Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Prabowo Subianto hari ini menganugerahi 10 tokoh yang mendapat gelar pahlawan nasional di Istana Kepresidenan, Kota Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025).
Di antara sejumlah nama besar dan popular dianugerahi gelar adalah mantan Presiden Soeharo, Gus Dur hingga tokoh buruh Marsinah.
Berikut profil singkat 10 tokoh yang dianugerahi gelar pahlawan:
1. Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid
KH. Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, merupakan Presiden ke-4 Republik Indonesia dan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah bangsa ini. Lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 4 Agustus 1940, Gus Dur berasal dari keluarga besar ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Ia adalah putra KH. Wahid Hasyim, Menteri Agama pertama Indonesia sekaligus cucu pendiri NU, KH. Hasyim Asy'ari. Ibunya, Hj. Sholehah, merupakan putri KH. Bisri Syansuri, pendiri Pesantren Denanyar Jombang.
Sejak kecil, Gus Dur tumbuh di lingkungan yang sarat dengan tradisi pesantren dan nilai-nilai Islam moderat.
Pergaulannya yang luas dengan para tokoh politik dan ulama sejak ayahnya menjabat sebagai menteri membuatnya terbiasa dengan diskusi sosial dan keagamaan sejak usia muda.
 Foto: Ist Gus Dur
|
Perjalanan hidup Gus Dur tidak selalu mudah. Kecelakaan tragis yang menewaskan ayahnya pada 1953 menjadi titik awal kedewasaannya dalam memaknai tanggung jawab dan kehidupan publik.
Pendidikan Gus Dur mencerminkan perpaduan antara dunia pesantren dan modernitas. Setelah menempuh pendidikan dasar, ia melanjutkan ke SMEP Yogyakarta, sekolah Katolik yang justru membuka wawasannya terhadap pluralisme dan toleransi.
Di sela sekolah, Gus Dur aktif mengaji di Pesantren Krapyak dan berdiskusi dengan para tokoh Muhammadiyah. Dari situ pula kecintaannya pada ilmu, filsafat, dan humor tumbuh. Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Pesantren Tegalrejo dan Tambak Beras, tempat ia mulai dikenal sebagai santri yang cerdas, kritis, dan nyentrik.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur menunaikan ibadah haji dan kemudian menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Kairo. Namun sistem pendidikan yang tak sesuai ekspektasi membuatnya melanjutkan perjalanan akademik ke Baghdad dan sempat singgah di Belanda serta Kanada.
Di sana, Gus Dur menyerap beragam pemikiran dunia, mulai dari teologi hingga sosialisme. Ia bekerja serabutan untuk bertahan hidup, namun tetap aktif berdiskusi dan membaca karya-karya pemikir dunia seperti Karl Marx, Plato, hingga Imam Al-Ghazali.
Sekembalinya ke Indonesia pada 1971, Gus Dur memilih jalur kebudayaan dan pendidikan sebagai wadah perjuangan.
Ia aktif menulis, mengajar, dan membangun gagasan Islam yang inklusif. Lewat tulisannya seperti Bunga Rampai Pesantren, Gus Dur mendorong modernisasi lembaga pesantren agar tidak hanya menjadi pusat keagamaan, tetapi juga agen pemberdayaan sosial dan politik. Ia menolak pandangan sempit yang mengkotakkan Islam dari kehidupan sosial, dan justru melihat pesantren sebagai kekuatan moral bangsa.
Tahun 1984 menjadi tonggak penting ketika Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Di bawah kepemimpinannya, NU kembali ke Khittah 1926, menegaskan diri sebagai organisasi sosial-keagamaan yang independen dari politik praktis. Di sisi lain, Gus Dur dikenal lantang membela minoritas dan memperjuangkan kebebasan berpendapat. Pemikirannya tentang Islam Nusantara dan pluralisme menjadi fondasi penting bagi wajah Islam moderat Indonesia.
Pasca tumbangnya rezim Soeharto pada 1998, Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dukungan kuat dari poros tengah mengantarkannya terpilih sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia pada 20 Oktober 1999.
