
Jokowi Sebut Ada Kemajuan Terapi Plasma Darah Obati COVID-19
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
11 May 2020 11:07

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memimpin rapat terbatas terkait penanganan COVID-19 via konferensi video dari Istana Merdeka, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (11/5/2020). Dalam kesempatan itu, Jokowi menyinggung penggunaan metode terapi plasma darah untuk melawan virus corona baru penyebab COVID-19.
"Saya melihat sudah kemajuan signifikan pengujian plasma yang rencananya akan dilakukan uji klinis berskala besar di beberapa rumah sakit dan juga stem cell untuk menggantikan jaringan paru yang rusak," katanya.
Beberapa waktu lalu, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro, mengungkapkan pemerintah sedang melakukan uji klinis terhadap metode tersebut. Sederhananya, plasma darah dari pasien yang sudah sembuh dari COVID-19 dijadikan bahan baku utama terapi untuk pasien COVID-19 yang sedang dalam kondisi berat.
"Dari penelitian yang dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto sudah mulai ada hasil yang melegakan, namun tentunya riset harus dilakukan dalam riset yang lebih besar," kata Bambang di Graha BNPB, Jakarta, Minggu (3/5/2020).
Untuk itu, Kemenristek akan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk melakukan riset yang lebih besar lagi. Ini akan melibatkan banyak rumah sakit, tidak hanya di Jakarta.
"Misalnya di Malang, Yogyakarta, di Surabaya, Solo maupun tempat lain. Kita harapkan konvalesen plasma ini bisa jadi alternatif untuk meningkatkan tingkat kesembuhan dari penderita COVID-19," ujar Bambang.
Tim Riset CNBC Indonesia pernah mengulas perihal plus dan minus terapi ini. Sejatinya, penggunaan plasma darah pasien yang sembuh dari COVID-19 untuk menyembuhkan penderita yang terinfeksi COVID-19 memang terbilang kuno. Namun, metode ini terbilang untuk strategi penanganan jangka pendek (quick win strategy).
Jadi secara sederhananya begini. Seorang yang sembuh dari COVID-19 di dalam darahnya ada protein antivirus bernama antibodi. Nantinya plasma darah orang yang sembuh dari COVID-19 akan diinjeksikan ke pasien yang masih menderita COVID-19. Antibodi yang diproduksi orang yang sembuh ini diharapkan jadi obat mujarab untuk pasien yang tengah terkapar tak berdaya melawan infeksi virus.
Strategi ini sudah dilaporkan membuahkan hasil yang menjanjikan. Di China dalam sebuah penelitian yang melibatkan 48 orang ilmuwan menyebutkan terapi ini berhasil membuat 10 orang pasien COVID-19 yang parah menunjukkan gejala perbaikan seperti penurunan demam, sesak napas hingga sakit dada hanya dalam 1-3 hari.
Masih dari China, kantor berita Negeri Tirai Bambu, yakni Xinhua juga melaporkan bahwa 91 orang dari 200+ pasien COVID-19 yang diuji dengan metode ini menunjukkan perbaikan kondisi.
Di AS, Food & Drug Administration (FDA) sudah merilis panduan investigasi yang jelas terkait metode penggunaan terapi plasma konvalesens ini. Sementara itu mengutip The Economic Times, Dewan Penelitian Medis India akan memilih 20 rumah sakit yang akan melakukan uji klinis metode ini.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia pun tak mau ketinggalan. Selain pemerintah pusat, Pemerintah Daerah DKI Jakarta juga telah menggaet Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Palang Merah Indonesia (PMI) juga untuk menggunakan terapi ini dalam melawan pandemi COVID-19.
Sekilas metode ini relatif lebih murah dan praktis dibanding pengembangan vaksin yang membutuhkan investasi dengan target senilai US$ 2 miliar atau jika mengacu dengan kurs JISDOR hari ini (Rp 14.415/US$) angkanya mencapai Rp 28,83 triliun.
Namun, jika ditelisik lebih lanjut, masing-masing metode memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing sehingga menciptakan efek complementary.
