
Deal ICA-CEPA: Ini Peta Perdagangan RI & Kanada, Siapa Lebih Untung?

Ottawa, CNBC Indonesia - Presiden Prabowo Subianto telah menyelesaikan kunjungan kerja di Ottawa, Kanada, Rabu (25/9/2025).
Prabowo dan Perdana Menteri (PM) Kanada Mark Carney menandatangani sejumlah kesepakatan, termasuk Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (ICA CEPA)
Ini merupakan perjanjian kemitraan ekonomi yang bakal implementasi pada tahun 2026 mendatang.
Perjanjian ICA-CEPA disepakati setelah bertahun-tahun negosiasi, mencakup liberalisasi tarif, perlindungan investasi, hingga penguatan kerja sama UMKM dan perdagangan berkelanjutan.
Melalui ICA-CEPA, Kanada akan menghapus 90,5% tarif impor untuk produk Indonesia, sementara RI membuka 85,8% pos tarif. Proyeksinya, ekspor Indonesia ke Kanada bisa mencapai US$11,8 miliar pada 2030 dengan tambahan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) 0,12%.
Namun, sebelum optimisme itu terealisasi, penting melihat lebih dekat struktur perdagangan RI-Kanada dalam lima tahun terakhir.
Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dihimpun satu data Kemendag ekspor Indonesia tumbuh dari US$789,1 juta pada 2020 menjadi US$1,44 miliar di 2024, dengan tren kenaikan rata-rata 15,1% per tahun.
Periode Januari-Juli 2025 saja sudah mencapai US$1,01 miliar atau naik 24,0% dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan ini mengindikasikan akselerasi ekspor pasca-negosiasi CEPA, bahkan sebelum implementasinya penuh.
Namun, impor dari Kanada masih lebih tinggi. Pada 2024 impor tercatat US$2,13 miliar, membuat neraca perdagangan RI defisit US$693 juta. Periode Januari-Juli 2025, defisit melebar lagi menjadi US$689 juta, meski ekspor tumbuh pesat. Defisit ini terutama karena tingginya impor gandum, pupuk, dan mesin industri dari Kanada.
Struktur ekspor Indonesia ke Kanada juga menunjukkan pola yang khas.
Produk manufaktur padat karya masih dominan: mesin dan peralatan listrik menyumbang 20,6% dari total ekspor Januari-Juli 2025, diikuti karet (11,5%), pakaian rajutan (8,7%), pakaian jadi non-rajutan (6,9%), alas kaki (8,8%), serta produk perikanan dan kakao. Artinya, daya saing Indonesia di Kanada masih bertumpu pada kombinasi industri manufaktur konsumen dan komoditas tropis.
Sebaliknya, impor dari Kanada mayoritas adalah bahan baku dan produk bernilai tambah tinggi. Gandum menjadi pos terbesar, mengingat RI belum swasembada, diikuti pupuk potash, kedelai, serta mesin dan alat berat. Ketergantungan ini yang membuat neraca dagang terus defisit meski ekspor ke Kanada tumbuh dua digit.
Dengan CEPA, peluang Indonesia memperdalam pasar Kanada terbuka lebar. Produk tekstil, sepatu, dan kakao bisa mendapat preferensi tarif nol, meningkatkan daya saing dibanding rival seperti Vietnam atau Meksiko. Bahkan sektor elektronik ringan dan komponen otomotif berpeluang menembus pasar Amerika Utara lebih luas lewat Kanada.
Meski demikian, tantangan terbesar adalah diversifikasi ekspor. Selama ini, struktur ekspor Indonesia ke Kanada masih terkonsentrasi di sektor tradisional. Untuk memaksimalkan CEPA, RI perlu mendorong hilirisasi produk berbasis nikel, baterai EV, dan elektronik berteknologi tinggi agar bisa masuk rantai pasok industri Kanada.
Ke depan, keberhasilan ICA-CEPA diukur juga dari seberapa jauh Indonesia bisa menekan defisit dan meningkatkan posisi tawar dalam perdagangan global. Prabowo telah membuka jalan lewat diplomasi politik, kini giliran sektor swasta dan industri domestik yang harus memanfaatkan peluang pasar Kanada secara maksimal.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