Sebagai presiden, Gus Dur membawa semangat rekonsiliasi nasional, membebaskan tahanan politik, menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, dan memulihkan kebebasan pers. Meski masa kepemimpinannya singkat karena pemakzulan politik pada 2001, ia dikenang sebagai simbol demokrasi dan kemanusiaan.
Sebagai sosok yang humoris dan sering disalahpahami, Gus Dur menyimpan ketajaman berpikir yang luar biasa.
Ia memandang agama sebagai sumber etika sosial, bukan alat politik. Dalam banyak gagasannya, ia menekankan pentingnya dialog antaragama, kesetaraan warga negara, dan penghargaan terhadap kemanusiaan. "Gitu aja kok repot," ujarnya suatu kali, bukan sekadar candaan, tetapi filosofi hidup yang mencerminkan kesederhanaan dalam memandang kompleksitas dunia.
Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 di Jakarta, dan dimakamkan di kompleks Pesantren Tebuireng, Jombang. Hingga kini, warisannya tetap hidup, dalam sejarah politik, juga dalam cara bangsa ini memahami makna kebebasan, toleransi, dan kemanusiaan. Bagi banyak orang, Gus Dur adalah Bapak Pluralisme Indonesia yang mengajarkan bahwa kemuliaan manusia jauh melampaui sekat-sekat agama dan ideologi.
2. Almarhum Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto
Jenderal Besar TNI (Purn.) H. M. Soeharto merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Lahir di Desa Kemusuk, Bantul, Yogyakarta, pada 8 Juni 1921, Soeharto tumbuh dalam keluarga petani sederhana dari pasangan Kertosudiro dan Sukirah. Meski berasal dari latar belakang yang jauh dari kemewahan, perjalanan hidupnya bertransformasi luar biasa, dari anak petani menjadi presiden dengan masa jabatan terlama dalam sejarah Republik Indonesia.
Sejak kecil, Soeharto telah akrab dengan kerja keras.
Pendidikan formalnya dimulai di Sekolah Dasar Puluhan, Godean, kemudian berpindah ke Pedes dan Wuryantoro, mengikuti perubahan tempat tinggal keluarganya.
 Foto: Kanalarsip Presiden Soeharto berbicara di Sidang Umum PBBB 1992
|
Karena keterbatasan biaya, Soeharto hanya mampu menamatkan SMP Muhammadiyah Yogyakarta sebelum memilih menempuh jalur militer.
Tahun 1940 menjadi titik balik ketika Soeharto diterima di Akademi Militer Magelang (Koning Willem III). Ia dikenal disiplin dan berbakat, hingga terpilih sebagai prajurit teladan di Sekolah Bintara Gombong setahun kemudian. Setelah proklamasi kemerdekaan, Soeharto bergabung dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan turut berjuang dalam berbagai operasi militer, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 yang mengukuhkan namanya di dunia militer.
Kariernya terus menanjak. Ia memimpin Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pada 1961 dan menjabat Panglima Kostrad pada 1962. Momentum politik datang setelah peristiwa G30S 1965.
Melalui Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno, Soeharto diberi mandat memulihkan keamanan nasional. Dari situ, langkahnya menuju kursi tertinggi negara terbuka lebar hingga akhirnya dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada 27 Maret 1968.
Selama lebih dari tiga dekade memimpin, Soeharto membawa Indonesia ke era yang dikenal sebagai Orde Baru. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mencapai stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Dia meluncurkan berbagai program besar seperti Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), swasembada beras 1984, serta program Keluarga Berencana (KB) yang diakui dunia. Visi pembangunannya berfokus pada pertanian, industri, dan infrastruktur.
Soeharto juga meninggalkan sejumlah proyek monumental yang masih dikenal hingga kini. Di antaranya pembangunan Jalan Tol Jagorawi sebagai tol pertama di Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) sebagai simbol keberagaman budaya, serta Satelit Palapa yang memperkuat jaringan komunikasi nasional. Ia juga memperluas jaringan irigasi dan mendirikan SD Inpres untuk pemerataan pendidikan dasar di seluruh pelosok negeri.
