
Cobaan Belum Tamat: Kabar Buruk dari AS Menguji IHSG-Rupiah Hari Ini

Pasar domestik kemarin mengalami pukulan berat, IHSG terjun dalam koreksi signifikan dan rupiah mencatatkan level terlemah dalam rentang panjang.
Korelasi negatif antara sentimen global dan kelemahan struktur domestik terlihat makin jelas apa yang sebelumnya menjadi daya tarik pasar modal kini diuji oleh realitas tekanan valuta asing dan arus modal keluar yang agresif.
Fokus pasar hari ini akan tertuju ke data inflasi AS (PCE) dan perkembangan ekonomi AS sebagai ujung tombak ekspektasi moneter global.
Asing Mulai Ramai-Ramai Kabur, IHSG Bisa Semakin Tertekan
IHSG Kamis (25/9/2025) mengalami koreksi tajam sebesar 1,06%, menyusut 85,89 poin ke posisi 8.040,66. Koreksi ini menjadi penanda bahwa reli agresif beberapa hari sebelumnya tidak didukung pijakan fundamental yang kokoh.
Pelemahan menyeluruh ini menandakan bahwa pasar cenderung menjual "risiko" komoditas dan saham ekspor ketika ekspektasi dolar menguat dan arus modal asing tertekan.
Reli IHSG sebelumnya mungkin terbantu oleh optimisme domestik, namun momentum global yang sedang berbalik menjadikan sisi koreksi lebih mudah terpicu. Tekanan valuasi juga muncul: lonjakan indeks tanpa konsolidasi teknikal memicu take profit terutama pada sektor yang sudah overbought.
IHSG bisa semakin tertekan dengan besarnya aksi jual asing. Dalam dua hari beruntun, asing mencatat net sell lebih dari Rp 1,5 triliun. Pada perdagangan kemarin, net sell bahkan tembus Rp 1 triliun. Tercatatnya net sell berbanding terbalik dengan sebelumnya di man asing ramai-ramai kembali ke Indonesia selama tiga hari.
Dolar Masih Kencang, Rupiah Masih Rawan Melemah
Rupiah pada Kamis (25/9/2025) ditutup melemah 0,39% ke posisi Rp16.735/US$, memperpanjang trend negatif enam hari berturut-turut. Pelemahan ini menembus batas psikologis dan mencatat rekor terlemah dalam lima bulan. Sepanjang sesi, rupiah sempat menyentuh Rp16.755/US$ sebelum sedikit rebound menjelang penutupan.
Faktor utama tekanan datang dari penguatan dolar AS. Indeks dolar (DXY) tercatat stabil di kisaran 97,88, mempertahankan daya tariknya sebagai safe haven seiring ekspektasi The Fed tidak akan buru-buru melakukan easing lebih lanjut.
Pernyataan Powell dan pejabat The Fed yang mewanti-wanti terhadap lonjakan inflasi memperkuat pandangan pasar bahwa suku bunga AS masih akan relatif tinggi dalam waktu yang tak singkat.
Tak kalah penting, arus keluar modal asing pada instrumen rupiah semakin deras. Investor global mulai memindahkan dana dari pasar berisiko ke aset lebih aman akibat ketidakpastian global dan kekhawatiran terhadap efektivitas kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia.
Kondisi ini diperburuk oleh spread yield rupiah vs US treasuries yang semakin menipis, sehingga selisih imbal hasil tidak cukup menarik untuk mempertahankan dana di pasar obligasi dan ekuitas lokal.
Di dalam negeri, kebijakan pelonggaran moneter BI turut menjadi katalis negatif. Pemangkasan BI Rate baru-baru ini, meskipun dirancang untuk menyokong pertumbuhan, justru memberikan sinyal kerentanan terhadap presure pasar valuta. Penurunan suku bunga acuan mengurangi daya tarik yield rupiah dibandingkan obligasi luar negeri, mempercepat arus keluar modal asing.
