Kisah Mario, Bocah 10 Tahun di Indonesia Timur Dapat Keajaiban
Jakarta, CNBC Indonesia - Akses digital bisa menjadi jembatan paling cepat untuk memajukan pendidikan di daerah terpencil. Dengan jaringan yang terus diperluas dan peralatan yang makin terjangkau, transformasi pendidikan di wiilayah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T) terus dikembangkan dan dampaknya akan semakin besar dalam beberapa tahun ke depan.
Di banyak desa 3T, internet memungkinkan sekolah mengakses video pembelajaran dan konten literasi digital.
Perubahan makin terasa setelah hadirnya smart digital screen. Pemerintah sendiri berencana menghadirkan 330.000 televisi di sekolah-sekolah.
Perangkat ini berfungsi seperti "kelas multimedia" dengan ukuran layar 75 inci dan berbasis Android 13 sehingga mendukung aplikasi edukasi, konten digital, browser internet, dan ekosistem Google Android TV.
Guru bisa menampilkan video sains, simulasi, peta interaktif, hingga praktek bahasa asing. Pembelajaran melalui smart digital screen melalui visual dan audio lebih menyenangkan dan mudah dipahami anak-anak.
Masuknya internet dan perangkat digital pintar atau smart digital screen atau smart TV ke wilayah 3T mulai menunjukkan perubahan besar pada minat dan kualitas belajar siswa.
Infrastruktur digital yang selama ini menjadi kemewahan di kota, kini perlahan menjadi alat penyamarata kesempatan belajar di daerah terpencil, termasuk di Ledeke, Kecamatan Raijua, Kabupaten Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Saat CNBC Indonesia mendatangi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) SD Negeri Ledeke 2 pekan lalu, murid-murid SD tersebut sedang menikmati tontonan kisah perjuangan Nabi dan dengan antusias menjawab kuis yang ada di akhir episode.
Gambar warna-warni yang bergerak di televisi berukuran 75-inch membuat mata-mata murid di sana lebih hidup dan bersemangat. Cuaca Terik hingga 33 derajat Celcius tidak membuat mereka gelisah dan meninggalkan "keajaiban" di depan mata mereka.
Foto: maesaroh/CNBCSiswa SDN Ledeke 2 tengah melihat pembelajaran melalui smart TV |
Mario Dealvaro, murid tak bisa menyembunyikan kebahagian saat bercerita mengenai proses pembelajaran melalui smart TV.
Baginya smart TV seperti sebuah "keajaiban". Di rumahnya tidak ada televisi apalagi handphone sehingga belajar melalui smart TV menjadi sebuah keasingan sekaligus menyenangkan dan membahagiakan.
"Iya kaget tapi suka. (Pernah) nonton pelajaran Bahasa Inggris, nonton video (kisah) Yesus," ujar murid kelas 4 SD berusia 10 tahun tersebut malu-malu kepada CNBC.
Berbeda dengan Mario, Priskila Diju Wadu yang duduk di kelas 4 memiliki handphone (HP) di rumah dan sudah diperbolehkan menggunakan HP milik orang tuanya di rumah.
Dia mengaku lebih sering meminjam HP untuk menonton serial TV Upin Ipin dan mencari sumber pelajaran. Seperti Mario, Priskila juga tidak memiliki TV di rumahnya.
"(Pakai HP buat) Nyari kuis, main game dan buat lihat film," ujar murid kelas 4 ini yang bercita-cita jadi perawat ini.
SDN Ledeke 2 adalah satu dari delapan sekolah SD yang sudah diberi bantuan smart TV. Fasilitas tersebut baru tiba di sekolah pada November 2025 lalu.
Sekolah tersebut juga sudah mendapatkan bantuan akses internet (AI) dari Kementerian Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komdigi) melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).
Untuk sementara smart TV ditempatkan di ruang guru dan bukan di kelas karena jaringan internet yang terhubung ke BAKTI baru ada di ruangan tersebut.