Kepemimpinannya melahirkan banyak capaian, tetapi juga menuai kritik. Pemerintahan Orde Baru dikenal otoriter, dengan pembatasan kebebasan pers dan politik.
Ketika krisis moneter melanda Asia pada 1998, gelombang protes rakyat akhirnya memaksa Soeharto mengundurkan diri, menandai berakhirnya kekuasaan yang telah berjalan lebih dari tiga dekade.
 Foto: Bacharuddin Jusuf Habibie mengambil sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia, menggantikan Soeharto setelah pengunduran dirinya. (Dok. Istimewa) Bacharuddin Jusuf Habibie mengambil sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia, menggantikan Soeharto setelah pengunduran dirinya. (Dok. Istimewa)
|
Soeharto wafat pada 27 Januari 2008 di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, pada usia 87 tahun. Ia dimakamkan di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah.
Meski kepemimpinannya meninggalkan jejak kontroversial, warisannya tetap diingat. dari pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi, hingga lahirnya berbagai lembaga dan proyek nasional yang membentuk wajah Indonesia modern. Tak heran, hingga kini ia tetap dikenal dengan sebutan "Bapak Pembangunan".
3. Almarhum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja
Dikenal sebagai Bapak Hukum Indonesia, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja adalah salah satu sosok paling berpengaruh dalam sejarah hukum dan diplomasi Indonesia. Merupakan seorang juga konseptor besar di balik pengakuan dunia terhadap Indonesia sebagai negara kepulauan, sebuah tonggak sejarah yang lahir dari pemikiran jernih dan kerja diplomasi panjang di kancah internasional.
Lahir di Batavia (Jakarta) pada 17 Februari 1929, Mochtar berasal dari keluarga terpelajar. Ayahnya, M. Taslim Kusumaatmadja, adalah apoteker ternama asal Sukapura, Jawa Barat, sementara ibunya, Sulmini Soerawisastra, merupakan seorang guru asal Cirebon. Lingkungan keluarga ini menanamkan nilai pendidikan dan intelektualitas yang kelak membentuk karakter Mochtar sebagai cendekiawan hukum berwawasan global.
 Foto: Mochtar Kusumaatmadja menjadi menteri luar negeri di periode 1978-1988. (@KSPgoid) Mochtar Kusumaatmadja menjadi menteri luar negeri di periode 1978-1988. (@KSPgoid)
|
Setelah menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1955, Mochtar melanjutkan studi ke Yale Law School, Amerika Serikat, dan meraih gelar Master of Laws pada 1958.
Dia kemudian menempuh program doktor di Universitas Padjadjaran (Unpad) pada 1962, serta memperdalam ilmunya lagi di University of Chicago pada 1966. Jalur pendidikan internasional inilah yang mempertemukannya dengan berbagai gagasan modern dalam hukum internasional, termasuk tentang kedaulatan dan yurisdiksi laut.
Karier akademiknya dimulai sejak muda. Pada 1959, Mochtar menjadi dosen di Fakultas Hukum Unpad dan dengan cepat dikenal sebagai pengajar brilian.
Ia diangkat sebagai Guru Besar pada 1970 dan sempat menjabat sebagai Rektor Unpad (1973-1974). Meski masa jabatannya singkat, warisan intelektualnya bagi kampus itu panjang, ia menanamkan tradisi penelitian hukum berbasis analisis empiris dan menekankan pentingnya hukum sebagai instrumen pembangunan nasional.
Kariernya kemudian menanjak ke tingkat pemerintahan. Pada 1974, Presiden Soeharto menunjuk Mochtar sebagai Menteri Kehakiman dalam Kabinet Pembangunan II. Empat tahun kemudian, ia dipercaya menjadi Menteri Luar Negeri,jabatan yang diembannya selama satu dekade (1978-1988).
Di sinilah reputasi internasionalnya menguat. Mochtar memadukan kepiawaian diplomasi dengan kemampuan konseptual di bidang hukum laut, dan mengartikulasikannya dalam bentuk konsep Wawasan Nusantara.
