
e-Commerce
'Pembatasan Impor di Toko Online Hanya Macan Kertas'
Roy Franedya, CNBC Indonesia
25 January 2018 15:09

Jakarta, CNBC Indonesia — Rencana pemerintah yang akan membatasi penjualan produk impor maksimal 20% di toko online (e-commerce) dianggap belum tentu mampu membendung banjirnya barang impor.
(roy/roy) Next Article Penyebab Barang Impor Banjiri Toko Online
Pengamat Ekonomi Dradjad Wibowo mengatakan pembatasan ini tidak perlu. Sebab aturan sebelumnya, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.70 tahun 2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang mewajibkan ritel offline menjual 80% barang lokal tidak efektif juga.
“Permendag ini saja praktis hanya macan kertas karena Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak cukup SDM untuk mengawasinya. Contoh gampangnya, banyak toko buah modern yang display buah impor lebih dari 20%. Kalau dia mengklaim patuh, berarti dia bohong kepada konsumen. Apalagi ritel modern, Bagaimana mengaudit dan memgawasinya 7x24 jam? Kalau offline saja sudah sulit diterapkan dan diawasi, bagaimana dengan online?” ujar Dradjad.
Dradjad menambahkan bila dibatasi, maka yang berpotensi terkena aturan ini adalah toko online transaksi B2B (business to business). Berdasarkan data World Trade Organization (WTO), 90% toko online global di dominasi transaksi B2B yang terdiri dari transaksi antara pabrikan dengan grosir dan pedagang besar, serta grosir dan pedagang besar dengan peritel. Sekitar 8-9% transaksi B2C (business to consumers).
Tetapi ada dampak negatifnya. Indonesia bakal tertinggal dalam sektor berbasis ICT (information communication technology) baik dalam ritel, pengembangan teknologi, sektor kreatif online dan sebagainya. Padahal ICT adalah bisnis masa depan. Selain itu pembatasan ini bisa membuat toko online Indonesia dilindas oleh toko online asing sebab konsumen akan lebih mudah berbelanja.
Dradjad menyarankan pemerintah sebaiknya membuat kebijakan yang komprehensif terkait sektor ekonomi berbasis ICT. Sekarang ini yang terjadi, sebagian pelaku usaha tidak siap menghadapi persaingan online. Contohnya taksi online dan sebagainya.
"Pemerintah tidak salah 100% kalau hendak memproteksi pelaku usaha konvensional. Tapi harus ada proses transformasi pelaku usaha agar justru bisa memanfaatkan ICT sehingga sumber produktifitas dan daya saing. Ini yg belum ada," ujarnya.
“Permendag ini saja praktis hanya macan kertas karena Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak cukup SDM untuk mengawasinya. Contoh gampangnya, banyak toko buah modern yang display buah impor lebih dari 20%. Kalau dia mengklaim patuh, berarti dia bohong kepada konsumen. Apalagi ritel modern, Bagaimana mengaudit dan memgawasinya 7x24 jam? Kalau offline saja sudah sulit diterapkan dan diawasi, bagaimana dengan online?” ujar Dradjad.
Dradjad menambahkan bila dibatasi, maka yang berpotensi terkena aturan ini adalah toko online transaksi B2B (business to business). Berdasarkan data World Trade Organization (WTO), 90% toko online global di dominasi transaksi B2B yang terdiri dari transaksi antara pabrikan dengan grosir dan pedagang besar, serta grosir dan pedagang besar dengan peritel. Sekitar 8-9% transaksi B2C (business to consumers).
Dradjad menyarankan pemerintah sebaiknya membuat kebijakan yang komprehensif terkait sektor ekonomi berbasis ICT. Sekarang ini yang terjadi, sebagian pelaku usaha tidak siap menghadapi persaingan online. Contohnya taksi online dan sebagainya.
"Pemerintah tidak salah 100% kalau hendak memproteksi pelaku usaha konvensional. Tapi harus ada proses transformasi pelaku usaha agar justru bisa memanfaatkan ICT sehingga sumber produktifitas dan daya saing. Ini yg belum ada," ujarnya.
(roy/roy) Next Article Penyebab Barang Impor Banjiri Toko Online
Most Popular