Siaga Satu! RI & Amerika Beri Pengumuman Genting Hari Ini
Pelaku pasar pada Selasa hari ini (23/12/2025) akan cenderung mengalihkan fokus data ekonomi global, terutama datang dari negeri Paman Sam, serta melihat respon lanjutan dari data ekonomi yang rilis kemarin dari China terkait suku bunga dan jumlah uang beredar di RI.
Dari dalam negeri, sentimen bisa datang dari konferensi pers kesepakatan dagang AS-Indonesia yang akan digelar hari ini.
Berikut rincian sentimen yang akan mempengaruhi pasar pada perdagangan hari ini :
Konferensi Pers terkait Perkembangan Kesepakatan Perdagangan Indonesia - AS
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Duta Besar RI untuk AS Dwisuryo Indroyono Soesilo akan menggelar konferensi pers terkait kesepakatan dagang AS- China.
Konferensi pers akan digelar pada pukul 08.30 WIB. Konferensi pers ini diharapkan bisa menjawab isu yang menyebut AS akan menghentikan kesepakatan dagang yang ditandatangani pada Juli 2025.
Kesepakatan dagang ini menjadi kunci bagi kenaikan ataupun penurunan tarif ekspor RI ke Amerika Serikat. Dampak kesepakatan ini sangat besar mulai dari ekspor, lapangan kerja, investasi hingga pertumbuhan ekonomi.
GDP AS Kuartal III: Konfirmasi Skenario 'Soft Landing'
Sorotan utama investor global akan tertuju pada rilis final Pertumbuhan Ekonomi (GDP) AS untuk kuartal III-2025 yang diumumkan hari ini, Selasa (23/12/2025). Konsensus pasar memproyeksikan ekonomi Negeri Paman Sam tumbuh melambat ke level 3,2%, turun dari estimasi sebelumnya yang berada di angka 3,8%.
Dalam konteks normal, perlambatan ekonomi adalah kabar buruk. Namun saat ini, angka 3,2% justru menjadi sinyal yang dinanti pasar.
Perlambatan yang terukur ini dikombinasikan dengan inflasi yang sudah jinak di 2,7%-mengonfirmasi bahwa skenario Soft Landing sedang berjalan mulus.
Ekonomi AS mendingin cukup untuk menekan inflasi, namun tetap tumbuh cukup kuat untuk menghindari resesi.
Ini memberikan karpet merah bagi The Federal Reserve untuk melanjutkan pemangkasan suku bunga secara agresif tanpa keraguan.
Bunga Pinjaman China (LPR): Stimulus Masih 'Ditahan'
Dari kawasan Asia, perhatian tertuju pada keputusan Bank Sentral China (PBoC) terkait suku bunga pinjaman acuannya atau Loan Prime Rate (LPR). Data ini sudah rilis kemarin dengan hasil kembali ditahan.
PBoC pada bulan ini mempertahankan suku bunga pinjaman utama sesuai ekspektasi pasar di level 3% untuk periode satu tahun, ini merupakan level terendah sepanjang sejarah untuk bulan ketujuh berturut-turut.
Keputusan menahan suku bunga diambil setelah bank sentral China juga menahan suku bunga reverse repo tujuh hari di level 1,4% bulan ini, yang kini berfungsi sebagai suku bunga kebijakan utama. Langkah tersebut mencerminkan sinyal bahwa bank sentral belum melihat urgensi untuk memberikan stimulus moneter tambahan, seiring ekonomi China yang masih berada di jalur untuk mencapai target pertumbuhan tahun ini.
Suku bunga Loan Prime Rate (LPR) tenor satu tahun, yang menjadi acuan utama bagi sebagian besar pinjaman korporasi dan rumah tangga, tetap berada di level 3,0%. Sementara itu, LPR tenor lima tahun, yang menjadi patokan suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR), juga bertahan di level 3,5%. Kedua suku bunga tersebut terakhir kali diturunkan sebesar 10 basis poin pada Mei lalu.
Keputusan ini diambil setelah data pekan lalu menunjukkan pertumbuhan penjualan ritel dan produksi industri pada November mengalami perlambatan, di tengah masih berlanjutnya krisis di sektor properti.
Di sisi lain, penyaluran kredit baru dalam bentuk pinjaman yuan tercatat lebih rendah dibandingkan Oktober dan juga di bawah ekspektasi pasar, yang menegaskan masih lemahnya permintaan kredit di dalam negeri.
Uang Beredar (M2) RI Melonjak, Kredit Mulai Ekspansif
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) kemarin juga merilis data penting terkait uang beredar dalam arti luas (M2) periode terbaru, yang menjadi salah satu indikator krusial menjelang penutupan tahun.
Pelaku pasar sebelumnya berharap melihat adanya akselerasi pertumbuhan M2 sebagai sinyal bahwa belanja pemerintah dan konsumsi masyarakat mulai mengalir lebih deras menjelang libur Natal dan Tahun Baru.
BI mencatat, pada November 2025, M2 tumbuh 8,3% secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih cepat dibandingkan Oktober 2025 yang tumbuh 7,7% (yoy). Secara nominal, M2 tercatat mencapai Rp9.891,6 triliun.
BI menjelaskan, perkembangan M2 pada November 2025 terutama dipengaruhi oleh meningkatnya tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat serta membaiknya penyaluran kredit perbankan. Tagihan bersih kepada Pempus tercatat tumbuh 8,7% (yoy), meningkat signifikan dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 5,4% (yoy).
Sejalan dengan meningkatnya likuiditas tersebut, pertumbuhan kredit perbankan pada November 2025 tercatat meningkat menjadi 7,9% (yoy), lebih tinggi dibandingkan Oktober 2025 yang tumbuh 7,0% (yoy).
Secara nominal, penyaluran kredit perbankan tercatat mencapai Rp8.196,4 triliun pada November 2025.
Penguatan pertumbuhan kredit perbankan tersebut juga tidak terlepas dari dukungan kebijakan pemerintah di sisi fiskal, khususnya langkah yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam meningkatkan likuiditas perbankan nasional, terutama pada bank-bank HIMBARA.
Pemerintah sebelumnya telah menyalurkan tambahan likuiditas senilai sekitar Rp200 triliun pada September 2025, yang kemudian kembali diperkuat dengan tambahan likuiditas sekitar Rp76 triliun pada November 2025.
Injeksi likuiditas ini tentunya memberikan ruang pendanaan yang lebih longgar bagi perbankan, sehingga meningkatkan kapasitas bank dalam menyalurkan kredit ke sektor riil.
Akselerasi pertumbuhan kredit perbankan salah satunya ditopang oleh Kredit Investasi (KI) yang tampil sebagai motor utama pertumbuhan.
Kredit investasi tercatat tumbuh 17,8% secara tahunan (yoy), meningkat dibandingkan Oktober 2025 yang sebesar 15,0% (yoy). Laju ini jauh melampaui pertumbuhan kredit secara keseluruhan yang berada di 7,9% (yoy).
(saw/saw)