Tekanan fiskal juga ikut berperan. Kebijakan ekspansif pemerintah melalui APBN, belanja besar dan defisit tinggi memicu kekhawatiran pasar terhadap pembiayaan utang dan stabilitas jangka menengah. Kombinasi ini membuat investor mempertanyakan daya tahan rupiah dalam skenario external shock.
Rupiah bisa semakin tertekan dengan masih kencangnya dolar AS. Indeks dolar AS ditutup di posisi 98,46 atau posisi tertingginya sejak 21 Agustus 2025.
Indeks menguat menandai investor tengah memburu dolar AS dan meninggalkan instrumen lain, termasuk rupiah.
Tekanan dari AS Berlanjut dari Klaim Pengangguran AS yang Menurun, PDB Menguat
Dari Amerika Serikat, klaim pengangguran awal (initial jobless claims) turun ke level 204 ribu pada pekan yang berakhir 20 September 2025. Angka ini menurun dibanding pekan sebelumnya di 213 ribu, sekaligus mencatat posisi terendah dalam dua bulan terakhir
Tren ini mengindikasikan pasar tenaga kerja AS masih tetap tangguh meski ekonomi menghadapi tekanan dari kebijakan moneter The Fed dan ketidakpastian global. Dengan angka klaim yang konsisten berada di bawah 220 ribu sepanjang beberapa bulan terakhir, pasar tenaga kerja AS menunjukkan daya tahan yang tinggi.
Angka tersebut memperkuat persepsi bahwa pasar tenaga kerja belum menunjukkan gejala kelemahan yang memadai untuk mendorong pelonggaran kebijakan moneter lebih agresif. Di tengah inflasi yang belum sepenuhnya terkendali, The Fed akan menuntut konsistensi dalam data tenaga kerja sebelum membuka ruang kebijakan dovish lebih jauh.
Sementara itu, Produk Domestik Bruto (PDB), meningkat 3,8% pada kuartal kedua, menurut estimasi terakhir dari tiga perkiraan yang dirilis Departemen Perdagangan pada Kamis. Laporan ini mencerminkan penyesuaian naik yang cukup besar sebesar 0,5 poin persentase disebabkan oleh revisi pengeluaran konsumen. PDB kuartal pertama turun 0,6%, sedikit lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.
PCE AS
Pasar global menanti rilis Personal Consumption Expenditures (PCE) Price Index Agustus 2025 yang akan diumumkan hari ini waktu AS, atau Sabtu dini hari WIB. Indikator inflasi favorit The Fed ini dipandang krusial karena akan menentukan arah ekspektasi pemangkasan suku bunga berikutnya.
Data terakhir (Juli 2025) menunjukkan core PCE tumbuh 2,9% yoy, sedangkan headline PCE tercatat 2,5% yoy. Angka tersebut konsisten berada di atas target inflasi 2% The Fed, menandakan tekanan harga masih bertahan meski tren perlambatan ekonomi mulai terlihat.
Pasar memperkirakan inflasi inti Agustus tidak jauh berbeda dari Juli. Jika hasilnya lebih tinggi, dolar AS berpotensi menguat lebih lanjut dan memperdalam tekanan pada mata uang emerging markets termasuk rupiah. Sebaliknya, jika rilis menunjukkan pelemahan signifikan, peluang pemangkasan suku bunga tambahan bisa terbuka lebih cepat.
Bila PCE mendekati 3,0% atau naik dari ekspektasi, pasar kemungkinan akan merevisi outlook pemangkasan suku bunga ke arah yang lebih lambat atau lebih hati-hati.
Inflasi Jepang
Jepang baru-baru ini mencatat laju inflasi yang masih moderat namun tetap di atas target BOJ. Data inti (core CPI) Agustus tumbuh 2,7% yoy, melambat dari Juli yang sebesar 3,1%.
Angka tersebut masih melebihi target inflasi BOJ sebesar 2%, menunjukkan bahwa tekanan inflasi belum sepenuhnya mereda.
(emb/emb)