Wawasan Nusantara, yang berakar pada Deklarasi Djuanda (1957), menegaskan bahwa seluruh perairan di antara pulau-pulau Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari kedaulatan nasional.
Konsep ini awalnya ditentang banyak negara, namun melalui perjuangan panjang selama hampir 25 tahun di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Mochtar berhasil meyakinkan dunia.
Puncaknya terjadi pada 1982, ketika Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) secara resmi mengakui konsep negara kepulauan (archipelagic state), sebuah kemenangan diplomasi besar yang memperkokoh posisi Indonesia di panggung global.
Selain memperjuangkan hukum laut, Mochtar juga berperan dalam pengembangan hukum nasional. Ia memimpin Sub-Konsorsium Ilmu Hukum (1969-1974) dan ikut menyusun arah Politik Hukum Nasional dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Pemikirannya menekankan bahwa hukum harus menjadi sarana pembangunan, bukan sekadar sistem aturan. Ia ingin hukum Indonesia tumbuh dari nilai-nilai sosial masyarakatnya, bukan hanya meniru sistem Barat.
Berkat pemikiran progresif ini, Mochtar banyak disebut sebagai perintis pendekatan hukum yang kontekstual dan responsif terhadap dinamika sosial. Sejumlah penelitian penting seperti Survey of Indonesian Economic Law (1970-an) dan Diagnostic Assessment of Legal Development in Indonesia (1996) menunjukkan konsistensinya membangun fondasi hukum nasional yang ilmiah, rasional, dan adaptif.
Pandangan dan karya Mochtar tidak berhenti di dunia akademik. Ia dikenal sebagai diplomat yang humanis, cendekiawan yang tenang, dan pemimpin yang rendah hati. Banyak koleganya di dunia internasional termasuk Prof. Tommy Koh dari National University of Singapore mengakui perannya sebagai sosok yang mengubah wajah hukum modern di Asia Tenggara.
Prof. Mochtar Kusumaatmadja wafat pada 6 Juni 2021 dalam usia 92 tahun. Namun warisan pemikirannya tetap hidup dalam setiap peta batas laut, setiap teks hukum pembangunan, dan setiap kampus hukum di Indonesia.
4. Marsinah
Nama Marsinah selalu muncul setiap kali membahas perjuangan buruh di Indonesia. Ia bukan sekadar pekerja pabrik biasa, melainkan sosok yang berani mengadvokasi hak-hak buruh pada masa Orde Baru-sebuah era ketika suara kritis sering dibungkam.
Marsinah bekerja sebagai buruh di PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik pembuat jam di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Pada 1993, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menandatangani aturan kenaikan upah minimum menjadi Rp2.250, atau naik 20% dari gaji pokok. Pemerintah bahkan menerbitkan surat edaran agar pengusaha mengikuti keputusan tersebut.
Namun, PT CPS menolak menaikkan gaji pokok. Perusahaan bersikeras bahwa kenaikan hanya berlaku pada tunjangan, bukan gaji dasar. Artinya, buruh tidak akan merasakan manfaat penuh, terutama saat tidak bisa masuk kerja karena alasan tertentu.
Marsinah kemudian menggalang aksi mogok massal. Aksi pun pecah. Namun, situasi berubah ketika sejumlah buruh dipanggil ke markas Komando Distrik Militer (Kodim). Pada masa Orde Baru, militer sering turun tangan dalam urusan perburuhan.
Bukannya difasilitasi, para buruh yang dipanggil justru dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. Mendengar hal itu, Marsinah berang dan memutuskan mendatangi Kodim untuk mencari kejelasan.
Namun, setelah keputusannya itu, Marsinah justru menghilang.
 Foto: Ratusan buruh dan petani menggelar aksi unjuk rasa di Gedung DPR RI pada Selasa (24/9/2024). Unjuk rasa ini dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional. (CNBC Indonesia/Tri Susilo) Ratusan buruh dan petani menggelar aksi unjuk rasa di Gedung DPR RI pada Selasa (24/9/2024). Unjuk rasa ini dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
|
Pada 9 Mei 1993, jenazah Marsinah ditemukan di sebuah gubuk di Wilangan, Nganjuk. Hasil autopsi menunjukkan luka parah di tubuhnya: tulang patah, organ dalam rusak, dan tanda-tanda kekerasan seksual. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa ia menjadi korban penyiksaan.