Sekilas terapi plasma konvalesens lebih murah dan praktis dilakukan ketimbang membuat vaksin karena bahan (pasien COVID-19 yang sembuh) tersedia dan peralatannya sudah banyak dijumpai di berbagai fasilitas kesehatan.
Namun, yang menjadi tantangan adalah tidak semua pasien sembuh COVID-19 menghasilkan titer (jumlah) antibodi yang banyak dan seragam. Di sinilah kendalanya. Jika ingin scale up jelas tantangan teknis dan biaya yang ujung-ujungnya tidak sedikit juga menanti.
Di sisi lain penggunaan antibodi dari orang yang sembuh dari Covid-19 termasuk imunisasi pasif yang punya kelemahan. Kelemahan utama dari metode ini adalah efek yang terjadi bersifat temporer karena respons imun memori pasien tidak benar-benar terbentuk karena hanya mengandalkan antibodi donor.
Beralih ke vaksin, waktu pengembangan lama, nilai investasi besar, feasibilitas produksi yang mencukupi hingga mewujudkan imunisasi yang konklusif masih jadi tantangan terbesarnya.
Namun, vaksin membantu respons imun menjadi lebih kuat terhadap serangan patogen yang sama di kemudian hari karena membentuk respons imun memori (tentu dengan catatan virusnya tidak berevolusi dengan laju yang sangat cepat).
Sampai di sini kita melihat bahwa sebenarnya kombinasi vaksin, obat dan penggunaan plasma konvalesens adalah racikan yang pas karena satu dengan lainnya dapat saling mengisi gap atau celah kekurangan antar metode.
Penggunaan plasma konvalesens sebagai terapi memang cenderung digunakan untuk quick win strategy yang sifatnya jangka pendek. Sementara untuk vaksin dan obat lebih ke jangka panjang.
"Bagaimanapun juga ketiganya punya satu persamaan. Harus uji klinis terlebih dahulu! Kita tetap berharap dan terus berupaya bahwa pandemi ini akan segera berakhir. Semoga metode apa pun itu bisa membawa kabar baik dan perubahan. Satu yang pasti adalah percayalah, this too shall pass!" tulis Tim Riset CNBC Indonesia.
(miq/miq) Next Article Kasus Corona RI 'Meledak', Ini Pesan Jokowi ke Warga +62
"Saya melihat sudah kemajuan signifikan pengujian plasma yang rencananya akan dilakukan uji klinis berskala besar di beberapa rumah sakit dan juga stem cell untuk menggantikan jaringan paru yang rusak," katanya.
Beberapa waktu lalu, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro, mengungkapkan pemerintah sedang melakukan uji klinis terhadap metode tersebut. Sederhananya, plasma darah dari pasien yang sudah sembuh dari COVID-19 dijadikan bahan baku utama terapi untuk pasien COVID-19 yang sedang dalam kondisi berat.
Untuk itu, Kemenristek akan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk melakukan riset yang lebih besar lagi. Ini akan melibatkan banyak rumah sakit, tidak hanya di Jakarta.
"Misalnya di Malang, Yogyakarta, di Surabaya, Solo maupun tempat lain. Kita harapkan konvalesen plasma ini bisa jadi alternatif untuk meningkatkan tingkat kesembuhan dari penderita COVID-19," ujar Bambang.
Tim Riset CNBC Indonesia pernah mengulas perihal plus dan minus terapi ini. Sejatinya, penggunaan plasma darah pasien yang sembuh dari COVID-19 untuk menyembuhkan penderita yang terinfeksi COVID-19 memang terbilang kuno. Namun, metode ini terbilang untuk strategi penanganan jangka pendek (quick win strategy).
Jadi secara sederhananya begini. Seorang yang sembuh dari COVID-19 di dalam darahnya ada protein antivirus bernama antibodi. Nantinya plasma darah orang yang sembuh dari COVID-19 akan diinjeksikan ke pasien yang masih menderita COVID-19. Antibodi yang diproduksi orang yang sembuh ini diharapkan jadi obat mujarab untuk pasien yang tengah terkapar tak berdaya melawan infeksi virus.
Strategi ini sudah dilaporkan membuahkan hasil yang menjanjikan. Di China dalam sebuah penelitian yang melibatkan 48 orang ilmuwan menyebutkan terapi ini berhasil membuat 10 orang pasien COVID-19 yang parah menunjukkan gejala perbaikan seperti penurunan demam, sesak napas hingga sakit dada hanya dalam 1-3 hari.
Masih dari China, kantor berita Negeri Tirai Bambu, yakni Xinhua juga melaporkan bahwa 91 orang dari 200+ pasien COVID-19 yang diuji dengan metode ini menunjukkan perbaikan kondisi.
Di AS, Food & Drug Administration (FDA) sudah merilis panduan investigasi yang jelas terkait metode penggunaan terapi plasma konvalesens ini. Sementara itu mengutip The Economic Times, Dewan Penelitian Medis India akan memilih 20 rumah sakit yang akan melakukan uji klinis metode ini.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia pun tak mau ketinggalan. Selain pemerintah pusat, Pemerintah Daerah DKI Jakarta juga telah menggaet Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Palang Merah Indonesia (PMI) juga untuk menggunakan terapi ini dalam melawan pandemi COVID-19.
Sekilas metode ini relatif lebih murah dan praktis dibanding pengembangan vaksin yang membutuhkan investasi dengan target senilai US$ 2 miliar atau jika mengacu dengan kurs JISDOR hari ini (Rp 14.415/US$) angkanya mencapai Rp 28,83 triliun.
Namun, jika ditelisik lebih lanjut, masing-masing metode memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing sehingga menciptakan efek complementary.
Sekilas terapi plasma konvalesens lebih murah dan praktis dilakukan ketimbang membuat vaksin karena bahan (pasien COVID-19 yang sembuh) tersedia dan peralatannya sudah banyak dijumpai di berbagai fasilitas kesehatan.
Namun, yang menjadi tantangan adalah tidak semua pasien sembuh COVID-19 menghasilkan titer (jumlah) antibodi yang banyak dan seragam. Di sinilah kendalanya. Jika ingin scale up jelas tantangan teknis dan biaya yang ujung-ujungnya tidak sedikit juga menanti.
Di sisi lain penggunaan antibodi dari orang yang sembuh dari Covid-19 termasuk imunisasi pasif yang punya kelemahan. Kelemahan utama dari metode ini adalah efek yang terjadi bersifat temporer karena respons imun memori pasien tidak benar-benar terbentuk karena hanya mengandalkan antibodi donor.
Beralih ke vaksin, waktu pengembangan lama, nilai investasi besar, feasibilitas produksi yang mencukupi hingga mewujudkan imunisasi yang konklusif masih jadi tantangan terbesarnya.
Namun, vaksin membantu respons imun menjadi lebih kuat terhadap serangan patogen yang sama di kemudian hari karena membentuk respons imun memori (tentu dengan catatan virusnya tidak berevolusi dengan laju yang sangat cepat).
Sampai di sini kita melihat bahwa sebenarnya kombinasi vaksin, obat dan penggunaan plasma konvalesens adalah racikan yang pas karena satu dengan lainnya dapat saling mengisi gap atau celah kekurangan antar metode.
Penggunaan plasma konvalesens sebagai terapi memang cenderung digunakan untuk quick win strategy yang sifatnya jangka pendek. Sementara untuk vaksin dan obat lebih ke jangka panjang.
"Bagaimanapun juga ketiganya punya satu persamaan. Harus uji klinis terlebih dahulu! Kita tetap berharap dan terus berupaya bahwa pandemi ini akan segera berakhir. Semoga metode apa pun itu bisa membawa kabar baik dan perubahan. Satu yang pasti adalah percayalah, this too shall pass!" tulis Tim Riset CNBC Indonesia.
(miq/miq) Next Article Kasus Corona RI 'Meledak', Ini Pesan Jokowi ke Warga +62
Most Popular