Akses internet dipakai untuk menghidupkan dan menjalankan program pembelajaran lewat smart TV. Murid di sana juga sudah diperkenalkan dengan belajar melalui perangkat laptop meski penggunaannya sangat terbatas.
Diana M Thung, guru di SDN Ledeke 2, bercerita sebagian murid di sekolah tersebut memang tidak memiliki TV di rumahnya. Kondisi geografis yang berbukit-bukit di Ledeke membuat sinyal televisi sulit menembus daerahnya.
Penghasilan orang tua mereka yang sebagian besar nelayan dan petani juga tidak mencukupi untuk membuat anaknya menikmati "kemewahan" HP.
Ketika HP belum marak, warga harus menggunakan parabola untuk menangkap siaran TV. Setelah sinyal telepon dan jaringan masuk, masyarakat di sana lebih sering menggunakan HP untuk mendapatkan akses hiburan, informasi hingga sumber pengetahuan.
"Mereka sangat antusias melihat TV (Smart TV) di sekolah. Ibu itu apa? Tanya terus. TV baru datang langsung tanya terus dan antusias," cerita Diana.
Di kecamatan Raijua, sudah ada delapan sekolah SD, dua sekolah SMP dan satu sekolah SMA yang diberi fasilitas smart TV.
Sementara itu, akses internet BAKTI Komdigi sudah hadir di enam titik, termasuk di dua sekolah yakni SD Negeri Ledeke 2 dan SMP Negeri 2 Raijua.
Di kecamatan lain yakni SMAN 1 di Kecamatan Sabu Tengah juga sudah mendapatkan fasilitas smart TV dan jaringan internet BAKTI Komdigi.
Foto: maesaroh/CNBCFGedung SMAN 1 Sabu Tengah & fasilitas akses inetrnet BAKTI |
SMA 1 Sabu Tengah menjadi satu-satunya sekolah menengah atas di Kecamatan Sabu Tengah, Kabupaten Sabu Raijua
Bangunan sekolah ini pernah hancur dan tidak berfungsi saat badai Seroja menghantam NTT pada 2021.
Pihak sekolah dan orang tua murid kemudian bahu-membahu membangun sekolah tersebut melalui dana pribadi dan pemerintah. Komdigi kemudian melengkapi sistem pembelajaran online di sekolah tersebut dengan akses internet BAKTI Komdigi.
"Anak-anak di sini semangat belajarnya sangat tinggi. Banyak yang harus jalan jauh tapi tetap semangat," ujar Gustav Leo Ere, guru di SMAN 1 Sabu Tengah, kepada CNBC Indonesia.
Gustav menambahkan siswa di sana tetap bersemangat meskipun sebagian dari mereka harus jalan kaki menempuh perjalanan berjam-jam sampai sekolah.
Mereka harus melewati banyak lahan kosong hingga hutan. Cuaca di sana juga bisa sangat terik dan suhunya di atas 33 derajat Celcius jika tengah hari atau saat murid-murid pulang sekolah.
Siswa bernama Detarina Trukna, misalnya, setiap hari bahkan harus berangkat dari pukul 5 pagi dan berjalan kaki hingga 2 jam agar bisa sampai sekolah tepat waktu.
Gustav menjelaskan sekolah tersebut sudah banyak berevolusi. Dulu mereka masih menerima murid berusia 21 tahun karena belum ada batasan usia. Fasilitas komputer juga sudah hadir sejak 2015/2016 sebagai bagian dari pembelajaran digital dan tidak tertinggal dari daerah lain.
Seiring perkembangan jaman, sebagian siswa di sana juga kini sudah menggunakan HP.
Agnes Adelia Ronny, siswi SMA 1 Sabu Tengah yang kini duduk di kelas 11, mengatakan dia sudah diperbolehkan memakai HP. Orang tuanya biasa membekali dia dengan pulsa Rp 30.000 per bulan.
"Dulu sebelum ada HP, pulang sekolah langsung tidur atau main. Sekarang beta bisa main game dan belajar soal firman Tuhan," ujar remaja yang bercita-cita menjadi pendeta ini.
