Lahir di Era Budak, Bertahan 150 Tahun: Whiskey Asal AS Mau Bangkrut

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
28 October 2025 14:30
whiskey uncle nearest
Foto: https://unclenearest.com/

Jakarta, CNBC Indonesia- Merek whiskey legendaris asal Tennessee, Uncle Nearest, sedang menghadapi babak paling sulit dalam sejarahnya.

Perusahaan yang menelusuri akar hingga 1850-an itu kini berada di bawah pengawasan pengadilan setelah tersandung utang lebih dari US$108 juta dan berpotensi mengajukan perlindungan kebangkrutan Chapter 11

Laba bersih Uncle Nearest pada 2024 juga anjlok lebih dari 50%, dari sekitar US$17 juta menjadi hanya US$8 juta atau sekitar Rp 132 miliar (US$1=Rp 16.615). Penurunan ini menandakan tekanan berat di tengah kondisi pasar minuman beralkohol yang sedang lesu.

Nama Uncle Nearest sendiri memiliki kisah unik. Merek ini diambil dari sosok Nathan "Nearest" Green, seorang budak yang mengajari Jack Daniel cara menyuling whiskey. Setelah merdeka, ia menjadi kepala penyuling pertama di Jack Daniel's Distillery, menjadikannya tokoh kulit hitam pertama dalam sejarah penyulingan Amerika.

Warisan inilah yang menginspirasi Fawn dan Keith Weaver untuk meluncurkan merek Uncle Nearest pada 2017. Dalam waktu singkat, produknya mendapat pujian dan bahkan berkolaborasi dengan Jack Daniel's untuk program keberagaman industri minuman keras. Namun, kesuksesan itu ternyata tidak cukup menahan badai finansial.

 

Menurut laporan pengadilan AS, kreditur utama Farm Credit Mid-America menggugat perusahaan karena gagal bayar pinjaman dan diduga menggelembungkan nilai aset, termasuk ribuan barrel whiskey yang dijadikan jaminan. Akibatnya, pengadilan menunjuk Phillip G. Young Jr. sebagai receiver untuk mengambil alih kendali perusahaan sejak Agustus 2025.

Young kini berupaya menyeimbangkan keuangan dengan menjual aset non-inti seperti kebun anggur di Prancis, properti di Cognac, dan bisnis terkait lainnya. Ia menegaskan bahwa inti merek Uncle Nearest masih sehat dan bisa diselamatkan, dengan rencana restrukturisasi yang realistis serta ketertarikan dari sejumlah investor baru.

Meski arus kas sempat ketat, laporan keuangan terbaru menunjukkan pendapatan perusahaan mampu menutup biaya operasional selama 13 minggu terakhir. Lender utama juga menyetujui tambahan dana darurat sebesar US$2,5 juta untuk menalangi utang jangka pendek dan biaya profesional.

 

Namun di sisi lain, pendiri Fawn dan Keith Weaver melawan perluasan kendali pengadilan ke bisnis lain yang mereka miliki, seperti Humble Baron Inc. dan proyek properti di Shelbyville. Mereka menilai tindakan itu tidak relevan dan justru merusak reputasi serta hubungan bisnis Uncle Nearest dengan mitra dan pemasok.

Kasus ini menjadi sorotan karena merek tersebut bukan sekadar produk minuman keras, melainkan simbol rekonsiliasi sejarah Amerika. Kisah Uncle Nearest telah menjadi jembatan antara masa lalu kelam perbudakan dan kebangkitan industri whiskey yang lebih inklusif.

Kini, masa depan Uncle Nearest bergantung pada bagaimana restrukturisasi berjalan. Jika berhasil, merek ini berpotensi menjadi contoh kebangkitan baru.

Uncle Nearest selama ini dikenal bukan hanya karena kualitas whiskey-nya, tetapi juga karena nilai simbolisnya-merek yang membangun jembatan antara sejarah kelam perbudakan dan kebanggaan budaya modern Amerika. Namun kini, di tengah tekanan ekonomi dan perubahan gaya hidup konsumen yang kian menjauh dari alkohol, merek legendaris ini mungkin harus menutup bab terakhirnya.

Industri Alkohol AS Tengah Limbung

Industri alkohol, terutama whiskey, di AS tengah menghadapi tekanan besar dari dua arah sekaligus. Di satu sisi, konsumsi domestik menurun ke titik terendah dalam hampir satu abad. Di sisi lain, ekspor ke luar negeri juga melemah tajam akibat tarif dan persaingan global.

Data terbaru SipSource untuk 12 bulan hingga Juli 2025 menggambarkan kondisi pasar whiskey AS yang cukup rumit.

Kondisi pasar alkohol di AS memang tengah suram. Survei terbaru menunjukkan hanya 54% orang dewasa AS yang mengonsumsi alkohol, angka terendah sejak tahun 1939. Pergeseran gaya hidup sehat, meningkatnya kesadaran terhadap bahaya alkohol, serta munculnya alternatif seperti minuman non-alkohol dan ganja legal menjadi faktor utama penurunan konsumsi ini.

Selain faktor permintaan, tarif impor dan hambatan perdagangan juga ikut memperburuk nasib industri minuman keras AS. Tarif yang diberlakukan negara mitra dagang membuat produk Amerika menjadi kurang kompetitif di pasar global, terutama dibandingkan pesaing dari Eropa dan Asia.

Gabungan dari permintaan yang lesu, ekspor yang runtuh, dan stok berlebih menimbulkan kekhawatiran bahwa industri alkohol keras AS sedang menghadapi krisis struktural.
Produsen bourbon, vodka, hingga gin kini dipaksa untuk menata ulang strategi dari menekan output, memangkas harga, hingga mencari pasar baru di Asia dan Timur Tengah.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation