China Kehabisan Bayi: Pabrik Dunia Kekurangan Anak
Jakarta, CNBC Indonesia- China resmi masuk ke fase ultra-low fertility, sebuah kondisi demografi ketika tingkat kelahiran jatuh sangat jauh di bawah ambang pengganti populasi.
Pada 2024, total fertility rate (TFR) China tercatat hanya 1,01 kelahiran per perempuan, jauh dari level 2,1 yang dibutuhkan untuk menjaga populasi tetap stabil.
Dalam dua dekade terakhir, tingkat fertilitas China menunjukkan tren menurun yang konsisten, meskipun sempat mengalami kenaikan singkat pada periode tertentu. Reformasi kebijakan kependudukan yang dilakukan pemerintah, mulai dari penghapusan kebijakan satu anak pada 2016 hingga penerapan kebijakan tiga anak pada 2021, terbukti belum mampu membalikkan arah tren tersebut.
Fenomena menarik sempat muncul pada tahun-tahun yang dianggap membawa keberuntungan dalam budaya China, khususnya Tahun Naga (Dragon Year).
Secara historis, periode ini kerap mendorong pasangan muda untuk memiliki anak. Namun, efeknya semakin memudar. Pada 2024 yang juga merupakan Tahun Naga, kenaikan fertilitas hanya sekitar 0,1 poin, menandakan dorongan budaya tidak lagi cukup kuat melawan tekanan ekonomi dan sosial.
Jika dibandingkan secara global, posisi China kini sejajar dengan negara-negara berpendapatan tinggi yang lebih dulu mengalami krisis demografi. Korea Selatan masih menjadi yang terendah di dunia dengan TFR sekitar 0,73.
Jepang, negara-negara Eropa, dan Amerika Serikat juga berada jauh di bawah level pengganti populasi. Bahkan India, yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan populasi global, mulai menunjukkan tren penurunan dengan TFR mendekati 1,96.
Bagi China, implikasinya jauh lebih kompleks. Penurunan angka kelahiran berarti penyusutan angkatan kerja di masa depan, meningkatnya rasio penduduk usia lanjut, serta tekanan besar terhadap sistem pensiun dan jaminan sosial. Dalam jangka panjang, kondisi ini berpotensi menekan produktivitas dan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Berbagai insentif telah digelontorkan pemerintah daerah, mulai dari subsidi kelahiran, pemotongan pajak, hingga bantuan perumahan. Namun, respons masyarakat relatif terbatas. Biaya hidup yang tinggi, harga properti yang mahal, tekanan pendidikan yang intens, serta ketidakpastian ekonomi membuat banyak keluarga menunda atau bahkan menghindari keputusan memiliki anak.
Selain faktor ekonomi, perubahan nilai sosial juga berperan besar. Generasi muda China semakin memprioritaskan karier, stabilitas finansial, dan kualitas hidup dibanding membangun keluarga besar. Urbanisasi yang masif dan meningkatnya partisipasi perempuan di dunia kerja turut memperkuat kecenderungan ini.
Data jangka panjang menunjukkan bahwa penurunan fertilitas China sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum pandemi Covid-19. Pandemi hanya mempercepat tren yang sudah ada, tercermin dari anjloknya TFR dari 1,50 pada 2019 menjadi 1,24 pada 2020, lalu terus merosot hingga mendekati 1,0 dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan tren seperti ini, tantangan demografi China ke depan tidak lagi soal jumlah penduduk semata, melainkan kualitas dan struktur usia. Tanpa perubahan signifikan, bonus demografi yang pernah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi China berisiko berubah menjadi beban struktural.
CNBCÂ Indonesia Research
(emb/emb)