Bagi Dorkas Kolo Lado, siswa kelas 11, kehadiran internet juga memberi kesenangan lain yakni belanja online dan melihat beragam video, termasuk yang terkait materi sekolah.
Di SMA 1 Sabu Tengah, murid sudah dibiasakan menggunakan komputer dan belajar online. Murid sekolah kelas 10 bahkan sudah diajari coding.
Namun, keterbatasan fasilitas membuat murid-murid di sana harus berjuang keras untuk memahami pembelajaran mengenai dunia AI ataupun IT.
"Iya (sudah ada di kelas 10) tapi banyak lupa karena cuma pegang komputer seminggu sekali, lupa lagi," tutur Agnes.
Foto: maesaroh/CNBCProses pembelajaran dengan komputer di SMAN 1 Sabtu Tengah |
Data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah mencatat hanya ada 12 sekolah SMA (sederajat) di Kabupaten Sabu Raijua, termasuk sembilan SMA, dua SMK dan satu Sekolah Luar Biasa (SLB).
Kabupaten Sabu Raijua memiliki luas wilayah 459,58 km² dan terbagi dalam empat pulau yakni Sabu, Raijua, Wadu Mea dan Dana. Wilayah ini terbagi ke dalam enam kecamatan, 58 desa 5 kelaurahan, 241 dusun Di antara keempat pulau tersebut, hanya dua pulau yang berpenghuni yaitu Sabu dan Raijua.
Sebagai perbandingan, luas daratan Provinsi Jakarta adalah 661,5km². Artinya, wilayah Kabupaten Sabu Raijua setara dengan tiga perempat satu wilayah Provinsi Jakarta.
Padahal hanya ada 12 sekolah setara SMA di sana. Dengan cakupan yang begitu luas, tak heran jika jarak rumah dan sekolah bisa sangat jauh. Banyak murid harus berjalan sangat jauh hingga puluhan kilometer untuk sampai sekolah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sabu Raijua mencatat ada 15 TK, 77 SD, 26 SMP dan 12 SMA/SMK atau sederajat di sana. Rata-rata jumlah murid per sekolah masih tergolong tinggi. Satu TK menampung 27 murid, satu SD 160 murid, satu SMP 221 murid, sementara satu SMA bahkan mencapai 494 murid.
Rasio murid terhadap guru juga sangat tinggi. Untuk TK di Sabu Raijua, satu guru menanggung 13 murid, untuk SD 1 guru menanggung 15 murid, untuk SMP 1 guru menanggung 12 murid, sedangkan SMA satu guru menanggung 15 murid.
Kehadiran internet dan media pembelajaran online tentu saja mengurangi beban guru sekaligus memudahkan sistem pembelajaran.
Untuk mendukung pembelajaran tersebut, BAKTI Komdigi sudah menghadirkan akses internet sejak 2015 di Kabupaten Sabu Raijua. Dari 126 akses internet yang sudah ada, sebanyak 72 dipasang di sekolah, masing-masing di SD (45), SMP (15), SMA (6), PAUD/RA (5), dan taman baca (1).
Tak hanya akses internet, BAKTI juga membangun empat Base Transceiver Station(BTS) serta NOC (Network Operation Center) Palapa Ring di Sabu Raijua.
NOC Palapa Ring di sana merupakan bagian dari Palapa Ring Timur yang menghubungkan wilayah 3T di Indonesia Timur, termasuk NTT, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Palapa Ring Timur sendiri resmi beroperasi pada 2019.
Sabu Raijua sendiri merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Kupang. Sebelum pemekaran pada 2008, mereka hanya bisa mendapatkan pancaran sinyal dari Rote, belum ada BTS ataupun akses internet di wilayah tersebut.
Yang menarik, NOC di Sabu Raijua juga menjadi tempat favorit banyak warga untuk berselancar di dunia maya, terutama pelajar. Akses internet yang digunakan untuk mengoperasikan NOC cukup kencang sehingga bisa dimanfaatkan warga sekitar.