Kasus ini kemudian menyeret sembilan orang ke pengadilan. Namun, pada 1999 Mahkamah Agung membatalkan seluruh vonis karena dianggap tidak cukup bukti. Pelaku sebenarnya tidak pernah terungkap hingga kini.
Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Nglundo, Nganjuk. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara: Marsini, Marsinah, dan Wijiati. Setelah ibunya meninggal saat ia berusia tiga tahun, Marsinah dibesarkan oleh sang nenek. Sejak kecil ia terbiasa bekerja keras membantu keluarga.
Peristiwa tragis menimpanya saat ia baru berusia 24 tahun. Pembunuhan Marsinah menjadi salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang paling menyedot perhatian publik, bahkan hingga ke dunia internasional. Namanya kini menjadi ikon perjuangan buruh, terutama buruh perempuan, melawan ketidakadilan.
5. Almarhumah Hajjah Rahmah El Yunusiyyah
Syekhah Hajjah Rahmah El Yunusiyyah adalah seorang reformator pendidikan Islam dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia adalah salah satu tokoh pemikir dan penggerak dari Minangkabau.
Hajjah Rahmah El Yunusiyyah lahir pada 26 Oktober 1900 di Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang. Ia adalah anak bungsu dari pasangan Muhammad Yunus dan Rafia. Keluarganya merupakan penganut Islam yang taat. Ayahnya, Muhammad Yunus al-Khalidiyah bin Imanuddin adalah seorang ulama yang pernah menuntut ilmu di Mekkah. Sementara ibunya, Rafia merupakan keturunan ulama pemimpin Perang Padri.
 Foto: Hajjah Rahmah El Yunusiyyah. (Dok. masjidraya.sumbarprov.go.id) Hajjah Rahmah El Yunusiyyah. (Dok. masjidraya.sumbarprov.go.id)
|
Rahmah sempat menempuh pendidikan di sekolah agama Islam Diniyah School yang didirikan oleh kakaknya, Zainuddin Labay El Yunusy. Sekolah ini mengadopsi kurikulum dan sistem pendidikan modern, seperti menggunakan alat peraga dan perpustakaan.
Namun, sekolah ini juga mencampur murid laki-laki dan murid perempuan di kelas yang sama, suatu hal baru bagi sekolah agama saat itu. Rahmah merasa tidak puas dengan sistem tersebut, karena ia mengamati banyak perempuan merasa tidak nyaman dalam menggunakan hak belajarnya, khususnya dalam perspektif fiqih. Hal ini membuat Rahmah berinisiatif menemui beberapa ulama Minangkabau untuk mendalami fiqih.
Cita-cita dan kepeduliannya untuk mengangkat hak dan martabat perempuan, mendorong Rahmah untuk menggagas Madrasah Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang.
Pada 1 November 1923, Hajjah Rahmah El Yunusiyyah mendirikan Madrasah Diniyah Li al-Banat sebagai bagian dari Diniyah School yang dikhususkan untuk murid perempuan. Sistem pendidikan yang digagas oleh Rahmah tersebut kemudian menginspirasi Universitas Al-Azhar untuk mendirikan fakultas khusus untuk perempuan, yaitu Kulliyatul Banat.
Di samping kontribusinya di bidang pendidikan, Rahmah juga turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, Rahmah terlibat dalam Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bergerak di bidang sosial, salah satunya dengan mengumpulkan bantuan makanan dan memperjuangkan penutupan rumah bordil di Sumatera Barat. Hajjah Rahmah El Yunusiyyah juga bergabung dengan Majelis Islam Tinggi Minangkabau.
