Newsletter

Perang Data Bikin Tegang: BI Rate, Transaksi Berjalan-Kabar Genting AS

Gelson Kurniawan,  CNBC Indonesia
17 November 2025 06:11
Ilustrasi Trading (Stok Market)
Foto: Infografis/ Infografis, Kesepakatan Trump Prabowo/ Edward Ricardo Sianturi
  • Pasar keuangan Indonesia dan rupiah melemah sementara harga SBN nyaris stagnan
  • Wall Street ditutup bervariasi menunggu rapor Nvidia dan data ekonomi AS
  • Pengumuman BI-Rate serta kebijakan AS akan menjadi penggerak pasar domestik pada minggu ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar di Indonesia bergerak beragam pada akhir pekan lalu. Penguatan dapat dilihat pada nilai tukar rupiah, imbal hasil obligasi stagnan tetapi di lain sisi bursa saham melemah pasar Jumat (14/11/2025)

Pasar keuangan Indonesia diproyeksikan akan mengalami volatilitas pada hari ini hingga satu pekan ke depan. Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini dan sepekan ke depan bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)  ditutup melandai di 8.370,43 (-0,02%) pada perdagangan Jumat pekan lalu (14/11/2025) dengan total market cap menyentuh angka Rp 3.591 triliun pada penutupan pasar.

Terjadi net foreign sell sebesar Rp 73,42 milyar. Pasar saham Indonesia pada saat ini ditopang besar oleh investor domestik hingga kurang lebih 76% dari saham keseluruhan pasar dikuasai oleh investor dalam negeri.

Terdapat 480 saham mengalami pelemahan, 241 saham mengalami penguatan, dan 245 saham tidak bergerak dengan nilai transaksi mencapai Rp 20,82 triliun pada Jumat (14/11/2025).

Pasar ditopang oleh kinerja saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang beberapa hari ke belakang tengah rally sampai dengan double digit persen akibat dari sisi indikator, serta adanya sentimen selesainya akuisisi BUMI dalam akuisisi perusahaan pertambangan emas dan tembaga di Australia bernama Wolfram senilai hampir 100% dengan nilai transaksi mencapai hampir Rp 700 milyar.

Selain itu PT Sinergi Inti Andalan Prima Tbk (INET) +70 (+15.91%), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) +50 (+0,6%), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) +150 (+5,19%), dan PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI) +525 (+3,70%) menjadi saham dengan nilai transaksi tertinggi pada Jumat (14/11/2025)

Kemudian DSSA, MORA, dan TLKM menjadi tiga perusahaan tertinggi penggerak naiknya IHSG, sementara AMMN, BREN, dan BRMS menjadi tiga perusahaan dengan penggerak turunnya IHSG hingga penutupan pasar pada sore hari.

Beralih ke pasar rupiah, mata uang ditutup ditutup di Rp16.690/US$ atau mengalami penguatan sebesar 0,18%.

Dari pasar obligasi, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun Indonesia mengalami kenaikan tipis bahkan hampir stagnan ke angka 6.1196%  dari hari sebelumnya yang ditutup pada level 6,1123%.

Stagnasi pada imbal hasil ini diakibatkan oleh adanya investor yang masih wait and see dan menentukan arah kebijakan dan data penting yang akan keluar pada beberapa waktu mendatang.

Berdasarkan hasil dari perdagangan pasar saham di Wall Street pada Jumat (14/11/2025), masing-masing ditutup bervariasi.

Nasdaq ditutup pada level 22.900 naik sebesar 30,23 poin (+0,13%). Sementara S&P 500 ditutup sedikit melemah sebesar 0,05% ke level 6.734,11.

Sementara Dow Jones Industrial Average (DJIA) menjadi index yang tertekan pada penutupan pasar mengalami penurunan sebesar -0,65% ke level 47.147 bahkan tidak pernah menyentuh area hijau pada waktu perdagangan.

Sesi perdagangan terakhir ini diwarnai oleh kehati-hatian investor yang menimbang ulang ekspektasi mereka terhadap pemotongan suku bunga The Fed lebih lanjut di bulan Desember. Terhentinya rilis data ekonomi penting seperti inflasi dan ketenagakerjaan akibat penutupan pemerintahan (government shutdown) yang terjadi sebelumnya, membuat bank sentral AS kekurangan data acuan untuk mengambil keputusan.

