Ini Komoditas Penangkaran Terbesar di RI: Anggrek sampai Monyet
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, dengan berbagai spesies hewan dan tumbuhan yang tersebar di setiap pulaunya.
Sebagai Mega Biodiversity Country, Indonesia menempatkan penangkaran tumbuhan dan satwa liar (TSL) sebagai instrumen strategis untuk mendukung konservasi sekaligus memenuhi permintaan pasar domestik dan internasional.
Apa itu Penangkaran?
Penangkaran di Indonesia sendiri diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta PP No. 8 Tahun 1999 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 18 Tahun 2024 yang mengatur perizinan dan pengelolaan penangkaran tumbuhan dan satwa liar (TSL) untuk pemanfaatan, perlindungan, dan konservasi.
PP No. 8 Tahun 1999 mendefinisikan penangkaran sebagai upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
Dalam pelaksanaannya, penangkaran dapat berupa pengembangbiakan secara buatan dalam lingkungan terkontrol, serta penetasan telur atau pembesaran anakan yang diambil dari alam. Tujuan utama penangkaran adalah menyediakan sumber tumbuhan dan satwa liar secara legal, terkontrol, dan berkelanjutan agar berbagai bentuk pemanfaatan dapat dilakukan tanpa mengganggu kelestarian populasi di alam.
Penangkaran dapat dilakukan oleh perorangan, badan hukum, koperasi, maupun lembaga konservasi, sepanjang memperoleh izin dari Menteri dan memenuhi persyaratan teknis seperti tenaga ahli, fasilitas memadai, buku induk, serta sistem penandaan atau sertifikasi.
Semua jenis tumbuhan dan satwa liar pada prinsipnya dapat ditangkarkan, baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi, dengan sumber indukan yang boleh berasal dari alam atau sumber sah lainnya.
Hasil penangkaran ini kemudian dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, antara lain perdagangan (dengan ketentuan khusus), peragaan, pertukaran antar lembaga konservasi, penelitian, bahkan pemeliharaan untuk kesenangan.
Penangkaran menjadi mekanisme penting dalam menyediakan spesimen legal dan mendukung konservasi.
Laporan Badan Pusat Statistik tentang Statistik Perusahaan Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar memberikan gambaran umum terkait penangkaran di Indonesia, mulai dari jenis flora dan fauna yang dibudidayakan, dinamika populasi di setiap penangkaran, serta aliran pemanfaatannya dalam satu tahun terakhir.
Peta Komoditas Penangkaran di Indonesia
Komposisi jenis flora dan fauna yang ditangkar di Indonesia sangat beragam, mulai dari kelompok primata, unggas, reptil, serangga, hingga tanaman hias seperti anggrek.
Setiap jenis flora fauna di penangkaran diperoleh melalui berbagai mekanisme, mulai dari pengambilan dari alam, perbanyakan internal, pembelian dari penangkaran lain, hingga sumbangan.
Berdasarkan Statistik Perusahaan Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar BPS, sebagian besar penambahan TSL di penangkaran berasal dari pembelian dan disusul oleh anakan. Hanya sebagian kecil TSL di penangkaran yang bersumber dari pengambilan di alam. Hal ini karena regulasi perizinan pengambilan dari alam lebih ketat dibanding pembelian.
Kementerian Lingkungan Hidup memperketat izin pengambilan dari alam diantaranya melalui penetapan kuota, verifikasi lokasi dan asal bibit, dan pembatasan jenis TSL tertentu.
Untuk memastikan setiap pengambilan TSL dari alam tidak merusak kelestarian populasi dan habitatnya, Kementerian Lingkungan Hidup menetapkan kuota sebagai batas pemanfaatan, sebagaimana diatur dalam Permen LHK No 18 Tahun 2024 Pasal 134-139.
Kuota menentukan jumlah maksimum yang boleh diambil/ditangkap dari habitat alam pada wilayah tertentu dalam periode 1 tahun takwim. Hal ini bertujuan untuk memastikan tingkat eksploitasi tidak melampaui kemampuan regenerasi populasi.
Penetapan kuota mempertimbangkan kondisi populasi, kelimpahan, daya dukung habitat, status perlindungan, serta rekomendasi Otoritas Keilmuan.
Setelah kuota ditetapkan, Kepala Balai menentukan lokasi pengambilan/penangkapan jenis TSL. Penentuan lokasi harus mempertimbangkan status kawasan, sebaran & kelimpahan jenis, kondisi habitat, aspek sosial budaya masyarakat setempat.
Permen LHK No 18 Tahun 2024 menegaskan bahwa pengambilan jenis TSL dari habitat alam untuk tujuan komersial hanya dapat dilakukan di luar kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru. Selain itu, lokasi pengambilan/penangkapan jenis TSL juga harus dirotasi untuk menjamin kelestarian populasi.
Pemanfaatan Flora dan Fauna Hasil Penangkaran
TSL hasil penangkaran berupa hasil pengembangbiakan satwa (captive breeding) atau pembesaran satwa (ranching) dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, mulai dari perdagangan (dengan ketentuan khusus), peragaan, pertukaran antar lembaga konservasi, penelitian, hingga pemeliharaan untuk kesenangan.
Namun, perlu digaris bawahi bahwa pemanfaatan TSL harus memegang teguh prinsip keberlanjutan (sustainability). Arah pemanfaatan diatur agar tetap berada dalam koridor kehati-hatian dan berbasis bukti ilmiah, sehingga tidak menimbulkan degradasi populasi atau tekanan tambahan terhadap spesies di habitat alaminya.
