Sarasehan 100 Ekonom Indonesia

Pertanian RI Tertinggal dari Vietnam: Bibit Masih Warisan Kolonial

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
28 October 2025 17:10
Menko Pangan, Zulkifli Hasan saat menyampaikan paparan dalam acara Sarasehan 100 Ekonom di Menara Bank Mega, Jakarta, Selasa (28/10/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Menko Pangan, Zulkifli Hasan saat menyampaikan paparan dalam acara Sarasehan 100 Ekonom di Menara Bank Mega, Jakarta, Selasa (28/10/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia- Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), menegaskan bahwa persoalan utama pertanian Indonesia tidak satu saja soal pupuk atau harga gabah, tetapi pada ketertinggalan riset varietas unggul.

"Untuk menghasilkan 1 kilo gula, Thailand Rp3.000, Brazil Rp2.800, sementara kita Rp10.000. Kenapa? Varietasnya dari zaman Belanda itu aja. Jadi perlu penelitian baru," ujar Zulhas dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta, Selasa (28/10/2025).

Pernyataan itu membuka kembali diskursus lama tentang arah riset dan inovasi pertanian nasional. Selama beberapa dekade, produktivitas pertanian Indonesia stagnan, bahkan Total Factor Productivity (TFP) sektor ini tumbuh di bawah 3% selama 25 tahun terakhir menurut riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Di sisi lain, perbandingan sederhana menunjukkan kesenjangan besar. Produksi kentang Indonesia sekitar 20 ton per hektare, sementara Belanda dan Jerman masing-masing mencapai lebih dari 40 ton.

Anggaran riset dan inovasi pertanian terus berubah, namun belum cukup kuat mendorong lompatan produktivitas.

BRIN kini menjadi otoritas utama riset nasional melalui Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP), sinerginya dengan Kementan masih terus disempurnakan. BRIN dan Kementan bahkan telah menandatangani nota kesepahaman untuk sinkronisasi riset, standardisasi, dan penerapan teknologi pertanian.

Hasil di lapangan masih dalam perjalanan menuju cerminan potensi yang diharapkan, karena sebagian besar hasil riset masih berhenti di meja akademik, belum menjelma menjadi inovasi yang diadopsi luas oleh petani.

Sementara itu, beberapa inisiatif mulai muncul. Contohnya Institut Pertanian Bogor (IPB) mengembangkan konsep Sawah 4.0, yakni pertanian presisi berbasis sensor, drone, dan analitik data yang membantu petani mengatur irigasi dan pemupukan lebih efisien. Di sisi industri, PT Pupuk Indonesia meluncurkan Roadmap Riset Klaster Pupuk 2022-2031 dengan fokus pada biofertilizer dan pertanian berkelanjutan. Upaya ini memperlihatkan bahwa riset mulai beranjak dari laboratorium menuju praktik agribisnis.

Namun, sebagaimana dijelaskan dalam buku Inovasi dalam Pertanian. Dari Laboratorium ke Lapangan, inovasi pertanian hanya akan berhasil jika riset "tidak berhenti di institusi, tetapi melibatkan petani sebagai pengguna dan inovator utama". Artinya, keberhasilan riset tak cukup diukur dari jumlah paten atau publikasi, melainkan dari sejauh mana hasil riset mampu meningkatkan pendapatan dan efisiensi petani di lapangan.

Dalam konteks ini, pernyataan Zulhas tentang modernisasi pertanian menjadi relevan. Ia menyebut bahwa sawah Indonesia rata-rata hanya menghasilkan 5-6 ton per hektare, sementara Vietnam bisa mencapai 10 ton. Ia menekankan pentingnya mekanisasi dan pembangunan irigasi baru untuk mendorong produktivitas. "Kita harus pertanian modern, mekanisasi," ujarnya. Pernyataan ini sejatinya menuntut kolaborasi antara riset varietas unggul, teknologi mekanisasi, dan kebijakan yang berpihak pada efisiensi lahan.

Kendala terbesar riset pertanian Indonesia masih pada ekosistem adopsi dan pendanaan jangka panjang. Banyak riset yang selesai di laboratorium, tetapi gagal masuk ke siklus industri atau koperasi desa.

Inovasi seharusnya lahir dari sinergi antara peneliti, industri, dan petani, bukan hanya top-down dari pemerintah. Di sinilah pentingnya kebijakan yang mendorong co-creation riset, insentif pajak untuk inovasi, dan peran sektor swasta dalam mempercepat komersialisasi hasil riset.

Dalam konteks global, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk mengejar ketertinggalan. Negara seperti India berhasil melompat dengan model public-private research partnership pada varietas padi dan gandum. Sementara Jepang dan Korea Selatan memperkuat R&D melalui digitalisasi lahan pertanian.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)
Tags


Related Articles

Most Popular
Recommendation