6. Almarhum Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo
Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo adalah seorang tokoh militer Indonesia. Ia juga merupakan ayah dari Kristiani Herrawati, istri dari Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sarwo Edhie Wibowo lahir pada 25 Juli 1927 di Pangenjuru, Purworejo. Ia lahir dari pasangan Raden Kartowilogo dan Raden Ayu Sutini yang merupakan keluarga PNS yang bekerja untuk Pemerintah Kolonial Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang di tahun 1942, Sarwo Edhie pergi ke Surabaya untuk mendaftarkan diri sebagai prajurit Pembela Tanah Air (PETA).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Sarwo Edhie bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), suatu organisasi militer yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sarwo Edhie sempat diangkat menjadi Komandan Batalion di Divisi Diponegoro (1945-1951) dan Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953). Kemudian ia juga ditunjuk menjadi Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959-1961), dan Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD) (1962-1964), dan Komandan RPKAD (1964-1967).
 Foto: Sarwo Edhie Wibowo. (Dok. Sekretariat Presiden) Sarwo Edhie Wibowo. (Dok. Sekretariat Presiden)
|
Sarwo Edhie kemudian diangkat menjadi menjadi Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada tahun 1964. Saat menduduki jabatan tersebut, Sarwo Edhie memiliki peran besar dalam penumpasan pemberontakan Gerakan 30 September (G30S).
Setelah Soeharto diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat pada 16 Oktober 1965, Sarwo Edhie diberi tugas untuk memulihkan keadaan pasca pemberontakan G30S. Sarwo Edhie berperan dalam penumpasan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) di berbagai daerah, terutama Jawa Tengah yang menjadi basis komunis saat itu.
7. Almarhum Sultan Muhammad Salahuddin
Sultan Muhammad Salahuddin adalah seorang Sultan Bima XIV yang bertakhta dari 1915 hingga 1951.
Sultan Muhammad Salahuddin lahir di Bima pada 14 Juli 1889. Ia mulai menduduki takhta ketika menggantikan ayahnya pada tahun 1915. Sultan Muhammad Salahuddin merupakan seorang perintis dan aktif di berbagai organisasi yang bergerak di bidang agama, sosial, hingga politik.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Sultan Muhammad Salahuddin menyatakan kecintaannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bersedia berdiri di belakang pemerintahan Negara Republik Indonesia.
 Foto: Sultan Muhammad Salahuddin. (Dok. Istimewa) Sultan Muhammad Salahuddin. (Dok. Istimewa)
|
8. Syaikhona Muhammad Kholil
Syaikhona Muhammad Kholil merupakan salah satu ulama besar asal Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
Syaikhona Kholil lahir pada Rabu malam Kamis, 9 Safar 1252 H (25 Mei 1835 M) di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Pulau Madura, dari pasangan KH. Abdul Latif dan Nyai Siti Khadijah.
Sosok nya berperan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara dan dikenal sebagai guru bagi para ulama dan cendekiawa. Atas rekomendasinya, jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU) didirikan sebagai wadah untuk mengorganisir dakwah dan pengaruh para kiai di Indonesia.
 Foto: Syaikhona Muhammad Kholil. (Dok. Istimewa) Syaikhona Muhammad Kholil. (Dok. Istimewa)
|
Sejak kecil, ia tumbuh dalam keluarga religius yang dikenal luas di kalangan masyarakat Bangkalan.
Sang ayah, KH. Abdul Latif, merupakan seorang ulama besar yang berharap putranya dapat melanjutkan perjuangan leluhurnya, Kanjeng Sunan Gunung Jati, dalam menegakkan syiar Islam di Tanah Jawa.
Bakat istimewa sudah tampak sejak usia muda. Syaikhona Kholil mampu menghafal seribu bait nadzam kitab Alfiyah Ibnu Malik dan cepat menguasai ilmu fikih serta nahwu. Setelah mendapatkan pendidikan dasar dari sang ayah, ia melanjutkan pencarian ilmu ke berbagai pondok pesantren di Madura dan Jawa. Masa ini dikenal sebagai periode pertama dalam perjalanan akademiknya.
Tahap berikutnya disebut periode Makkah, ketika ia memperdalam berbagai cabang ilmu agama di Tanah Suci dan berguru kepada sejumlah ulama besar, di antaranya Syaikh Ali Rahbini.