Data Index yang bervariasi ini mengindikasikan adanya kebingungan dalam pasar walaupun pada saat ini Fear and Greed Index pada pasar saham di Amerika masih berada pada level 20-an (Extreme Fear) selama beberapa minggu ini. 

Hal ini dipacu oleh adanya ketakutan pada AI Bubble yang semakin hari semakin nyata dirasakan oleh pasar akibat valuasi perusahaan-perusahaan AI di AS yang semakin tidak terkendali akibat pergerakan harga sahamnya yang ekspansif.

Di tengah kebimbangan pasar ini, dua berita besar dari Washington dan Omaha menyita perhatian investor.

Pertama, dari sisi kebijakan, Presiden Donald Trump secara mengejutkan menandatangani perintah eksekutif pada  Jumat untuk memotong atau menghapus apa yang disebutnya tarif "resiprokal" pada berbagai komoditas impor, terutama bahan pangan.

Langkah ini mencakup produk-produk utama seperti daging sapi, kopi, pisang, tomat, dan berbagai buah-buahan tropis.

Ini juga merupakan sebuah pengakuan implisit bahwa kebijakan tarifnya selama ini turut berkontribusi pada kenaikan harga, sebuah sentimen yang santer terdengar pasca-kemenangan Demokrat dalam pemilihan sela (off-year elections) baru-baru ini di mana isu ekonomi menjadi faktor penentu.

Kedua, dari jagat korporasi, investor legendaris Warren Buffett kembali membuat gebrakan. Dalam laporan terbarunya, Berkshire Hathaway mengungkap kepemilikan saham baru senilai US$ 4,3 miliar di Alphabet, induk perusahaan Google.

Ini adalah taruhan besar yang mengejutkan, mengingat Buffett secara historis dikenal menghindari saham-saham teknologi yang tumbuh cepat, meski Apple telah lama menjadi portofolio terbesarnya.

Banyak analis meyakini langkah ini didorong oleh manajer investasinya, Todd Combs dan Ted Weschler, yang lebih terbuka pada sektor teknologi.

Pada saat yang sama, Berkshire juga terlihat kembali memangkas kepemilikan sahamnya di Apple, meskipun raksasa iPhone itu masih menjadi investasi terbesarnya. Langkah ini menjadi sorotan karena diambil menjelang akhir era kepemimpinan Buffett selama 60 tahun di Berkshire.

Kembali ke pasar, dengan sentimen yang masih rapuh, investor kini mencari katalis baru. Laporan pendapatan dari raksasa teknologi menjadi fokus utama minggu depan.

Pasar tengah menyoroti laporan keuangan Nvidia sebagai pemantik potensial yang akan dipublikasikan pada Rabu (19/11/2025) mendatang.

Dengan saham Nvidia yang berhasil pulih dari tekanan jual pada hari Jumat, laporan yang kuat dari raksasa AI ini diyakini dapat menjadi pemicu yang dibutuhkan pasar untuk memulai reli yang lebih luas, dan menarik sektor teknologi keluar dari bayang-bayang kekhawatiran valuasi.

Namun potensi eskalasi geopolitik kian memanas antara Jepang dan juga China akibat perkataan yang dilontarkan oleh PM Sanae Takaichi pada akhir pekan lalu, dibahas pada halaman selanjutnya.

Fokus utama pasar domestik pekan ini tertuju pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) dan juga ucapan PM Jepang Takaichi yang berpotensi meningkatkan tensi geopolitik di lautan China.

Dari Amerika Serikat, keputusan Trump membatalkan tarif impor sejumlah komoditas pertanian menjadi kabar positif. Berikut sejumlah sentimen pasar pekan depan:

Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) September 2025

Bank Indonesia akan mengumumkan data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) periode September pada hari ini, Senin (17/11/2025).

Sebagai catatan, pada Agustus 2025 utang luar negeri tumbuh melambat. Posisi ULN Indonesia pada Agustus 2025 tercatat sebesar US$ 431,9 miliar , atau secara tahunan tumbuh 2,0% (yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan 4,2% (yoy) pada Juli 2025.

