minimum Dalton (tahun 1800) dan periode minimum Maunder (tahun 1700). Ketika itu Bumi mengalami pendinginan global, gagal panen, hingga krisis pangan.
"Pada kasus ekstrem minimum Maunder dan Dalton, rendahnya aktivitas Matahari beberapa dekade berimbas pada pendinginan global, tak hanya di daerah 4 musim, tapi juga di daerah tropis," kata Rhorom.
Penggunaan kata lockdown Matahari menandakan penurunan aktivitas Matahari atau biasa disebut dengan periode solar minimum. Pengamatan para ilmuwan menunjukkan penurunan aktivitas permukaan matahari yang drastis.
Hal tersebut ditandai dengan bintik matahari yang menghilang. Ilmuwan mencatat Matahari tidak beraktivitas atau mengalami hari tanpa bintik sebanyak 76 persen hingga saat ini. Tahun lalu, Matahari tercatat tidak beraktivitas sebanyak 77 persen dalam satu tahun, artinya 281 hari tanpa adanya bintik Matahari.
"Kata lockdown dipilih untuk menekankan potensi resesi akibat aktivitas Matahari yang teramat rendah. Hal ini pernah terjadi sekitar 1790-1830, dikenal sebagai periode minimum Dalton. Aktivitas Matahari yang rendah memicu penurunan suhu global dan berimbas pada produksi pangan," ujar Rhorom.
Dilansir dari Britannica, bagian dari belahan bumi utara mengalami periode sporadis salju tebal yang mematikan selama Juni, Juli, dan Agustus 1816.
Di tengah-tengah penurunan aktivitas Matahari, pada tahun 1815 Gunung Tambora di Indonesia meletus. Letusan dijuluki sebagai letusan gunung berapi terbesar kedua dalam 2 ribu tahun yang menewaskan sedikitnya 71 ribu orang.
Rhorom memastikan aktivitas Matahari tidak berkaitan dengan gempa atau gunung meletus. Kebetulan saat itu Gunung Tambora meletus di saat penurunan aktivitas Matahari.
Rhorom mengatakan letusan gunung Tambora justru memperparah dampak penurunan aktivitas Matahari karena debu vulkanik Gunung Tambora menutupi sinar Matahari.
"Aktivitas Matahari tidak berkaitan dengan gempa atau gunung meletus, tapi letusan gunung Tambora tahun 1815 memperparah minimum Dalton karena abu dari Tambora menutupi sinar Matahari," kata Rhorom.
Sebelumnya, Astronom Tony Philips mengungkapkan bahwa matahari akan mengalami periode lockdown (penguncian diri). Fenomena itu akan menyebabkan udara dingin, gempa bumi dan kelaparan bagi umat manusia di bumi.
Para ahli menyakini sekarang ini tata surya kita akan memasuki periode 'minimum matahari' yang berarti aktivitas di permukaan matahari telah turun secara drastis. Tata surya akan mengalami 'resesi' sinar matahari yang dibuktikan dari telah menghilangnya bintik matahari.
Menurut Tony, solar minimum sedang berlangsung dan ini sangat dalam.
"Hitungan sun spot ini adalah salah satu yang terdalam abad ini. Medan magnet matahari menjadi lemah, memungkinkan sinar kosmik ekstra ke tata surya," ujarnya seperti dilansir dari New York Post, Senin (18/5/2020).
"Kelebihan sinar kosmik akan menimbulkan bahaya kesehatan bagi astronot dan pelancong udara kutub utara, memengaruhi elektro-kimia atmosfer atas bumi, dan membantu memicu petir," lanjut Tony.
Para ilmuwan NASA khawatir ini akan mengulangi periode Dalton Minimum, yang terjadi pada 1790 dan 1830. Ketika itu bumi mengalami periode dingin yang parah, kegagalan panen, kelaparan dan letusan gunung berapi yang dahsyat. Pada periode itu suhu merosot hingga 2 derajat celcius selama 20 tahun, menghancurkan produksi pangan dunia.
Pada 10 April 1815, terjadi letusan gunung berapi terbesar kedua dalam 2.000 tahun. Letusan tersebut terjadi di Gunung Tamboro, Nusa Tenggara Barat, yang menewaskan 71.000 orang.
Pada 1816, terjadi periode yang dijuluki Tahun Tanpa Musim Panas atau ngetren dengan nama delapan belas ribu dan membeku hingga mati, ketika salju turun di Juli.
Sejauh ini matahari telah mengalami 'kosong' tanpa bintik matahari 76% dari waktu itu, angka ini turun sedikit dari tahun lalu di mana kekosongannya mencapai 77%.
(miq/miq) Next Article Tak Cuma Bumi, Matahari pun Lockdown dan Itu Berbahaya
Most Popular