Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah bank sentral besar di Asia tengah mempertebal cadangan devisanya sepanjang 2025. Kebijakan ini adalah langkah defensif menghadapi peningkatan volatilitas pasar global.
Total cadangan devisa Asia kini mendekati US$8 triliun atau setara dengan Rp133.880 triliun (asumsi kurs: Rp16.735/US$1), dengan penambahan lebih dari US$400 miliar hanya dalam tahun 2025.
Penguatan cadangan devisa ini didorong oleh kombinasi intervensi bank sentral serta faktor perubahan valuasi terutama seiring dengan pelemahan dolar AS pada awal tahun dan reli harga emas yang meningkatkan nilai aset non-dolar.
Banyak yang menyebut bahwa negara-negara Asia saat ini memiliki cadangan devisa yang sangat memadai, bahkan setelah beberapa negara menarik cadangannya untuk stabilisasi nilai tukarnya. Rasio kecukupan impor di negara-negara Asia secara umum berada pada level yang lebih dari cukup untuk menghadapi gejolak perubahan nilai tukar.
Baru-baru ini, intervensi oleh bank sentral kembali menjadi sorotan setelah lonjakan dolar AS di pasar global sejak September hingga memicu pelemahan tajam pada sejumlah mata uang Asia.
Rupee India dan peso Filipina sempat menyentuh rekor terendah, sementara won Korea Selatan berada di dekat titik terlemah dalam 16 tahun terhadap Greenback. Beberapa analis memperingatkan bahwa bank sentral Asia semakin waspada terhadap risiko pelemahan kurs lebih lanjut, namun pada saat yang sama tetap berhati-hati agar tidak memicu persepsi manipulasi nilai tukar di mata pemerintah Amerika Serikat (AS).
Sejumlah perkembangan politik juga menjadi bagian dari latar belakang kehati-hatian ini.
Pemerintah AS di bawah Presiden Donald Trump sebelumnya sempat mengaitkan aksi intervensi mata uang dengan alasan penetapan tarif impor.
Meski Departemen Keuangan AS belum menyebut satu pun negara Asia sebagai manipulator dalam kajian semesterannya, beberapa negara seperti China, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Vietnam tetap masuk daftar pemantauan yang intensif.
Bank Sentral Mana Saja yang Cadangan Devisanya Naik?
Kenaikan cadangan devisa di Asia sepanjang 2025 dipimpin oleh negara-negara ekonomi besar yang sedang memperkuat tameng eksternalnya. China mencatat peningkatan paling signifikan, diikuti India, Korea Selatan, dan Jepang, sementara enam negara Asia lainnya menambah kekuatan devisanya secara moderat.
China memimpin dengan kenaikan dari US$3.478 miliar pada Januari menjadi US$3.688 miliar pada September. Hal ini mencerminkan stabilisasi yuan serta efek kenaikan valuasi aset non-dolar, termasuk emas.
Jepang turut memperkuat cadangan devisanya dari US$1.240 miliar menjadi US$1.341 miliar di periode yang sama, sejalan dengan meningkatnya tekanan pelemahan yen ke level terendah 10 bulan.
India mencatat peningkatan dari US$629,55 miliar menjadi US$690 miliar, ditopang intervensi agresif bank sentral India untuk mengimbangi pelemahan rupee yang dipicu tarif impor AS dan aliran keluar dana asing. Korea Selatan juga mempertebal cadangannya dari US$411 miliar menjadi US$428 miliar, setelah won menyentuh titik lemah historis dan pemerintah Seoul meningkatkan koordinasi dengan National Pension Service.
Enam negara Asia lainnya seperti Singapura, Taiwan, Hong Kong, Thailand, Malaysia, dan Filipina turut memperkuat cadangan devisanya.
Singapura mencatat kenaikan tajam dari US$363,3 miliar menjadi US$511 miliar, Taiwan dari US$577 miliar menjadi US$600 miliar, dan Thailand dari US$214 miliar menjadi US$272 miliar, sementara Malaysia dan Filipina juga mencatat peningkatan namun tidak signifikan.
Bagaimana Denga Indonesia?
Bank Indonesia mencatatkan torehan yang berbeda dengan banyak bank sentral negara Asia lainnya. Cadangan devisa RI justru mengalami penurunan dari US$156,1 miliar di Januari 2025 turun menjadi US$149,9 miliar pada Oktober lalu.
Meski justru mengalami penurunan atau berbanding terbalik dari negara-negara lain, level ini tetap mencukupi untuk menopang stabilitas eksternal Indonesia.
Bank Indonesia pun memanfaatkan pendekatan bauran untuk menjaga stabilitas rupiah mulai dari intervensi di pasar spot dan DNDF, optimalisasi transaksi di pasar valas domestik, hingga pemanfaatan instrumen berbasis valas seperti SRBI. Strategi tersebut membantu menahan tekanan rupiah di tengah arus keluar dana portofolio dan penguatan dolar AS yang kembali intens sejak September.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)