
Kredit Macet Mengintai AS, Siapkah Indonesia Hadapi Efek Domino?

Jakarta, CNBC Indonesia - Gejolak kembali menghantam Wall Street. Indeks Dow Jones dan S&P 500 terkoreksi tajam dipicu oleh kebangkitan kembali momok yang menghantui pasar sepanjang 2023 yaitu kesehatan sektor perbankan regional Amerika Serikat.
Laporan kerugian kredit dari Zions Bancorp dan Western Alliance sontak menyalakan alarm, mendorong investor global untuk melepas aset berisiko.
Setelah krisis perbankan yang melanda Silicon Valley Bank dan Signature Bank pada Maret 2023, investor menjadi sangat sensitif terhadap berita negatif terkait kualitas aset bank.
Munculnya kerugian di neraca satu bank dapat memicu kekhawatiran akan adanya "efek domino" atau masalah serupa yang belum terungkap. Hal ini mendorong investor untuk mengurangi exposure pada aset berisiko, terutama saham, dan beralih ke aset yang lebih aman.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0.7%, S&P 500 terkoreksi 0.6%, dan Nasdaq Composite melemah 0.5%. Volatilitas pasar meningkat tajam setelah beberapa bank regional mengungkapkan masalah pada portofolio pinjaman mereka, yang secara langsung menekan sentimen pasar secara keseluruhan.
Zions Bancorporation melaporkan akan melakukan penghapusbukuan sebesar US$50 juta yang berasal dari dua pinjaman bermasalah.
Selain itu, Western Alliance juga mengumumkan tengah menangani masalah yang berkaitan dengan penipuan oleh salah satu peminjamnya. Hal ini memicu aksi jual masif pada saham-saham perbankan.
Saham Zions (ZION) anjlok hingga 13%, sementara saham Western Alliance (WAL) jatuh sekitar 11%.
Apa yang Terjadi?
Sejumlah saham bank rontok karena adanya sejumlah kekhawatiran, termasuk meningkatnya delinkuensi (delinquency) atau keterlambatan pembayaran kredit di bank-bank Amerika Serikat (AS). Sejumlah sinyal peringatan mulai bermunculan, bahkan beberapa kasus telah mengguncang pasar saham dan menimbulkan keresahan di sektor keuangan.
Fenomena ini menjadi perhatian serius, sebab lonjakan delinkuensi biasanya menjadi indikator awal pelemahan ekonomi, terutama jika terjadi serentak di sektor perbankan, rumah tangga, dan komersial.
Delinkuensi kredit adalah kondisi di mana nasabah terlambat membayar kewajiban pinjamannya-baik cicilan maupun bunga-melebihi batas waktu 30, 60, atau 90 hari, namun akun tersebut masih tercatat aktif.
Jika delinkuensi meningkat, bank harus meningkatkan cadangan kerugian (loan loss reserves) atau bahkan mencatat sebagian pinjaman sebagai kerugian permanen (write-off).
Risiko sistemik muncul ketika lonjakan delinkuensi terjadi secara luas di sektor penting seperti komersial, industri, dan kredit konsumen, terutama pada bank-bank regional yang memiliki struktur modal lebih rapuh.
Meski bank-bank besar mengklaim buku pinjaman mereka masih "sehat", analisis Reuters menyoroti tren berbahaya yakni rasio cadangan terhadap pinjaman bermasalah terus menurun.
Rata-rata bank kini hanya memiliki US$2,08 cadangan untuk setiap US$1 pinjaman bermasalah, turun dari US$2,78 dua tahun lalu.
Jika memperhitungkan pinjaman yang direstrukturisasi, buffer bank semakin tipis-hanya sekitar US$1,38 untuk tiap US$1 pinjaman bermasalah.
Kondisi ini berarti ruang "tampon" bagi bank untuk menyerap potensi kerugian makin terbatas. Bila gelombang gagal bayar makin besar, sistem perbankan bisa menghadapi tekanan modal yang serius.
Masalah serupa juga menghantam rumah tangga Amerika. Data dari Federal Reserve Bank of St. Louis menunjukkan bahwa delinkuensi kartu kredit 30 hari ke atas kini melampaui level pra-pandemi.
Laporan terbaru VantageScore bahkan mengungkap kenaikan tajam delinkuensi 90 hari, termasuk pada kelompok "prime" dan "super-prime" - segmen yang sebelumnya dianggap aman.
Artinya, tekanan finansial kini meluas ke kelas menengah, bukan hanya kalangan berpendapatan rendah.
Sementara riset Federal Reserve Bank of Boston menemukan bahwa akun kartu kredit yang dibuka pada 2022-2023 lebih cepat menjadi macet dibandingkan generasi sebelumnya - sinyal tekanan ekonomi yang makin nyata di tingkat konsumen.
Tak hanya konsumen, dunia usaha juga terhantam. Menurut laporan S&P Global, beberapa bank pertanian seperti First Southern Bank (Alabama) mencatat lonjakan signifikan pada portofolio pinjaman yang menunggak.
Selain itu, sejumlah bank kini memperpanjang periode toleransi terhadap pinjaman bermasalah (melalui restrukturisasi) untuk menghindari default langsung.
Namun langkah ini justru dikhawatirkan bisa menyembunyikan tekanan sesungguhnya di neraca keuangan mereka.
Benteng Pertahanan Perbankan RI
Fenomena ini secara langsung menimbulkan pertanyaan krusial bagi para pelaku pasar di dalam negeri yaitu seberapa kuat benteng pertahanan ekonomi dan pasar modal Indonesia dari getaran yang berasal dari AS?
Kekhawatiran di AS berpusat pada model bisnis bank-bank regional yang terkonsentrasi pada sektor tertentu, seperti properti komersial, dan sensitivitas tinggi terhadap kenaikan suku bunga. Namun, kondisi perbankan di Indonesia menunjukkan gambaran yang jauh berbeda dan lebih solid, berkat pelajaran berharga dari krisis masa lalu.
![]() Ilustrasi Himbara |
1. Regulasi dan pengawasan yang ketat
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) menerapkan standar kehati-hatian yang tinggi. Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan nasional secara konsisten berada di level yang sangat sehat, jauh di atas ambang batas minimum regulator sebesar 8%.
Per kuartal terakhir, rata-rata CAR industri perbankan berada di kisaran 24%-26%, memberikan bantalan modal yang tebal untuk menyerap potensi kerugian tak terduga.
2. Diversifikasi portofolio kredit
Tidak seperti beberapa bank regional AS, bank-bank besar di Indonesia memiliki portofolio kredit yang terdiversifikasi dengan baik, mencakup segmen korporasi, ritel, konsumer, hingga UMKM. Diversifikasi ini mengurangi risiko konsentrasi dan membuat neraca bank tidak terlalu rentan terhadap guncangan di satu sektor ekonomi saja.
3. Kualitas aset yang terjaga.
Non-performing loan (NPL) Gross industri perbankan domestik berhasil dijaga di bawah level 3%. Angka ini menunjukkan kemampuan manajemen risiko bank dalam menyeleksi debitur dan melakukan restrukturisasi secara efektif. Likuiditas juga tetap melimpah, tercermin dari AL/DPK yang berada pada level aman, jauh di atas ambang batas regulator.
Dengan pondasi ini, dapat disimpulkan bahwa risiko penularan langsung krisis perbankan AS ke sektor perbankan Indonesia tergolong rendah. Fundamental yang kuat menjadi benteng pertahanan utama.
Guncangan Sentimen dan Arus Modal Asing
Meskipun fondasi perbankan domestik kokoh, pasar modal Indonesia tidak sepenuhnya kebal. Ancaman utama tidak datang dari risiko fundamental, melainkan dari perubahan sentimen investor global yang memicu capital outflow.
Dalam kondisi pasar global yang diwarnai ketakutan (risk-off), investor cenderung menarik dana dari aset-aset berisiko di negara berkembang (emerging markets), termasuk Indonesia, untuk dipindahkan ke aset safe-haven seperti Dolar AS, US Treasury, dan emas.
Fenomena ini akan memberikan tekanan jual langsung pada IHSG. Saham-saham yang paling rentan terhadap tekanan ini adalah saham-saham berkapitalisasi besar (big caps) yang menjadi favorit investor asing karena likuiditasnya yang tinggi. Perlu dicermati saham-saham di sektor berikut:
-
Perbankan Big Caps (BBRI, BMRI, BBCA, BBNI)
Meskipun secara fundamental kuat, saham-saham ini seringkali menjadi "pintu keluar" utama bagi dana asing. Kepemilikan asing yang signifikan membuat mereka rentan terhadap aksi jual jangka pendek. -
Telekomunikasi (TLKM & ISAT)
Sebagai salah satu saham primadona asing, saham di sektor ini juga berpotensi mengalami tekanan jual seiring dengan keluarnya arus modal. -
Sektor dengan Bobot Besar di Indeks
Saham-saham lain yang memiliki bobot signifikan di IHSG dan porsi kepemilikan asing yang besar juga perlu diwaspadai.
Pergerakan nilai tukar Rupiah juga menjadi indikator penting. Pelemahan Rupiah akibat capital outflow dapat semakin memperburuk sentimen di pasar saham karena memberikan efek penurunan nilai ganda dari kacamata investor asing.
Mencari 'Oasis' di Tengah Ketidakpastian
Dalam menghadapi potensi volatilitas yang didorong oleh sentimen eksternal, investor perlu menyesuaikan strategi portofolio dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan preservasi modal. Ini adalah waktunya untuk melakukan rotasi sektoral ke area yang lebih defensif.
Aset dan sektor yang diuntungkan saat terjadi peralihan ke mode risk-off adalah:
-
Sektor Konsumer Primer. Sektor ini menawarkan stabilitas karena produknya digunakan sehari-hari yang permintaannya cenderung tidak elastis terhadap kondisi ekonomi. Emiten seperti UNVR dan HMSP seringkali menjadi pilihan karena model bisnisnya yang tahan banting.
-
Aset Aman. Emas dan SBN menjadi aset aman, dikarenakan emas adalah aset lindung nilai klasik di tengah ketidakpastian global seperti yang sedang terjadi saat ini. Investor juga dapat melirik saham ANTM dan BRMS sebagai alat investasi emas di bursa. Sementara obligasi pemerintah menawarkan imbal hasil yang stabil dengan risiko yang sangat rendah, menjadikan alternatif perlindungan modal yang solid.
-
(gls/gls)