Ini Profil 2 Raksasa Migas Rusia yang Disanksi AS, Bisnisnya Ada di RI

Gelson Kurniawan, CNBC Indonesia
24 October 2025 12:40
Rosneft (REUTERS/DADO RUVIC)
Foto: Rosneft (REUTERS/DADO RUVIC)

Jakarta, CNBC Indonesia - Geopolitik energi global memasuki babak baru yang jauh lebih volatil. Pasar dikejutkan oleh langkah drastis Administrasi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menjatuhkan sanksi pemblokiran penuh terhadap dua pilar utama industri energi Rusia yaitu Rosneft dan Lukoil.

Langkah ini menandai pergeseran fundamental dari rezim sanksi sebelumnya (era G7 price cap), dan memiliki implikasi langsung yang sangat serius terhadap ketahanan energi dan proyek strategis di Indonesia.

Eskalasi Sanksi Dari 'Price Cap' ke 'Blokir Total'

Data menunjukkan bahwa sanksi yang dijatuhkan pada 22-23 Oktober 2025 bukanlah penyesuaian price cap, melainkan penerapan sanksi pemblokiran penuh.

Departemen Keuangan AS (OFAC) secara resmi memasukkan PJSC Rosneft dan PJSC Lukoil ke dalam daftar Specially Designated Nationals (SDN) List.

Implikasi dari status SDN ini bersifat melumpuhkan:

  • Aset Dibekukan: Semua aset kedua perusahaan yang berada di bawah yurisdiksi AS otomatis dibekukan.
  • Transaksi Dilarang: Perusahaan dan individu AS dilarang keras terlibat dalam transaksi apa pun dengan kedua entitas tersebut.
  • Ancaman Sanksi Sekunder: Ini adalah poin paling kritis. Washington kini memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi sekunder terhadap institusi keuangan non-AS (misalnya bank di Tiongkok, Turki, atau Uni Emirat Arab) yang kedapatan memfasilitasi transaksi signifikan untuk Rosneft atau Lukoil.

Profil Raksasa Perusahaan Rosneft dan Lukoil

Untuk memahami skala disrupsi, penting untuk membedah model bisnis dan dampak kedua target sanksi ini.

1. PJSC Rosneft

Model bisnis Rosneft adalah State-Champion murni. Pemerintah Federasi Rusia adalah pemegang saham pengendali (melalui JSC ROSNEFTEGAZ). Model bisnisnya terintegrasi vertikal penuh, mulai dari eksplorasi, produksi, penyulingan, hingga penjualan ritel.

Target Pasarnya sangat berfokus pada domestik Rusia untuk produk hilir (BBM dan petrokimia), di mana Rosneft adalah pemimpin pasar penyulingan dan memiliki sekitar 3.000 SPBU. Untuk minyak mentah (hulu), target pasarnya adalah global, menjadikannya eksportir krusial.

Dampak bagi Rusia adalah Rosneft adalah pilar utama anggaran negara. Sebagai perusahaan milik negara terbesar, pendapatannya sangat vital untuk mendanai pengeluaran pemerintah dan berfungsi sebagai perpanjangan tangan langsung kebijakan energi dan geopolitik Kremlin.

Dampak bagi Dunia adalah Rosneft adalah salah satu perusahaan minyak publik terbesar di dunia. Perusahaan ini mengklaim sebagai nomor satu di dunia untuk cadangan hidrokarbon cair yang proved reserves di antara perusahaan publik. Stabilitas produksinya sangat fundamental bagi keseimbangan supply minyak global.

2. PJSC Lukoil

Model Bisnis Lukoil beroperasi sebagai perusahaan swasta terintegrasi vertikal terbesar di Rusia (meskipun bukan milik negara, tetap tunduk pada kepentingan strategis Rusia).

Target Pasarnya adalah berupa jangkauannya jauh lebih internasional. Profil korporat Lukoil secara eksplisit menyebutkan pasar utamanya mencakup Rusia, Eropa, dan Amerika Serikat. Perusahaan ini memiliki jaringan ritel lebih dari 5.300 SPBU di 19 negara.

Dampak bagi Rusia adalah Lukoil adalah salah satu produsen dan pembayar pajak terbesar di negara itu, dengan operasi hulu utamanya terkonsentrasi di Siberia Barat.

Sementara dampak bagi Dunia adalah skalanya yang masif, menyumbang sekitar 2% dari total produksi minyak mentah global dan 1% cadangan dunia. Berbeda dari Rosneft, Lukoil memiliki aset hilir yang signifikan di luar Rusia, termasuk tiga kilang di Eropa (Italia, Rumania, Bulgaria) dan proyek hulu di berbagai negara (Timur Tengah, Afrika, Meksiko). Model bisnisnya lebih menyerupai International Oil Company (IOC) Barat.

Penargetan kedua entitas-baik yang dikendalikan negara (Rosneft) maupun yang berorientasi swasta global (Lukoil) mengirimkan sinyal bahwa Washington berniat memotong pendapatan energi Rusia secara komprehensif.

Penargetan kedua entitas-baik yang dikendalikan negara maupun yang berorientasi swasta-mengirimkan sinyal bahwa Washington berniat memotong pendapatan energi Rusia secara komprehensif, tanpa memandang struktur korporat.

Harga Minyak Mendidih dan Arus Perdagangan Macet

Reaksi pasar finansial dan komoditas terjadi instan dan brutal. Harga minyak mentah Brent melonjak 5,4% ke level $65,99 per barel, level tertinggi dalam dua minggu, didorong kekhawatiran hilangnya supply signifikan dari Rusia.

Pasar ekuitas terpolarisasi tajam. Di London, FTSE 100 justru mencetak rekor tertinggi baru di 9.578,57, terangkat oleh kenaikan saham energi non-Rusia (seperti Shell dan BP).

Sebaliknya, pasar Moskow runtuh, Indeks MOEX dan Indeks RTS (berbasis Dolar AS) anjlok sekitar 3,07% dan 3,25% dalam beberapa hari terakhir sejak pemberian sanksi oleh Amerika Serikat.

Dampak paling signifikan terlihat pada arus perdagangan fisik. Pembeli terbesar minyak Rusia, yang selama ini "kebal" sanksi price cap, kini menghadapi ancaman sanksi sekunder.

Laporan kredibel mengindikasikan bahwa penyuling (refiners) utama di Tiongkok (termasuk Sinopec dan CNOOC) serta raksasa penyulingan India (Reliance Industries) telah menghentikan sementara pembelian minyak mentah Rusia overnight, menunggu kejelasan atas risiko transaksi.

Alarm untuk Indonesia Terkait Nasib Kilang Tuban & Beban APBN

Bagi Indonesia, sanksi terbaru ini berdampak ganda, baik secara tidak langsung maupun langsung.

Dampak secara makro ekonomi adalah karena Indonesia merupakan negara net importir minyak mentah dan BBM maka sangat rentan terhadap volatilitas harga global. Lonjakan harga Brent 5,2% dalam semalam akan memberikan tekanan berat pada dua area:

  • APBN: Beban subsidi energi khususnya untuk Pertalite dan Solar akan membengkak jika harga domestik ditahan.
  • Inflasi: Jika harga BBM nonsubsidi dinaikkan untuk mengimbangi biaya impor, hal ini akan mendorong inflasi dari sisi administered prices.

Sementara untuk dampak ke Indonesia, implikasi bisa berimbas pada masa depan Proyek Strategis Nasional (PSN) Kilang GRR Tuban di mana Rosneft merupakan salah satu pemegang saham di proyek tersebut.

Penempatan Rosneft dalam daftar SDN oleh AS "kemarin" membuat kelanjutan proyek ini dipertanyakan.

  • Akses Pendanaan Tertutup: Tidak ada bank internasional yang kredibel akan bersedia menyediakan project financing miliaran dolar untuk proyek yang salah satu mitranya adalah entitas SDN.
  • Risiko bagi Pertamina: Pertamina sendiri kini berada dalam posisi sangat sulit. Melanjutkan transaksi dengan mitra joint venture yang berstatus SDN akan menempatkan Pertamina pada risiko tinggi terkena sanksi sekunder dari AS.

Seperti diketahui, proyek Kilang Tuban ini merupakan proyek kerja sama antara PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) dan perusahaan minyak asal Rusia, Rosneft. Keduanya membentuk perusahaan patungan bernama PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PTPRPP).

Kilang minyak Tuban ini direncanakan dibangun dengan kapasitas 300.000 barel per hari (bph). Proyek ini sudah dicanangkan sejak 10 tahun lalu, namun hingga kini belum juga terbangun.

Mengutip situs PT Pertamina Rosneft Pengolahan & Petrokimia (PRPP), pada tanggal 7 September 2015, Direktur Pengolahan PT Pertamina (Persero) memulai inisiasi rencana pembangunan kilang baru di Tuban, Jawa Timur melalui surat kepada Kementerian BUMN.

Tuban dipilih dengan mempertimbangkan pelbagai faktor, baik aspek geografi maupun potensi di bidang ekonomi khususnya di Jawa Timur. Sejak tahun 2016 dibentuklah kemitraan bersama antara PT Pertamina (Persero) dengan perusahaan minyak dan gas internasional asal Rusia, Rosneft melalui skema Joint Venture.

Pada 28 November 2017, bertempat di kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kemitraan antara PT Pertamina (Persero) dengan Rosneft diwujudkan melalui pembentukan perusahaan Joint Venture PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PRPP).

PT Pertamina (Persero) melalui anak perusahaannya PT Kilang Pertamina Internasional menguasai 55% saham PRPP sedangkan 45% sisanya dikuasai oleh afiliasi Rosneft di Singapura yaitu Rosneft Singapore Pte. Ltd. (dahulu Petrol Complex Pte. Ltd).

Dalam perkembangan terbaru, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) membeberkan bahwa keputusan investasi final atau Final Investment Decision (FID) perusahaan minyak dan gas bumi (migas) asal Rusia, Rosneft, pada proyek Grass Root Refinery (GRR) Tuban ditargetkan terealisasi pada kuartal 4 2025.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Utama PT KPI Taufik Aditiyawarman. Dia menyebut, proyek tersebut diperkirakan akan menelan investasi sebesar US$ 23 miliar atau setara Rp 377,84 triliun (asumsi kurs Rp 16.430 per US$).

"FID Rosneft itu kalau gak salah di kuartal 4 ini," kata Taufik saat ditemui di sela acara the 49th IPA Convex 2025, di ICE BSD, Tangerang Selatan, Selasa (20/5/2025).

Dirinya juga menegaskan bahwa PT KPI masih tetap bersama dengan Rosneft, meski di tengah adanya sanksi Uni Eropa terhadap perusahaan asal Rusia.

"(GRR) Tuban kan masih sama Rosneft," tegasnya.

"Kan sebagai ini tugas kita partnership-nya JV kan? Kita kan harus melaksanakan tugas JV kita," ujarnya.

Akibat adanya keterlambatan dari pembangunan GRR Tuban ini, Taufik menyebut biaya investasi akan mengalami peningkatan dari perkiraan awal US$ 23 miliar atau setara Rp 377,84 triliun.

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(gls/gls)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation