12 Negara Penimbun Emas Dunia Abad 21, Indonesia Peringkat Berapa?
Jakarta, CNBC Indonesia- Dalam beberapa waktu terakhir, bank sentral dunia bergerak ke arah yang sama,menambah emas.
Laporan World Gold Council yang diolah Visual Capitalist menunjukkan bahwa sejak awal 2000 hingga 2024, laju pembelian emas oleh negara justru makin cepat setelah pandemi dan perang Ukraina. Di balik grafik itu, emas berubah fungsi dari sekadar aset cadangan menjadi instrumen politik moneter.
Ketika inflasi global melonjak dan sistem sanksi finansial makin agresif, dolar AS sebagai jangkar cadangan dunia kehilangan sebagian kredibilitasnya.
Negara yang merasa rentan terhadap tekanan geopolitik mulai mencari aset yang tidak bisa dibekukan, diblokir, atau didepresiasi oleh kebijakan pihak lain. Emas memenuhi seluruh kriteria itu.
Dua negara memimpin perubahan ini. Rusia dan China masing-masing menambah lebih dari 1.800 ton emas sejak 2000, angka yang tiga kali lipat lebih besar dari negara mana pun di bawahnya.
Dalam lima tahun terakhir, ritme pembelian keduanya semakin agresif, bertepatan dengan meningkatnya konflik geopolitik dan perang mata uang.
Bagi Rusia, emas adalah pelindung terakhir cadangan devisa. Setelah aset valasnya dibekukan oleh Barat, Moskow mengalihkan bobot cadangannya ke emas karena emas tidak bisa disita melalui sistem keuangan internasional. Cadangan emas Rusia melonjak dari 384 ton pada 2000 menjadi lebih dari 2.300 ton pada 2024.
China bergerak lewat jalur berbeda. Beijing membeli emas secara senyap melalui bank sentral dan pasokan domestik. Tujuannya bukan sekadar lindung nilai, tetapi memperkuat yuan sebagai mata uang internasional. Dengan cadangan emas hampir 2.280 ton, China membangun fondasi kepercayaan bagi mata uangnya di tengah rivalitas dengan dolar.
Gelombang ini menyebar ke negara berkembang. India, Türkiye, Polandia, dan Kazakhstan menambah ratusan ton emas dalam periode yang sama. Motifnya serupa: melindungi nilai cadangan di tengah volatilitas mata uang, tekanan inflasi, dan ketidakpastian arus modal global.
Di Timur Tengah, Saudi Arabia dan Qatar ikut menumpuk emas. Di kawasan yang bergantung pada ekspor energi dan arus dolar, emas berfungsi sebagai alat diversifikasi. Ketika harga minyak dan geopolitik berfluktuasi, emas memberi stabilitas pada neraca cadangan mereka.
Yang berubah bukan hanya jumlah emas, tetapi struktur sistem cadangan dunia. Bank sentral global kini secara kolektif memegang lebih banyak emas dibandingkan surat utang pemerintah AS. Ini mencerminkan pergeseran preferensi dari aset berbasis janji pemerintah ke aset fisik yang berdiri di luar sistem politik mana pun.
Implikasinya bagi pasar global sangat nyata. Permintaan emas dari bank sentral menciptakan lantai harga baru yang lebih tinggi. Ketika pembeli terbesar dunia adalah lembaga negara dengan neraca besar dan horizon jangka panjang, volatilitas turun, sementara tren kenaikan harga menjadi lebih sulit dibendung.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)