Perkembangan ini terutama bersumber dari melambatnya pertumbuhan ULN sektor publik dan kontraksi pertumbuhan ULN sektor swasta.

Posisi ULN pemerintah pada Agustus 2025 tercatat sebesar US$213,9 miliar dolar AS, tumbuh sebesar 6,7% (yoy), atau melambat dibandingkan dengan pertumbuhan 9,0% (yoy) pada Juli 2025.

Posisi ULN swasta tercatat sebesar US$194,2 miliar dolar, atau mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 1,1% (yoy) pada Agustus 2025, lebih besar dibandingkan kontraksi bulan sebelumnya sebesar 0,2% (yoy)

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI)

Bank Indonesia akan menggelar RDG pada Selasa dan Rabu pekan ini (18-19/11/2025) dan akan mengumumkan kebijakan pada Rabu. 

Berbeda dengan RDG-RDG sebelumnya yang sarat akan tekanan eksternal, pertemuan kali ini digelar di tengah lanskap makroekonomi global yang secara signifikan lebih menguntungkan bagi aset emerging markets, termasuk Indonesia.

Narasinya telah bergeser 180 derajat. Pertanyaan pasar kini bukan lagi "apakah BI akan menaikkan suku bunga untuk bertahan?" melainkan "seberapa besar ruang kebijakan yang kini dimiliki BI di tengah sinyal pivot The Fed, yang akan menghentikan reducing balance sheetnya pada Desember mendatang?"

Ini adalah inti dari perubahan paradigma pasar. Bank Indonesia saat ini mempertahankan BI Rate di level 4,75%. Di seberang Pasifik, Federal Reserve AS (The Fed) memiliki suku bunga acuan (Fed Funds Rate) pada rentang 3,75% - 4,00%.

Secara matematis, ini menempatkan Indonesia pada posisi interest rate differential (spread) positif yang atraktif sebesar 75 hingga 100 basis poin (bps). Skenario ini secara fundamental sangat menguntungkan.

Spread positif yang solid ini berfungsi sebagai insentif kuat bagi capital inflow ke instrumen SBN (Surat Berharga Negara) dan menjadi 'jangkar' alami untuk stabilitas, bahkan potensi apresiasi, nilai tukar Rupiah ke depan apabila Bi-Rate tetap ditahan pada level saat ini.

Posisi superior ini memberikan kemewahan bagi BI untuk tidak perlu reaktif terhadap kebijakan The Fed dan dapat lebih fokus pada mandat stabilitas domestik, apabila kondisi pasar tetap berjalan sesuai dengan rencana.

Dari sisi domestik, data-data terbaru justru memberi BI justifikasi untuk tetap prudent (hati-hati). Pertumbuhan Kredit (Loan Growth) per Oktober tercatat melambat ke level 7,7% (YoY).

Moderasi ini mengindikasikan bahwa transmisi kebijakan moneter BI-pasca kenaikan terakhir ke 4,75%-sudah berjalan efektif dan mulai mendinginkan permintaan kredit di sektor riil, sehingga mengurangi risiko overheating.

Rilis FOMC, Sinyal 'Pivot' The Fed Semakin Kuat?


Bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan merilis risalah Federal Open Market Committee (FOMC) pada Kamis (20/11/2025). Rilis ini akan menjadi pegangan bagi pelaku pasar mengenai arah kebijakan The Fed ke depan.

Data CME FedWatch Tool menunjukkan pasar kini terbelah (split) dalam memproyeksikan langkah The Fed.

Meskipun 55,6% pelaku pasar masih berekspektasi The Fed akan menahan (hold) suku bunga, porsi yang signifikan 44,4% justru telah melakukan pricing-in atas skenario pemangkasan suku bunga (rate cut).

Chairman The Fed Jerome Powell bulan lalu mengatakan pemangkasan Desember belum pasti. Namun, data ekonomi menunjukkan pemburukan.

Pasar meyakini The Fed akan segera melakukan berbagai cara untuk menghindari hard landing ekonomi imbas dari kebijakan pada masa Covid beberapa tahun ke belakang.