Pada 1863 M, atas perintah gurunya, Syaikhona Kholil kembali ke tanah air dan mendirikan Pondok Pesantren di Desa Jengkebuan, Bangkalan. Pesantren tersebut berkembang pesat dan menarik santri dari berbagai daerah di Nusantara.
Setelah beberapa tahun, kepemimpinan pesantren diserahkan kepada menantunya, KH. Muntaha (KH. Thoha bin KH. Kaffal), sementara Syaikhona Kholil pindah ke Desa Kademangan (Demangan) untuk melanjutkan kegiatan mengajar dan berdakwah.
Sebagai ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu, terutama nahwu-sharaf, hadis, dan fikih, Syaikhona Kholil dikenal dengan julukan "Syaikh al-Jawiyyin" atau mahaguru para ulama Jawa.
Tercatat sekitar 500.000 santri pernah menimba ilmu darinya, dengan 3.000 di antaranya menjadi pemimpin umat di berbagai wilayah Indonesia.
Selain sebagai pendidik, Syaikhona Kholil dikenal gemar menulis. Ia menyalin kitab Alfiyah Ibnu Malik dan menghasilkan berbagai karya berupa syair serta kisah hikmah bernilai moral tinggi.
9. Tuan Rondahaim Saragih
Tuan Rondahaim Saragih Garingging adalah salah satu dari tujuh raja Simalungun yang dikenal gigih menentang penjajahan Belanda pada abad ke-19.
Sebagai pemimpin Kerajaan Raya di wilayah Simalungun, Sumatera Utara, Rondahaim memimpin perlawanan bersenjata selama puluhan tahun dan menjadikan kerajaannya sebagai satu-satunya kerajaan di daerah itu yang tidak pernah ditaklukkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Rondahaim lahir pada tahun 1828 di Juma Simandei, Sinondang, Pamatang Raya, dari pasangan Tuan Jinmahadiam Saragih Garingging bergelar Tuan Huta Dolog dan Puang Ramonta boru Purba Dasuha.
 Foto: Tuan Rondahaim Saragih. (Dok. Istimewa) Tuan Rondahaim Saragih. (Dok. Istimewa)
|
Sejak kecil, ia telah diperkenalkan dengan sistem pemerintahan dan strategi oleh para pamannya yang menjabat sebagai pemangku kerajaan. Ia juga mempelajari bahasa Melayu serta ilmu tata pemerintahan di Kerajaan Padang, tempatnya menimba ilmu pada usia muda.
Ketika berusia 12 tahun, Rondahaim kehilangan ayahnya dan kepemimpinan kerajaan sempat dipegang oleh pamannya, Tuan Murmahata Saragih Garingging, sebelum akhirnya ia naik tahta sebagai Raja Partuanan Raya. Di bawah kepemimpinannya, kerajaan berkembang menjadi kekuatan politik dan militer besar di Sumatera Timur.
Pada masa kolonial, Rondahaim menjadi simbol perlawanan terhadap ekspansi dan aneksasi Pemerintah Kolonial Belanda. Ia dikenal memimpin ribuan pasukan yang disiplin serta menggunakan strategi perang lokal yang efektif.
Sejumlah pertempuran besar terjadi pada 1887 di Dolok Merawan dan 1889 di Bandar Padang, di mana pasukannya berhasil menghadang invasi militer Belanda. Keteguhannya membuat Kerajaan Raya menjadi satu-satunya kerajaan di Simalungun yang tidak pernah ditaklukkan.
Rondahaim dijuluki masyarakat dan sejarawan sebagai "Napoleon Batak" karena keberanian, kecerdikan, dan kemampuan militernya yang membuat Belanda segan.
Rondahaim bahkan berani menerapkan taktik bumi hangus terhadap perkebunan kolonial yang memperluas penguasaan tanah rakyat. Selama masa pemerintahannya, Rondahaim aktif memperluas wilayah kekuasaan sembari mempertahankan kedaulatan ekonomi masyarakat Simalungun dari intervensi asing.
