 
					
					
						Air Bersih Makin Mahal & Nggak Merata! Jakarta Paling Tajir
 
        Jakarta, CNBC Indonesia- Air bersih kian menjadi komoditas strategis di tengah pertumbuhan kota dan tekanan iklim yang meningkat.
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai air bersih yang disalurkan perusahaan air bersih di Indonesia melonjak dari Rp17,42 triliun pada 2019 menjadi Rp21,25 triliun pada 2023. Kenaikan sekitar 22% dalam lima tahun ini menggambarkan peningkatan permintaan sekaligus tekanan terhadap infrastruktur air nasional.
Apakah pertumbuhan tersebut mencerminkan efisiensi distribusi, atau justru ketimpangan antarwilayah? Meski nilai ekonomi air meningkat, tantangan distribusi dan kapasitas antarprovinsi menunjukkan kesenjangan yang cukup tajam.
Secara volume, air bersih yang disalurkan oleh perusahaan air bersih nasional meningkat dari 4,13 juta ribu meter kubik pada 2019 menjadi 4,79 juta ribu meter kubik pada 2023, atau naik sekitar 16%. Artinya, jumlah air yang benar-benar sampai ke pengguna akhir juga tumbuh sejalan dengan nilai ekonominya, menandakan adanya peningkatan konsumsi, baik rumah tangga maupun industri.
Peningkatan kapasitas juga terlihat di sisi produksi. Dalam kurun 2019-2023, kapasitas produksi potensial perusahaan air bersih nasional naik dari 231.634 liter per detik menjadi 256.995 liter per detik. Kenaikan 11% ini menunjukkan adanya ekspansi investasi, modernisasi infrastruktur, atau peningkatan kemampuan produksi oleh PDAM dan operator swasta di berbagai daerah.
Namun jika dilihat lebih rinci per wilayah, peta air bersih Indonesia ternyata tak seragam. Dari sisi volume air bersih yang disalurkan pada 2023, Jawa Timur menjadi provinsi terbesar dengan 778 ribu ribu meter kubik, disusul Jawa Tengah (549 ribu), DKI Jakarta (520 ribu), dan Jawa Barat (473 ribu). Keempat provinsi di Pulau Jawa ini menyumbang hampir separuh total air bersih nasional yang disalurkan.
Menariknya, dominasi DKI Jakarta justru terlihat bukan pada volume, melainkan pada nilai ekonomi. Nilai air bersih yang disalurkan di ibu kota mencapai Rp3,13 triliun-tertinggi di Indonesia-mengungguli Jawa Barat (Rp2,95 triliun), Jawa Timur (Rp2,56 triliun), dan Jawa Tengah (Rp2,16 triliun). Artinya, setiap liter air di Jakarta memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi dibanding provinsi lain.
Kesenjangan ini bisa ditelusuri dari struktur tarif dan basis pelanggan. DKI Jakarta, sebagai pusat kegiatan ekonomi, memiliki konsentrasi pelanggan industri, perkantoran, dan rumah tangga menengah-atas yang tinggi.
Sebaliknya, provinsi seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur masih didominasi pelanggan rumah tangga dengan tarif sosial. Hal ini membuat nilai total air bersih yang disalurkan di Jakarta jauh melampaui provinsi dengan volume distribusi lebih besar.
Dari sisi kapasitas produksi, Jawa Tengah justru menempati posisi puncak dengan kapasitas potensial 34.606 liter per detik, sedikit di atas Jawa Timur (33.231 liter per detik) dan Jawa Barat (25.055 liter per detik). Data ini menunjukkan bahwa meski Jakarta berperan besar dalam nilai, kapasitas teknis terbesar justru berada di daerah penyangga dan sentra pertanian yang memiliki sumber air lebih melimpah.
Kalimantan Timur menjadi satu-satunya provinsi di luar Jawa yang menembus enam besar dalam ketiga indikator-kapasitas, volume, dan nilai air bersih yang disalurkan. Provinsi ini menyalurkan 241 ribu ribu meter kubik air dengan nilai mencapai Rp1,16 triliun. Lonjakan investasi di sektor energi dan properti tampaknya ikut mendorong permintaan air bersih di wilayah tersebut.
Secara nasional, laju kenaikan nilai air bersih (22% dalam lima tahun) lebih tinggi dibanding kenaikan volume air yang disalurkan (16%) maupun kapasitas produksi (11%). Ini mengindikasikan peningkatan nilai tambah per meter kubik air-entah karena tarif yang menyesuaikan inflasi, efisiensi penagihan, atau pergeseran konsumsi ke sektor bernilai ekonomi tinggi seperti industri dan properti.
Namun, kesenjangan tetap menjadi sorotan utama. Di satu sisi, daerah-daerah dengan kapasitas besar belum tentu menikmati nilai ekonomi tinggi. Di sisi lain, wilayah bernilai tinggi seperti Jakarta dan Banten menghadapi tekanan suplai yang terus meningkat. Hubungan "heboh" antara kapasitas, volume, dan nilai ini mencerminkan tarik-menarik kepentingan antara efisiensi, keadilan distribusi, dan nilai komersial.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb) 
     
					 
					