Bagi Indonesia, sinyal dovish The Fed adalah katalis bullish primer, yang berpotensi menekan Indeks Dolar (DXY) dan membuka ruang penguatan Rupiah lebih lanjut. Namun tetap harus waspada terhadap adanya ancam di mana The Fed yang akan mempertahankan suku bunganya pada FOMC mendatang.

Data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dan Transaksi Berjalan

Pada Kamis (21/11), Bank Indonesia mengumumkan data NPI dan Transaksi Berjalan kuartal III-2025. Data ini sangat penting dan ditunggu pelaku pasar dan publik karena menjadi cerminan seberapa kekuatan fundamental Indonesia di tengah tekanan eksternal.


Sebagai catatan, NPI Kembali mengalami defisit pada kuartal II-2025. Defisit dipicu derasnya arus keluar modal asing di saham dan obligasi. Kondisi ini membuat defisit neraca transaksi finansial membengkak.

Data Bank Indonesia mencatat defisit NPI pada kuartal II-2025 tercatat mencapai US$6,74 miliar,sekaligus menjadi defisit yang tertinggi sejak kuartal II-2023.
Bila dibandingkan dengan periode kuartal pertama tahun ini, terjadi kenaikan defisit yang sangat besar, dimana pada kuartal I-2025 defisit NPI tercatat sebesar US$800 juta. Artinya terjadi kenaikan deficit NPI sebesar US$5,94 miliar.


Transaksi berjalan membukukan defisit sebesar US$3,01 miliar pada kuartal II-2025 atau 0,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit tersebut adalah yang tertinggi sejak kuartal I-2020 yang tercatat sebesar US$3,36 miliar.

Defisit pada transaksi berjalan ditengarai oleh meningkatnya defisit pada pendapatan primer, yang tercatat defisit sebesar US$35,87 miliar di kuartal II-2025, naik dari defisit di periode sebelumnya yakni US$9,04 miliar.

Kondisi ni diperparah dengan menurunnya surplus pada neraca perdagangan barang. Pada kuartal II- 2025, tercatat surplus US$10,6 milia turun dibandingkan periode sebelumnya yang tercatat surplus US$13 miliar.

Perkembangan Uang Beredar Oktober 2025

Bank Indonesia akan mengumumkan data uang beredar pada Oktober 2025 pada Jumat (21/11/2025). Data ini akan menjadi pegangan seberapa besar belanja masyarakat di awal kuartal IV-22025.

Data ini juga menjadi indikator penting bagi likuiditas perbankan dan permintaan kredit. Kenaikan likuiditas dapat mendukung aktivitas ekonomi, namun pasar juga mempertimbangkan implikasinya terhadap inflasi dan strategi kebijakan BI ke depan.

Sebagai catatan, uang beredar dalam arti luas (M2) pada September 2025 tumbuh lebih tinggi. Pertumbuhan M2 pada September 2025 sebesar 8,0% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Agustus 2025 sebesar 7,6% (yoy) sehingga tercatat Rp9.771,3 triliun. Perkembangan tersebut didorong oleh pertumbuhan uang beredar sempit (M1) sebesar 10,7% (yoy) dan uang kuasi sebesar 6,2% (yoy).

Faktor Penopang Kebijakan Akomodatif China

People's Bank of China (PBoC) akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis (20/11/2025). PBoC diperkirakan akan menahan Loan Prime Rate (LPR) 1 tahun di level 3,0%.

Kebijakan moneter China yang tetap akomodatif ini krusial untuk menjaga harga komoditas global. Bagi Indonesia, ini membantu menjaga floor price untuk ekspor andalan (batu bara, CPO, nikel), yang pada gilirannya menopang surplus neraca perdagangan dan memberi fondasi kuat bagi stabilitas Rupiah.

Di lain sisi, China saat ini memfokuskan kebijakannya pada penjagaan nilai tukar CNY seperti yang terjadi pada pekan sebelumnya di mana CNY ditekan untuk tetap berada di level rendah guna meningkatkan ketergantungan dagang dan stabilitas akibat tarif yang kian ditetapkan oleh Amerika.