Memasuki akhir hayat, pasukan Belanda sempat melancarkan serangan besar ke wilayah Bajalinggei pada tahun 1887, namun konflik mereda setelah 1888. Kondisi kesehatannya kemudian menurun akibat luka perang dan tekanan politik berkepanjangan.
Tuan Rondahaim Saragih Garingging wafat pada Juli 1891 di Rumah Bolon Raya, dan dimakamkan di Pematang Raya, Simalungun, di kompleks pemakaman Makam Raja Raya Tuan Rondahaim Saragih Garingging.
10. Almarhum Zainal Abidin Syah dari Provinsi Maluku Utara
Sultan Zainal Abidin Syah adalah tokoh besar dari Maluku Utara yang dikenal sebagai Sultan Tidore terakhir yang juga menjabat sebagai Gubernur Irian Barat pertama setelah Indonesia merdeka.
Zainal Abidin lahir di Soasio, Tidore, pada 5 Agustus 1912, dari pasangan Dano Husain dan Dano Salma. Sejak muda, ia menempuh pendidikan modern di masa kolonial Belanda.
Pendidikan dasarnya ditempuh di Bumiputera HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Ternate pada tahun 1924, lalu melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Batavia dan kemudian ke OSVIA (Opleidingsscholen voor Inlandsche Ambtenaren) di Makassar, sekolah calon pegawai negeri pribumi kolonial Belanda.
Setelah menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1934, Zainal Abidin diangkat menjadi Ambtenaar (pejabat asli) dan bertugas sebagai Bestuur dan Hulp-Bestuur (Bupati) di beberapa daerah, seperti Ternate (Maluku Utara), Manokwari, dan Sorong (Papua Barat).
Saat pendudukan Jepang (1942-1945), ia menjabat sebagai Ketua Kehakiman Ternate. Namun, karena dianggap ancaman oleh Jepang sebagai pewaris Kesultanan Tidore, ia ditangkap dan diasingkan ke Jailolo hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
 Foto: Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Kota Tidore Zainal Abidin Syah
|
Zainal Abidin diangkat menjadi Sultan Tidore pada tahun 1946 di Denpasar, Bali, dan penobatannya dilakukan di Soasio pada Januari 1947. Dalam masa kekuasaannya, ia menjadi tokoh penting yang menentang rencana pembentukan Negara Indonesia Timur yang berpotensi memisahkan wilayah Irian Barat dari Republik Indonesia.
Dalam Konferensi Denpasar 1946, Sultan Zainal Abidin secara tegas menolak pemisahan Irian Barat dan menyatakan bahwa wilayah itu sejak dahulu merupakan bagian dari Kesultanan Tidore.
Sikap tegasnya berlanjut pada Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, ketika ia menolak pasal-pasal yang berpotensi memisahkan Irian Barat dari Indonesia Serikat. Ia menegaskan bahwa Irian Barat adalah bagian sah dari Kesultanan Tidore dan tidak boleh dipisahkan dari wilayah Indonesia.
Pandangan ini menjadikannya salah satu tokoh kunci dalam diplomasi mempertahankan Papua.
Sebagai wujud perjuangannya, pada 17 Agustus 1956, pemerintah membentuk Provinsi Irian Barat, dengan Sultan Zainal Abidin Syah dilantik sebagai gubernur pertama. Pelantikannya berlangsung di Soasio, Tidore, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 412/RI/1956.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai gubernur pada 1961, Zainal Abidin kemudian diperbantukan di Kementerian Dalam Negeri untuk Operasi Mandala di Makassar, yang bertujuan mempercepat integrasi Irian Barat ke Indonesia. Ia pensiun pada 1963 dan menghabiskan masa tuanya di Tidore, aktif mengurus transmigrasi dan pembangunan desa.
Sultan Zainal Abidin Syah pun wafat pada 4 Juli 1967 di Ambon. Jenazahnya dimakamkan di Taman Bahagia Kapaha, Ambon, sebelum kemudian dipindahkan ke Soasio, Tidore, sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya.