Tanaman Ini Berserakan di RI-Bisa Jadi Kuda Hitam, RI Jangan Telat!

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
01 October 2025 17:15
Hutan bambu di Indonesia. (Dok. Pixabay)
Foto: Hutan bambu di Indonesia. (Dok. Pixabay)

Jakarta, CNBC Indonesia- Industri furnitur Indonesia tengah berada di persimpangan menarik. Di satu sisi, sektor ini menunjukkan performa solid dengan pertumbuhan 9,86% yoy pada kuartal I-2025.

Di sisi lain, segmen berbasis bambu yang punya potensi besar masih belum menorehkan capaian sepadan. Padahal, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia memproduksi puluhan juta batang bambu setiap tahun.

Meski produksi menurun, angka tersebut menunjukkan ketersediaan bahan baku yang melimpah. Namun, fakta di lapangan memperlihatkan bahwa pemanfaatannya masih jauh dari optimal.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam keterangan resmi, Senin (29/9/2025) menekankan perlunya ekosistem industri bambu nasional yang terintegrasi.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan, bambu bisa menjadi motor bagi sektor kerajinan, furnitur, konstruksi, hingga bioindustri. Di sisi lain, Plt Dirjen Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika mengingatkan adanya masalah klasik ketersediaan bahan baku, supply chain yang belum efisien, serta keterbatasan kompetensi SDM.

Permintaan global untuk produk berbasis bambu sesungguhnya terus tumbuh. Misalnya, kebutuhan ekspor lantai kontainer bambu bisa mencapai 1.500 m³ per bulan, tapi kapasitas produksi domestik baru 30 m³. Kesenjangan inilah yang membuat Indonesia kehilangan peluang emas.

Selain ekspor, pasar dalam negeri juga menawarkan prospek cerah. Bangunan berbasis bambu di kawasan wisata premium seperti Bali dan Labuan Bajo dihargai hingga Rp12 juta per meter persegi. Dengan break even point (BEP) hanya 3 tahun-bandingkan dengan konstruksi beton yang butuh 6-7 tahun investasi bambu dinilai lebih cepat balik modal.

Di Yogyakarta, sejumlah ekosistem bambu sudah terbentuk. Mulai dari Sahabat BambuBoss yang menanam 10.000 bibit bambu per tahun hingga PT Bambu Nusa Verde yang sejak 1994 fokus pada riset bioteknologi bambu. Bahkan, reklamasi tambang pasir di Cangkringan telah disulap menjadi hutan bambu seluas 3 hektar dengan konsep agroforestry.

Kinerja Ekspor Masih Minim

Jika dibandingkan dengan furnitur kayu dan rotan, ekspor furnitur bambu Indonesia masih terbilang kecil. Data HIMKI menunjukkan ekspornya hanya sekitar US$1,4 juta pada 2024-tidak berubah signifikan dalam tiga tahun terakhir.

Bandingkan dengan furnitur kayu yang tembus lebih dari US$1 miliar, atau rotan yang mendekati US$160 juta. Artinya, potensi bambu masih belum digarap maksimal.

Potensi bambu semakin relevan dalam konteks global yang mendorong material ramah lingkungan. Uni Eropa menargetkan penggunaan material konstruksi carbon storing naik 30% pada 2030. Kemenperin menilai bambu Indonesia terutama jenis petung dan apus punya kualitas mekanik lebih unggul dibanding bambu moso dari China.

Dengan branding tepat, Indonesia berpeluang menjadi pemasok utama material hijau dunia.

Kemenperin sudah menyiapkan sejumlah insentif, mulai dari restrukturisasi mesin, subsidi bunga kredit 5% melalui Kredit Industri Padat Karya (KIPK), hingga rencana pusat logistik bahan baku bambu. Tujuannya jelas untuk mempercepat distribusi, menekan biaya produksi, dan meningkatkan daya saing.

Selain itu, Akademi Komunitas Bambu sedang dikembangkan untuk memperkuat kapasitas SDM. Kolaborasi lintas sektor pemerintah, industri, akademisi, dan komunitas dianggap menjadi kunci keberlanjutan.

Di tengah bayang-bayang tarif dan pasar global yang semakin ketat, bambu bisa menjadi "kuda hitam" industri furnitur nasional. Produksinya melimpah, harganya kompetitif, dan citranya ramah lingkungan. Namun, tanpa integrasi dari hulu ke hilir, potensi ini hanya akan menjadi angka di atas kertas.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation