
BI Sebut Game Online Bisa Rugikan Negara, Ini Faktanya!
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
27 March 2019 19:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara hari Rabu (27/3/2019) mengatakan bahwa adanya aliran dana ke luar negeri melalui transaksi game dapat membebani Neraca Pembayaran Indonesia (NPI).
"Kalau kita main game itu kelihatan enggak di NPI? Sekarang sih enggak, tapi yang pasti itu uang Indonesia ke luar. Mungkin hanya setengah dolar, tapi kalau yang main dua juta orang, ya itu uang keluar untuk games itu," ujarnya dalam Seminar Nasional: Sinergi untuk Ketahanan dan Pertumbuhan.
Memang benar, segala transaksi uang ke luar Indonesia akan tercatat negatif dalam rekaman NPI yang dicatat oleh BI.
Sejatinya, transaksi dalam game online hampir sama dengan aktivitas impor. Ada sejumlah uang yang harus dibayarkan untuk mendapatkan barang atau jasa. Jikalau produk tersebut berasal dari luar negeri, artinya uang keluar dari Indonesia.
Sama halnya dengan industri manufaktur dalam negeri yang sulit untuk tumbuh, industri game pun mengalaminya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh developer game asal Indonesia, Agate, game-game buatan developer dalam negeri hanya mendapatkan pangsa pasar 0,4% dari total game yang beredar di Indonesia.
Sangat kecil sekali
Bandingkan dengan Jepang, dimana industri game lokal bisa mendapatkan 81% pangsa pasar. China pun tak kalah jauh, dimana 68% pangsa pasar game dikuasai oleh produk dalam negeri.
Hal ini agaknya berhubungan erat dengan jumlah investasi pada industri game tanah air yang hanya sebesar US$ 2 juta. Bagai bumi dan langit apabila dibandingkan dengan China yang mampu menyerap investasi sebesar US$ 5 juta pada developer game lokal. Satu banding 2500.
Parahnya, jumlah investasi di sektor game lokal Indonesia juga masih kalah dari developer negara tetangga, Vietnam, yang mampu menyerap US$ 50 juta. Kalah 1 banding :10.
Kalau sudah begini, ya wajar apabila potensi uang keluar melalui transaksi di sebuah game sangat besar.
Sebuah lembaga riset, Newzoo mencatat total pendapatan industri game di Indonesia pada tahun 2017 mencapai US$ 880 juta dengan jumlah pemain mencapai 43,7 juta orang. Dengan jumlah tersebut, Indonesia tercatat sebagai pasar industri game terbesar ke-16 di dunia.
Artinya, developer lokal hanya mendapat bagian US$ 3,52 juta, sedangkan US$ 876,4 sisanya berhamburan ke berbagai negara lain.
Menurut Adam Ardizasmita, CEO Arsanesia yang merupakan salah satu developer game asal Indonesia , fenomena ini bisa terjadi lantaran ekosistem game di indonesia yang masih belum berpihak pada developer lokal.
Di China misalnya, game yang berasal dari luar negeri tidak serta merta dapat dirilis begitu saja. Harus menggandeng publisher lokal dan melalui proses seleksi dari pemerintah setempat. Dengan cara ini, developer-developer China jadi memiliki cukup waktu untuk mengejar ketertinggalan sumber daya manusianya untuk bersaing di pasar global.
Sama halnya dengan di Jepang, semua game yang mau diluncurkan harus mendaftarkan ke sistem rating negaranya dulu.
Di Indonesia? Mudah ditebak. Belum ada hal semacam itu.
"Kalau ada kebijakan semua game yang dipublish di Indonesia harus bekerja sama dengan publisher lokal, tentu porsi pie [pangsa pasar] ke dalam negeri akan naik," ujar sosok yang juga merupakan salah satu Intel Software Innovator, dalam sebuah pesan kepada CNBC Indonesia.
Padahal bila didukung, industri game ini merupakan potensi yang amat besar. Berdasarkan data yang didapat dari laporan yang dirilis Ubisoft, video game merupakan segmen paling besar di dunia hiburan. Mengalahkan perfilman dan musik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/dru) Next Article Karya Milenial RI Nih! Main Game Bisa Dapet Cuan
"Kalau kita main game itu kelihatan enggak di NPI? Sekarang sih enggak, tapi yang pasti itu uang Indonesia ke luar. Mungkin hanya setengah dolar, tapi kalau yang main dua juta orang, ya itu uang keluar untuk games itu," ujarnya dalam Seminar Nasional: Sinergi untuk Ketahanan dan Pertumbuhan.
Memang benar, segala transaksi uang ke luar Indonesia akan tercatat negatif dalam rekaman NPI yang dicatat oleh BI.
![]() |
Sejatinya, transaksi dalam game online hampir sama dengan aktivitas impor. Ada sejumlah uang yang harus dibayarkan untuk mendapatkan barang atau jasa. Jikalau produk tersebut berasal dari luar negeri, artinya uang keluar dari Indonesia.
Sama halnya dengan industri manufaktur dalam negeri yang sulit untuk tumbuh, industri game pun mengalaminya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh developer game asal Indonesia, Agate, game-game buatan developer dalam negeri hanya mendapatkan pangsa pasar 0,4% dari total game yang beredar di Indonesia.
Sangat kecil sekali
Bandingkan dengan Jepang, dimana industri game lokal bisa mendapatkan 81% pangsa pasar. China pun tak kalah jauh, dimana 68% pangsa pasar game dikuasai oleh produk dalam negeri.
![]() |
Hal ini agaknya berhubungan erat dengan jumlah investasi pada industri game tanah air yang hanya sebesar US$ 2 juta. Bagai bumi dan langit apabila dibandingkan dengan China yang mampu menyerap investasi sebesar US$ 5 juta pada developer game lokal. Satu banding 2500.
Parahnya, jumlah investasi di sektor game lokal Indonesia juga masih kalah dari developer negara tetangga, Vietnam, yang mampu menyerap US$ 50 juta. Kalah 1 banding :10.
Kalau sudah begini, ya wajar apabila potensi uang keluar melalui transaksi di sebuah game sangat besar.
Sebuah lembaga riset, Newzoo mencatat total pendapatan industri game di Indonesia pada tahun 2017 mencapai US$ 880 juta dengan jumlah pemain mencapai 43,7 juta orang. Dengan jumlah tersebut, Indonesia tercatat sebagai pasar industri game terbesar ke-16 di dunia.
Artinya, developer lokal hanya mendapat bagian US$ 3,52 juta, sedangkan US$ 876,4 sisanya berhamburan ke berbagai negara lain.
![]() |
Menurut Adam Ardizasmita, CEO Arsanesia yang merupakan salah satu developer game asal Indonesia , fenomena ini bisa terjadi lantaran ekosistem game di indonesia yang masih belum berpihak pada developer lokal.
Di China misalnya, game yang berasal dari luar negeri tidak serta merta dapat dirilis begitu saja. Harus menggandeng publisher lokal dan melalui proses seleksi dari pemerintah setempat. Dengan cara ini, developer-developer China jadi memiliki cukup waktu untuk mengejar ketertinggalan sumber daya manusianya untuk bersaing di pasar global.
Sama halnya dengan di Jepang, semua game yang mau diluncurkan harus mendaftarkan ke sistem rating negaranya dulu.
Di Indonesia? Mudah ditebak. Belum ada hal semacam itu.
"Kalau ada kebijakan semua game yang dipublish di Indonesia harus bekerja sama dengan publisher lokal, tentu porsi pie [pangsa pasar] ke dalam negeri akan naik," ujar sosok yang juga merupakan salah satu Intel Software Innovator, dalam sebuah pesan kepada CNBC Indonesia.
Padahal bila didukung, industri game ini merupakan potensi yang amat besar. Berdasarkan data yang didapat dari laporan yang dirilis Ubisoft, video game merupakan segmen paling besar di dunia hiburan. Mengalahkan perfilman dan musik.
![]() |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/dru) Next Article Karya Milenial RI Nih! Main Game Bisa Dapet Cuan
Most Popular