Jakarta, CNBC Indonesia - Harga beras global masuk zona merah sepanjang 2025. Kontrak beras di bursa internasional diperdagangkan di kisaran US$10,1 per hundredweight, mendekati titik terendah sejak Februari 2019.
Data Trading Economics memperlihatkan harga US$10,17/cwt per 26 November 2025, dengan kinerja YTD -27,49% dan YoY -32,96%. Penurunan sedalam ini mengindikasikan koreksi struktural, bukan volatilitas sementara.
Tekanan harga beras global bermula dari sisi pasokan. Proyeksi FAO menunjukkan produksi beras dunia musim 2025-26 mencapai 556,4 juta ton, naik 1,0 juta ton dari proyeksi sebelumnya dan 1,2% lebih tinggi dibanding musim sebelumnya. Oversupply terjadi pada saat yang sama ketika permintaan perdagangan internasional justru melemah kombinasi yang secara historis menjadi resep koreksi harga yang dalam.
India menjadi pusat perhatian. Kementerian Pertanian negara itu melaporkan produksi beras mencapai 150,184 juta ton, meningkat 12,359 juta ton dibanding tahun lalu - salah satu kenaikan tahunan terbesar dalam sejarah produksi India. Lonjakan produksi sebesar itu langsung menggeser persepsi pasar dari risiko kekurangan (2023-2024) ke narasi kelebihan pasokan (2025).
Tekanan harga bukan hanya terlihat pada kontrak berjangka, tetapi juga pada harga fisik di negara eksportir. Harga beras Thailand 5% broken berdasarkan data Refinitiv terus turun sepanjang 2025. Pada 21 November 2025, harga tercatat 340 (TRDPRC_1), jauh lebih rendah dibanding 512 pada 19 Desember 2024 penurunan sekitar 33% dalam 11 bulan. Ini membuktikan koreksi harga telah merembet ke pasar spot Asia.
Pasar Thailand merupakan contoh paling jelas bagaimana kombinasi supply dan demand menciptakan tekanan harga. Harga 5% broken white rice mencapai level terendah dalam delapan tahun, dipicu lemahnya permintaan internasional dan depresiasi Baht. Eksportir menekan harga agar volume bergerak, tetapi pasar tetap sepi pembeli akibat stok berlebih di negara tujuan.
Filipina, salah satu importer terbesar, menunda impor selama 60 hari sejak 1 September 2025 untuk melindungi petaninya dari jatuhnya harga saat panen. Hasilnya signifikan: ekspor Thailand ke Filipina periode Januari-Juli 2025 hanya 161.358 ton, turun 47,4% dibanding tahun sebelumnya. Ketika pembeli besar menghilang, harga internasional semakin kehilangan penyangga.
Pada 2024, Indonesia merupakan destinasi ekspor beras terbesar Thailand dengan 1,33 juta ton, tetapi hingga 2025 Indonesia tidak membeli beras sama sekali karena mengejar swasembada dan peningkatan produksi nasional. Absennya dua pembeli besar Filipina dan Indonesia memperparah jatuhnya permintaan global.
Dari dalam negeri, Kepala Bapanas Andi Amran Sulaiman menyatakan Indonesia berperan menurunkan harga pangan global dengan meningkatkan produksi beras. CBP atau Cadangan Beras Pemerintah kini mencapai 3,8 juta ton, sementara produksi nasional diproyeksikan 34,77 juta ton pada 2025, meninggalkan surplus 4,15 juta ton dari produksi tahun sebelumnya. Pemerintah juga menghentikan impor pada 2025 untuk menjaga stabilitas harga domestik.
Klaim tersebut bukan tanpa dasar. Ketika Indonesia beralih dari importer besar menjadi negara dengan surplus 3,8 juta ton (dengan konsumsi sekitar 30,97 juta ton), pasar internasional kehilangan permintaan jutaan ton yang sebelumnya datang dari Indonesia setiap tahun. Dalam konteks perdagangan global, hilangnya satu pembeli besar memang menurunkan harga.
Namun, Indonesia bukan satu-satunya faktor yang membuat kejatuhan harga beras global. Oversupply dunia terutama digerakkan oleh lonjakan produksi India, panen besar Thailand dan Vietnam setelah musim monsun kuat, serta revisi naik proyeksi produksi FAO. Kebijakan pembelian yang berhenti dari Filipina dan Indonesia mempercepat tekanan turun, tetapi dampaknya bersifat tambahan - bukan penyebab utama.
Kontrasnya, sebagian eksportir justru menyalahkan "wait-and-see mode" pembeli. Banyak importir memegang high cost stock yang dibeli saat harga tinggi pada 2024, sehingga mereka menunda pembelian hingga harga turun lebih jauh. Mekanisme ini memperdalam penurunan harga, bukan karena kelebihan produksi semata namun juga karena perubahan perilaku perdagangan.
Implikasi bagi petani di berbagai negara menjadi perhatian khusus. Penurunan harga internasional dapat dengan cepat menekan harga domestik jika pemerintah tidak melakukan intervensi penyerapan. Di Indonesia, kondisi harga gabah menunjukkan tren kenaikan indeks dari 136,78 (Januari 2025) menjadi 146,24 (Oktober 2025) - indikasi pemerintah menjaga daya beli petani di tengah surplus produksi.
Penurunan harga beras global tahun 2025 bukan akibat satu negara, melainkan gabungan peningkatan produksi Asia yang sangat besar serta melemahnya permintaan spot karena penundaan impor oleh beberapa pembeli utama. Indonesia adalah bagian dari puzzle, tapi bukan pusat gravitasi penyebab kejatuhan harga.
CNBC Indonesia Research
(emb/wur)