Pada aspek perdagangan, Indonesia menegaskan komitmen untuk memastikan pemanfaatan TSL berjalan secara berkelanjutan. Hal ini dilakukan dengan meratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) melalui Keppres No. 43 Tahun 1978. Karena itu, pemerintah mengikuti seluruh ketentuan CITES dalam mengatur perdagangan spesies, baik untuk pasar domestik maupun luar negeri.
Jenis satwa liar yang dapat diperdagangkan adalah satwa liar yang tidak dilindungi, sedangkan untuk jenis dilindungi, perdagangan hanya diperbolehkan untuk spesimen hasil penangkaran generasi kedua (F2) dan seterusnya. Generasi kedua dan seterusnya ini dinyatakan sebagai satwa tidak dilindungi, sehingga dapat diperdagangkan dengan syarat asal-usulnya dapat diverifikasi.
Perdagangan hanya dapat dilakukan oleh badan usaha berbadan hukum Indonesia yang mendapat rekomendasi menteri, dengan pengecualian tertentu bagi masyarakat sekitar Areal Buru dan Taman Buru sesuai ketentuan perundangan perburuan satwa buru.
Peredaran TSL hasil penangkaran dapat dilakukan baik di dalam negeri maupun ke luar negeri, namun seluruhnya wajib dilengkapi dengan dokumen resmi sebagai instrumen pengendalian dan penelusuran asal-usul. Untuk peredaran dalam negeri digunakan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN), sementara untuk peredaran luar negeri diwajibkan SATS-LN, baik yang berbentuk izin/sertifikat CITES maupun non-CITES tergantung status apendiks spesies tersebut. Ketentuan dokumen ini menjadi kunci dalam menjaga transparansi peredaran, mencegah pencampuran dengan satwa tangkapan alam, serta memastikan bahwa perdagangan hanya dilakukan dalam batas yang diizinkan.
Selain pemanfaatan untuk kepentingan ekonomi dan non-ekonomi, penangkar juga memiliki kewajiban untuk melakukan pengembalian ke habitat alami sebagai bagian dari kontribusi terhadap pemulihan populasi di alam.
Pelepasliaran hanya dapat dilakukan apabila satwa memenuhi sejumlah kriteria penting, antara lain memiliki nilai genetik mendekati induknya, berasal dari jenis yang populasinya di alam rendah sehingga restocking bermanfaat, serta dalam keadaan sehat, tidak cacat, dan diperkirakan mampu bertahan hidup di habitat alaminya.
Lokasi pelepasliaran harus berada dalam wilayah sebaran alami spesies tersebut atau pada area yang diketahui pernah menjadi habitatnya, serta kondisi habitat harus layak dan mampu mendukung kebutuhan ekologis satwa. Selain itu, aspek perilaku turut diperhatikan untuk memastikan bahwa satwa memiliki kemampuan adaptasi dan naluri yang memadai ketika kembali ke alam.
Statistik Perusahaan Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar BPS menunjukkan bahwa sebagian besar pemanfaatan TSL adalah untuk perdagangan dalam negeri.
Berdasarkan data BPS, pemanfaatan TSL hasil penangkaran didominasi oleh beberapa komoditas bernilai tinggi seperti kera, kura-kura, anggrek, dan ular yang mendominasi nilai produksi sepanjang 2024.
Kelompok TSL tersebut umumnya dimanfaatkan untuk kebutuhan penelitian, biomedis, hingga pemeliharaan sebagai koleksi.
Sebagai contoh, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang memiliki nilai produksi mencapai Rp3,6 miliar, menjadi salah satu komoditas yang banyak diekspor untuk kebutuhan penelitian dan biomedis. Namun, spesies ini menjadi komoditas paling problematik di sektor penangkaran dan perdagangan satwa di Indonesia. Pasalnya, penangkapan spesies ini masih terjadi dalam skala besar dan seringkali dilakukan dengan proses yang brutal.
Concern lainnya dari sektor penangkaran di Indonesia adalah tingginya angka kematian TSL di penangkaran, sebagaimana dilaporkan dalam Statistik Perusahaan Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar BPS. Kondisi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari kualitas manajemen penangkaran yang kurang memadai hingga motif usaha yang lebih ke arah komersial daripada konservasi.
Tingginya kematian juga berkaitan dengan penangkapan satwa dari alam (F0) yang menyebabkan trauma, sehingga memiliki tingkat adaptasi rendah terhadap lingkungan buatan. Selain itu, penyakit menular seperti infeksi bakteri, jamur, atau zoonosis kerap menyebar cepat di fasilitas yang tidak memiliki protokol kesehatan yang ketat.
Faktor lain seperti pemberian pakan yang tidak sesuai kebutuhan biologis, manajemen reproduksi yang buruk, serta kondisi transportasi yang tidak memenuhi standar turut memperbesar risiko kematian. Tidak sedikit juga perusahaan penangkaran yang lebih berorientasi pada aspek komersial daripada konservasi. Ini menyebabkan investasi dalam fasilitas dan perawatan tidak memadai sehingga meningkatkan tingkat stres dan kematian.
Secara keseluruhan, tingginya kematian TSL di penangkaran menunjukkan bahwa sebagian besar fasilitas masih menghadapi kesenjangan signifikan antara tuntutan biologis spesies dengan kapasitas pemeliharaan yang tersedia.
(mae/mae)