Stagflasi Jepang dan Ancaman Repatriasi Yen


Jepang akan mengumumkan sejumlah data penting mulai dari pertumbuhan ekonomi kuartal III-2025 pada hari ini, Senin (17/11/2025), neraca perdagangan Oktober pada Rabu (19/11/2025) dan inflasi pada Jumat (21/11/2025).

ata ekonomi Jepang menunjukkan dilema stagflasi yang sempurna. Pertumbuhan melambat sementara inflasi tinggi. 

Ini menempatkan Bank of Japan (BoJ) dalam posisi terjepit. Risiko terbesarnya adalah jika BoJ terpaksa mengorbankan pertumbuhan dan mulai menormalisasi suku bunga negatifnya untuk memerangi inflasi. Jika ini terjadi, 'pesta' Yen Carry Trade akan berakhir.

Ini berpotensi memicu repatriasi modal (capital outflow) besar-besaran dari investor Jepang-salah satu pemegang SBN terbesar-yang menarik dana mereka kembali ke Yen. Ini adalah risiko eksternal utama yang kini menggantikan The Fed.

Foto kolase PM Jepang, Sanae Takaichi dan Presiden China, Xi Jinping. (CNBC Indonesia)Foto: Foto kolase PM Jepang, Sanae Takaichi dan Presiden China, Xi Jinping. (CNBC Indonesia)

Hancurnya Hubungan Jepang dan China

Seluruh rencana di atas dapat berubah karena satu perbuatan yang dilakukan oleh PM Baru Jepang Sanae Takaichi yang baru menjabat beberapa waktu ini. Suatu perkataan krusial baru saja dilontarkan pada akhir pekan lalu.

 Takaichi mengucapkan sinyal buruk terkait potensi naiknya tensi geopolitik di Taiwan ini menjadikan suatu ancaman besar bagi perekonomian dunia. Hal ini membentuk suatu kekhawatiran di pasar akibat respon balik oleh China untuk rakyatnya tidak datang ke Jepang terlebih dahulu.

Hal ini mampu membentuk suatu gangguan supply chain di kawasan Taiwan, terutama TSMC yang merupakan perusahaan pembuat semi-conductor terbesar di dunia. Gangguan ini berpotensi menghilangkan momentum rally AI yang sekarang tengah terjadi pada Wall Street.

Diproyeksikan penutupan pasar saham di Amerika pada pagi esok hari nanti akan berisi pelemahan terutama ditopang oleh sektor teknologi dan juga AI.

Selain itu, konflik ini juga mengganggu potensi pendapatan perusahaan-perusahaan AI yang berada di Amerika sehingga forecast investasi juga akan berubah dan terganggu dalam waktu dekat apabila hal ini tidak berkepanjangan.

Tensi geopolitik ini sangat krusial bagi Amerika dan China karena masa depan dunia dan AI sangat bergantung pada produksi chip yang dibuat oleh TSMC yang memiliki weight market share terbesar di dunia.

Data Ekonomi Amerika

Dengan berakhirnya shutdown pemerintahan terpanjang dalam sejarah Amerika Serikat, berbagai lembaga statistik utama kini mengumumkan rencana untuk menerbitkan jadwal terbaru bagi rilis data ekonomi yang tertunda.

Namun ketidakpastian masih ada, karena beberapa laporan kunci kemungkinan pada akhirnya dibatalkan jika lembaga terkait tidak dapat menyelesaikannya akibat terganggunya proses pengumpulan data. Meski begitu, serangkaian indikator swasta dan regional tetap akan memberikan sedikit gambaran mengenai kondisi ekonomi AS.

 

Penjualan rumah existing diperkirakan tidak banyak berubah pada Oktober. Indeks Pasar Perumahan NAHB diperkirakan turun sedikit, sementara Indeks Manufaktur Empire State New York kemungkinan melemah lebih lanjut.

Data lain mencakup S&P Global Flash PMI, laporan pekerjaan mingguan ADP, pembacaan akhir Sentimen Konsumen Michigan, serta survei manufaktur Fed Philadelphia dan Kansas. Dari sisi laba perusahaan, beberapa perusahaan besar yang akan melaporkan kinerjanya minggu depan termasuk Nvidia dan Walmart.

Trump Berikan Pengecualian Tarif

Presiden Donald Trump pada hari Jumat mengecualikan sejumlah impor pertanian utama seperti kopi, kakao, pisang, dan produk daging sapi tertentu dari tarif tinggi yang ia berlakukan.

