MARKET DATA

Valuasi Murah Tak Digubris, Apa yang Salah dengan Saham INDF & ICBP?

Susi Setiawati,  CNBC Indonesia
24 December 2025 08:50
foto : Ist/indofood.com
Foto: Ist/indofood.com

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham konsumer Ibu dan Anak, PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) sudah kehilangan panggung dari awal tahun, kira-kira ada alasan apa di balik itu?

Dari awal tahun sampai penutupan perdagangan Selasa kemarin (23/12/2025), saham INDF dan ICBP ini sama-sama masih di zona merah. INDF sudah turun sekitar 11,69%, sementara ICBP jatuh lebih dalam sampai 27%.

Seiring dengan gerak saham yang terkontraksi ini sebenarnya membuat saham INDF dan ICBP dihargai di valuasi yang sangat murah.

Dari INDF dulu, kalau kita cermati Forward 1Y Price to Earning (P/E) nilainya sudah berada di 5 kali, sementara Price to Book Value (PBV) di 0,9 kali. Level ini bisa dibilang merupakan valuasi termurah sepanjang masa.

Berlanjut ke anak usaha-nya, ICBP saat ini diperdagangkan pada valuasi price to earnings ratio (P/E) sebesar 15,93 kali, meningkat dari level terendah 10,54 kali pada Oktober lalu yang menjadi valuasi termurah dalam satu dekade terakhir.

Meski telah mengalami kenaikan, posisi P/E ICBP kini berada di kisaran minus satu standar deviasi (−1 STD), sehingga masih tergolong relatif murah secara historis.

Sementara itu, untuk valuasi PBV ICBP saat ini diperdagangkan di level 1,05 kali, ini masih berada di posisi termurah selama 10 tahun terakhir.

Dengan valuasi yang masih murah, lantas mengapa saham ini belum dilirik juga? sebenarnya apa yang masih membebani duo saham konsumer Ibu dan Anak ini?

Kami mencatat ada beberapa tantangan besar lintas segmen yang masih membayangi INDF-ICBP, mulai dari pelemahan konsumsi hingga tekanan biaya impor. Dari sisi struktur bisnis, segmen Consumer Branded Products (CBP) masih menjadi tulang punggung Indofood, dengan kontribusi pendapatan terbesar mencapai Rp73,32 triliun pada 2024 dari total pendapatan Indofood Rp115,79 triliun.

Pertama, pada segmen ICBP, pasar menilai tantangan utama datang dari daya beli yang belum pulih merata sehingga volume dan kemampuan menaikkan harga menjadi lebih terbatas.

Kondisi ini membuat kinerja ICBP, yang menjadi mesin utama pertumbuhan Indofood, lebih sensitif terhadap siklus konsumsi rumah tangga. Tekanan ini juga tercermin dari kinerja 2025, ketika laba bersih ICBP periode Januari-September dilaporkan turun meski penjualan masih tumbuh tipis, mengindikasikan adanya kombinasi tekanan biaya dan permintaan yang tidak sekuat harapan.

Kedua, pada segmen Bogasari (tepung terigu), tantangan tidak hanya ditentukan oleh harga gandum yang cenderung lebih "normal" dibanding periode puncak krisis, tetapi juga oleh faktor kurs.

Sejumlah rujukan menunjukkan harga gandum global sempat melemah pada paruh kedua 2024 dan bertahan lebih rendah dibanding periode volatilitas sebelumnya, namun pelemahan rupiah dapat menggerus keuntungan penurunan biaya bahan baku impor.

Tekanan kurs ini makin relevan karena rupiah berada di kisaran Rp16.700 per dolar AS pada Desember 2025, sehingga biaya impor gandum dan bahan baku lain berpotensi menekan margin jika tidak sepenuhnya bisa diteruskan ke harga jual.

Ketiga, pada segmen agribisnis, kenaikan harga CPO dan ekspektasi permintaan dari program biodiesel memang menjadi katalis, tetapi implementasi kebijakan campuran biodiesel yang lebih tinggi menuju B50 masih menghadapi isu teknis dan regulasi.

Sejumlah laporan menyebut pemerintah masih menjalankan uji jalan dan studi kelayakan, sementara pelaku industri menilai kapasitas dan kesiapan rantai pasok perlu diperkuat agar target B50 realistis, yang berarti dampak positifnya ke serapan CPO domestik bisa lebih bertahap daripada yang dibayangkan pasar.

Ke depan, perhatian investor cenderung mengarah pada dua hal yaitu seberapa cepat konsumsi domestik membaik sehingga segmen CBP kembali agresif bertumbuh dan seberapa efektif Indofood mengelola risiko kurs di Bogasari ketika rupiah melemah.

Di sisi agribisnis, pasar akan menunggu kepastian detail implementasi B50 beserta kesiapan industri dan aturan teknis dari Kementerian ESDM, karena di situlah penentu apakah kenaikan harga CPO dan narasi biodiesel benar-benar terkonversi menjadi margin dan laba yang lebih kuat bagi Indofood.

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)



Most Popular