Suasana bahkan sangat ramai menjelang sore saat banyak warga berselancar di dunia maya.
Foto: maesaroh/CNBCAnak-anak belajar di NOC Palapa Ring di Sabu Raijua |
Frans Ferdinand Rabahuki banyak menghabiskan sore di sana. Murid kelas 3 SMP ini akan menggunakan jaringan internet di tempat tersebut untuk main game ataupun mencari bahan belajar dan menyelesaikan PRnya.
Saat berbincang dengan CNBC, Frans menyelesaikan pekerjaan rumah Bahasa Indonesia melalui HP.
"Cari bahan dan jawab soal (PR)," tutur Frans yang bercita-cita ingin jadi perawat.
Frans bercerita belajar dengan menggunakan HP lebih menyenangkan dan cepat.
Menurutnya, jaringan internet di sekitar NOC adalah yang paling kencang sehingga dia rela bepergian hingga 3 km dari rumahnya hampir tiap hari demi mendapatkan sinyal yang bagus. Biasanya dia akan diantar sang ibu atau kadang jalan sendiri menuju ke sana.
Ibu Frans bercerita anaknya memang sangat senang belajar. Dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk belajar.
Amos Ndolu Eoh, Kadiskominfo Kab. Sabu Raijua, menjelaskan saat ini hanya ada 13 titik yang masih berstatus blank spot di Sabu Raijua.
Pembangunan jaringan dan akses internet terus dikejar, terutama yang diperuntukkan bagi pendidikan. Dia mengatakan jaringan internet sudah banyak membantu guru di sana.
"Dulu internet belum lancar, guru harus rapat datang langsung dan meninggalkan sekolah. Sekarang bisa pakai zoom, guru ada sekolah dan bisa ikut rapat," ujarnya.
Di Sabu Raijua, internet mulai menunjukkan potensinya sebagai katalis perubahan pendidikan. Data BPS menunjukkan perbaikan akses internet sudah terasa di dunia pendidikan.
Persentase Peserta Didik Umur 5-24 Tahun yang mengakses internet di Sabu Raijua melonjak dari 11,76% di 2019 menjadi 52,76% di 2024.
Dengan dukungan infrastruktur dan program digitalisasi yang tepat, Sabu Raijua bisa menjadi contoh bagaimana internet mampu mengatasi keterbatasan geografis dan sumber daya, serta mendorong kualitas pendidikan ke level lebih tinggi.
Mario, Frans hingga Agnes adalah wajah-wajah generasi muda Sabu Raijua yang akan menjadi tulang punggung Indonesia puluhan tahun ke depan. Mereka menjadi kunci bagi terwujudnya Generasi Emas 2045.
Untuk mewujudkan Generasi Emas 2045, ketersediaan internet yang merata dan berkualitas bukan lagi sekadar fasilitas tambahan. Ia telah menjadi prasyarat utama, fondasi baru pendidikan nasional.
Internet memperkuat kualitas pembelajaran, menjadikan proses belajar lebih adaptif, modern, dan relevan dengan tuntutan zaman. Akses internet juga membuka jalan bagi pemerataan kesempatan, memungkinkan siswa di daerah 3T mengakses materi yang sama dengan siswa di kota besar.
Generasi Emas hanya bisa lahir dari pendidikan yang kuat. Dan pendidikan yang kuat, hari ini, tidak mungkin terwujud tanpa internet.Seperti kata Gustav, guru di SMAN 1 Sabu Tengah, anak dari Indonesia Timur pun memiliki peluang sama untuk bertarung di dunia internasional jika diberi kesempatan dan fasilitas yang memadai.
"Jangan kalah saing dengan anak kota. Mereka akan masuk di masyarakat yang go international jadi kita fasilitasi dengan IT dan internet," tuturnya
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
Foto: maesaroh/CNBC
Foto: maesaroh/CNBC
Foto: maesaroh/CNBC
Foto: maesaroh/CNBC