Langkah ini diambil saat Trump menghadapi tekanan politik akibat tingginya harga di toko bahan makanan AS. Sejumlah distributor daging sapi, kopi, cokelat, dan bahan pangan umum lainnya telah menaikkan harga sejak tarif Trump diberlakukan tahun ini, menambah tekanan pada anggaran rumah tangga yang sudah terpukul oleh inflasi tertinggi dalam beberapa dekade terakhir.

Tindakan Trump pada Jumat itu juga mengecualikan berbagai jenis buah, termasuk tomat, alpukat, kelapa, jeruk, dan nanas. Selain kopi, penurunan tarif juga mencakup teh hitam dan hijau, serta rempah-rempah seperti kayu manis dan pala.

Langkah ini menandai perubahan sikap bagi Trump, yang sebelumnya bersikeras bahwa tarif diperlukan untuk melindungi bisnis dan pekerja AS. Ia mengklaim bahwa konsumen AS pada akhirnya tidak akan menanggung beban tarif yang lebih tinggi tersebut.

Pengecualian tarif ini muncul hanya sehari setelah Trump mencapai kerangka kesepakatan dagang dengan empat negara Amerika Latin-termasuk tarif 10% untuk sebagian besar barang dari Argentina, Guatemala, dan El Salvador, serta 15% untuk barang dari Ekuador. Kebijakan ini juga menghapus bea masuk untuk produk yang tidak ditanam atau diproduksi dalam jumlah cukup di AS, seperti pisang dan kopi.

Harga pangan yang terus naik telah membebani rumah tangga AS selama beberapa tahun terakhir. Data Indeks Harga Konsumen menunjukkan harga bahan makanan di rumah meningkat sekitar 2,7% secara tahunan pada September. (Data terbaru tertunda akibat shutdown pemerintah).

Pengecualian tarif ini bertujuan membantu meredam kenaikan harga bahan makanan, meskipun para ahli memperingatkan bahwa faktor lain seperti kekurangan pasokan global juga memengaruhi harga, terutama untuk kopi dan daging sapi.

Dalam setahun terakhir, AS telah memberlakukan tarif tinggi terhadap pemasok utama termasuk Brasil, Australia, Selandia Baru, dan Uruguay. Brasil-produsen daging sapi terbesar kedua di dunia-menghadapi tarif efektif yang mencapai lebih dari 75%, sehingga menurunkan volume impor ke AS pada saat populasi ternak di negara tersebut berada di level terendah dalam hampir 75 tahun.

 

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • GDP Growth Jepang
  • Industrial Production Jepang
  • FDI YoY China
  • Pertemuan Menteri Perdagangan dengan Menteri UMKM dengan agenda pembahasan "Isu Thrifting" di Gedung Utama, Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat.

  • Press conference Orange Forum 2025 "From The South To The Future: Financing Global Sustainability Through Inclusion" di Main Hall BEI, Jakarta Selatan.

  • National Seminar & FEB UI Tax Clinic Launch - Reinventing Tax Compliance: From Enforcement to Cooperative Comliance di Auditorium FEB UI, Depok, Jawa Barat. Turut hadir Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan.

  • 13th US-Indonesia Investment Summit dengan tema "Turning Headwinds into Opportunities: Unlocking Investment Potential to Power Indonesia's Growth" di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta Pusat. Turut hadir antara lain Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

  • Konferensi pers Indonesia AI Day for Higher Education bertema "Experience The Shift: From Traditional to Tech-Driven Education" di Meeting Room MX Center, Gedung Indosat, Jakarta Pusat. Narasumber: Director & Chief Business Officer Indosat.

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  • Tanggal DPS Dividen Tunai Interim PT Tera Data Indonusa Tbk
  • Tanggal DPS Dividen Tunai Interim Adi Sarana Armada Tbk
  • Tanggal DPS Dividen Tunai Interim PT Prima Globalindo Logistik Tbk
  • Tanggal DPS Dividen Tunai Interim PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk
  • Tanggal Cum Dividen Tunai Interim PT Adaro Andalan Indonesia Tbk
  • Tanggal pembayaran dividen tunai interims Darya Varia Laboratoria Tbk


Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

-

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular