
Pengangguran Sarjana Menumpuk, Magang Jadi Jalan Keluar?

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia masih menghadapi persoalan tingginya angka pengangguran, terutama di kalangan muda dan berpendidikan tinggi. Program magang berbayar diharapkan menjadi salah satu alternatif dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
Program magang bergaji Rp3,3 juta per bulan bagi 20.000 lulusan baru resmi dibuka pada hari ini, Selasa (7/10/2025).
Program yang diinisiasi pemerintah ini merupakan bagian dari paket stimulus ekonomi 8+4+5 senilai Rp16,23 triliun, dengan alokasi Rp198 miliar khusus untuk menggaji peserta magang selama enam bulan.
Langkah ini diharapkan menjadi jembatan antara dunia pendidikan dan industri, sekaligus solusi sementara bagi ribuan lulusan baru yang belum terserap pasar kerja.
Namun, di lapangan menunjukkan bahwa persoalan pengangguran lebih kompleks daripada sekadar menyediakan pekerjaan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penganggur bergelar sarjana melonjak dari 495 ribu orang pada 2014 menjadi 981 ribu pada 2020, dan masih bertahan tinggi di 842 ribu orang pada 2024.
Di sisi lain, pengangguran lulusan SMA tetap mendominasi secara absolut dengan 2,51 juta orang pada 2023. Artinya, pendidikan tinggi belum otomatis menjadi tiket menuju dunia kerja yang stabil.
Fenomena ini mencerminkan adanya mismatch antara kompetensi lulusan dengan kebutuhan industri.
Banyak sarjana yang terjebak dalam "aspirational mismatch" menolak pekerjaan di luar bidang studinya atau menunggu posisi yang dianggap ideal. Sementara itu, dunia industri lebih menginginkan tenaga siap pakai dengan keterampilan praktis, seperti lulusan diploma atau vokasi yang justru mencatat tren pengangguran lebih stabil, turun dari 305 ribu orang pada 2020 menjadi 170 ribu orang di 2024.
Berangkat dari situ, program magang bergaji yang diluncurkan pemerintah bisa menjadi langkah awal untuk memperkecil jarak antara kampus dan dunia kerja.
Program ini membuka peluang bagi lulusan untuk memperoleh pengalaman nyata di perusahaan-perusahaan besar, mulai dari BUMN seperti BNI, Pertamina, Wijaya Karya (WIKA), hingga PT Kereta Api Indonesia (KAI), sampai perusahaan swasta seperti Mustika Ratu, Toyota, dan Garuda Food. Skema ini juga membantu perusahaan mendapatkan tenaga muda tanpa beban biaya gaji, karena ditanggung oleh pemerintah.
Di level nasional, angka pengangguran terbuka Indonesia masih mencapai 4,76% pada Februari 2025, dengan total 7,28 juta penganggur.
Lebih mencemaskan lagi, setengahnya adalah generasi muda berusia 15-24 tahun yang menyumbang 3,6 juta orang atau 16,16% dari total. Angka ini menjadi sinyal darurat bahwa bonus demografi bisa berbalik menjadi beban ekonomi bila tak segera diatasi.
Masalah ini bukan hanya di Indonesia.
Gelombang pengangguran menghantam banyak negara, Afrika Selatan mencatat 33,2%, Jerman 6,4%, China 5,2%, dan Inggris 4,7%. Di China, pengangguran pemuda bahkan mencapai 15,2%, sementara di Inggris, 14,1% pemuda usia 16-24 tahun masih belum bekerja.
Fenomena global ini memperlihatkan bahwa sulitnya mencari kerja kini menjadi persoalan lintas batas, di mana skill mismatch dan penurunan lowongan entry-level menjadi faktor utama.
Kondisi ini diperburuk oleh ketidakseimbangan antara jumlah lulusan baru dan kapasitas industri dalam menyerap tenaga kerja.
Pada 2022, Portal Data Pendidikan mencatat jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia mencapai 1,42 juta orang, dengan konsentrasi tertinggi di Jawa Tengah (176 ribu), Jawa Timur (138 ribu), dan Sulawesi Barat (140 ribu)-provinsi yang justru masih menghadapi keterbatasan lapangan kerja formal.
Jika tidak diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja dan reformasi pendidikan, surplus lulusan bisa menjadi sumber pengangguran laten.
Kini, masa depan kerja di Indonesia berada di persimpangan. Program magang bergaji Rp3,3 juta merupakan angin segar yang bisa masuk salah satu solusi jangka pendek.
Tantangan sesungguhnya terletak pada kemampuan pemerintah, kampus, dan industri untuk menciptakan sistem pendidikan yang adaptif, berbasis keterampilan digital, serta menanamkan semangat kewirausahaan sejak dini.
Karena di era ini, gelar bukan lagi senjata utama, melainkan kemampuan beradaptasi, belajar ulang, dan berpikir lintas disiplin yang menentukan.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)