Jakarta, CNBC Indonesia- Maraknya franchise minuman asal China di Indonesia berdampak pada impor bahan perasa minuman asal Tiongkok.
Mixue, dalam beberapa tahun belakangan gerakannya di Indonesia berubah bentuk dari gerai-gerai tunggal menjadi jaringan ritel rendah-biaya yang menjangkau kota kecil dan perbatasan kota besar.
Model franchisenya, yang menekan modal awal dan mengandalkan produk standar berbiaya rendah, membuatnya mudah direplikasi oleh pengusaha lokal. Secara strategis, Mixue memanfaatkan rantai pasok efisien dan pricing agresif untuk memenangkan pasar volume.
Melansir dari Channel News Asia, kisah Mixue di sini sesuai narasi akademis tentang ekspansi F&B China ke Asia Tenggara yakni pasar yang masih "belum jenuh" di segmen harga terjangkau, dekat logistik dari China, serta regulasi yang relatif ramah untuk investor asing.
Selain Mixue, merk minuman asal China yang hadir di Indonesia adalah Heytea, Chagee, Goong Cha, Naixue's Tea, YiFang, KOI The, dan Lelecha.
 Foto: Antrean pengunjung membeli es krim di kios mixue di kawasan bojongsari sawangan, Depok, Jawa Barat, Kamis, (29/12/2022). Kios yang baru dibuka sejak dua bulan lalu di sawangan itu ramai pembeli dari kalangan anak-anak sampai anak orang tua. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki) Antrean pengunjung membeli es krim di kios mixue di kawasan bojongsari sawangan, Depok, Jawa Barat, Kamis, (29/12/2022). Kios yang baru dibuka sejak dua bulan lalu di sawangan itu ramai pembeli dari kalangan anak-anak sampai anak orang tua. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
|
Adaptasi lokal seperti sertifikasi halal dan penyesuaian menu menolong merek-merek ini mengatasi hambatan budaya dan agama. Namun model ekspansi cepat juga menimbulkan tanda tanya soal kualitas pengawasan, profitabilitas outlet, dan potensi kejenuhan pasar.
Sementara itu di level makro, tekanan oversupply dan kenaikan inventori di pabrik-pabrik China mendorong produsen untuk mencari pasar baru. Indonesia menjadi target realistis, pangsa impor dari China melonjak tajam pada kuartal pertama dan kedua 2025, sehingga negara kita berpotensi menjadi "pelabuhan" aliran barang murah dari China.
Tren ini teramati tak hanya pada barang elektronik dan tekstil, tetapi juga produk makanan & minuman.
Kaitan antara fenomena Mixue dan arus impor China tidak selalu langsung, tapi relevan. Merek-merek F&B China kerap memanfaatkan input impor (bahan baku, premix, konsentrat, kemasan, mesin) yang berasal dari rantai pasok China baik karena harga lebih kompetitif maupun ketersediaan produk khusus.
Dengan kata lain, gelombang franchise China yang menjamur dapat menjadi kanal penyerapan produk impor jenis tertentu.
Banyaknya gerai minuman berpemanis asal China berimbas langsung pada impor bahan mentah minuman.
Seperti HS code 21069055 (Non alcoholic preparations of a kind used for the making or for the manufactures of beverages, composite concentrates for simple dilution with water to make beverages).
Kategori ini mencakup biang/minuman premix, konsentrat minuman, dan bahan baku siap-encerkan yang biasa dipakai oleh jaringan minuman cepat saji, franchise, atau produsen minuman lokal.
Menurut data Januari-Juli 2025 dari satu data Kemendag, impor HS 21069055 tercatat US$17,95 juta atau sekitar Rp 296,18 miliar. Secara tahunan (year-on-year/yoy) angkanya turun tipis 2,96% (Jan-Jul 2025 vs Jan-Jul 2024).
Angka total ini menjadi penanda bahwa, meski ada gelombang barang China secara umum, untuk kategori premix biang minuman pertumbuhan tidak eksplosif bahkan sedikit turun. Penurunan bisa disebabkan substitusi lokal, perubahan pola impor, atau stok yang sudah cukup dari periode sebelumnya.
Penurunan bisa karena importir telah menimbun stok pada periode sebelumnya atau terjadi substitusi ke produk lokal.
Penyebab kedua dengan nilai US$17,95 juta maka kemungkinan masih cukup untuk memasok ratusan ribu liter minuman siap-olah bagi jaringan outlet untuk periode tertentu.
Kebijakan tarif, aturan label, dan pengawasan mutu menjadi instrumen kunci kebijakan untuk menyeimbangkan kepentingan konsumen dan industri lokal.
Secara kebijakan, pemerintah punya pilihan, memperkuat sertifikasi dan uji mutu untuk mencegah produk murah berkualitas rendah merusak pasar, memetakan rantai pasok premix agar insentif bisa diarahkan pada substitusi lokal misalnya insentif produksi bahan baku lokal untuk premix.
Upaya lainnya adalah mengkaji kebijakan tarif atau non-tarif jika ada indikasi dumping yang membahayakan produsen domestik. Kebijakan yang tepat harus seimbang dengan melindungi industri lokal tanpa mengorbankan ketersediaan input bagi UMKM F&B.
Pelaku ritel F&B (termasuk calon franchisee Mixue atau brand lokal) perlu menilai total cost of ownership bila memilih impor premix. Harga barang , freight, bea masuk dan biaya distribusi hingga biaya produksi/kontrak manufaktur lokal. Keputusan ini akan memengaruhi margin outlet dan kecepatan ekspansi.
Investor juga harus jeli melihat apakah model "low-ticket, high-volume" bisa berkelanjutan ketika persaingan input mulai berubah.
Fenomena Mixue menandai bahwa model F&B China cocok untuk pasar volume di banyak daerah Indonesia.
Namun, arus impor dari China-yang lebih luas-menyentuh banyak kategori, termasuk biang minuman. Untuk HS 21069055, total Jan-Jul 2025 adalah US$17,95 juta adalah angka yang sarat arti tidak selalu naik seiring proliferasi atau peningkatan gerai. Pasalnya, ada dinamika stok, substitusi, kebijakan, dan strategi sourcing perusahaan.
Pengawasan mutu, dukungan untuk produsen lokal, dan kebijakan perdagangan yang cermat akan menentukan apakah pasar ini menjadi kesempatan atau ancaman bagi industri nasional.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]