
Warga Jepang Panjang Umur Tapi Bayi Menyusut, Ekonomi di Ujung Tanduk!

Jakarta, CNBC Indonesia - Jepang memasuki fase demografi yang paradoksal. Di satu sisi, jumlah penduduk berusia 100 tahun atau lebih (centenarian) mencapai rekor baru, mendekati 100 ribu jiwa. Di sisi lain, angka kelahiran jatuh ke titik terendah dalam sejarah modern, memunculkan istilah "krisis bayi" yang kian mengancam fondasi ekonomi Negeri Sakura.
Data Kementerian Kesehatan Jepang (2025) mencatat populasi centenarian mencapai 99.763 orang, dengan perempuan mendominasi 88%. Sejak 1963, jumlah ini terus menanjak tajam dari hanya 153 orang menjadi lebih dari 90 ribu pada 2022. Shimane, Kochi, dan Tottori mencatat rasio tertinggi centenarian per 100 ribu penduduk, menegaskan fenomena "longevity nation" yang melekat pada Jepang.
Namun, di balik pencapaian panjang umur, Jepang menghadapi realitas pahit, tingkat fertilitas anjlok ke 1,15 pada 2024 terendah sejak pencatatan 1947. Jumlah kelahiran bahkan turun di bawah 700 ribu, sementara kematian menembus 1,6 juta, menghasilkan penurunan populasi alami hampir 920 ribu orang.
Fenomena ini berdampak langsung pada struktur sosial-ekonomi Jepang. Dengan rasio pekerja terhadap pensiunan yang kian menyempit, beban fiskal untuk membiayai jaminan sosial dan kesehatan meningkat drastis. Jumlah kelahiran 2024 hanya 720.988 bayi, turun 5% dari tahun sebelumnya, sedangkan populasi nasional menyusut menjadi 123,54 juta per Februari 2025.
Tingginya biaya hidup, harga properti, dan budaya kerja yang menuntut jam panjang membuat banyak pasangan memilih menunda pernikahan atau bahkan tidak menikah sama sekali. Generasi muda Jepang pun cenderung fokus pada karier atau gaya hidup independen. Insentif pro-natalitas seperti subsidi anak, penitipan, hingga cuti melahirkan sejauh ini belum cukup mengubah tren.
Lebih jauh, krisis populasi ini berimplikasi pada konsumsi domestik dan kapasitas manufaktur Jepang. Dengan berkurangnya tenaga kerja produktif, daya beli masyarakat menurun, membebani pertumbuhan ekonomi. Sektor-sektor kunci seperti otomotif, elektronik, dan teknologi berisiko kehilangan daya saing global, yang pada akhirnya berdampak pula pada rantai pasok mitra dagang, termasuk Indonesia.
Upaya pemerintah mendorong reformasi budaya kerj termasuk uji coba sistem kerja 4 hari seminggu hingga membuka jalur terbatas untuk tenaga kerja asing menunjukkan kesadaran akan urgensi masalah. Namun, banyak ahli menilai kebijakan tersebut masih tambal sulam. Jepang memerlukan terobosan struktural yang lebih agresif: perbaikan mendasar pada ekosistem keluarga, dukungan bagi perempuan bekerja, hingga kebijakan imigrasi yang lebih terbuka.
Jika tren penurunan populasi berlanjut, Jepang berisiko kehilangan status sebagai raksasa ekonomi dalam beberapa dekade mendatang.
Kombinasi antara penduduk yang semakin menua dan bayi yang kian langka bisa menjadikan Negeri Sakura laboratorium hidup tentang bagaimana sebuah negara maju menghadapi "demographic cliff" yang belum pernah terjadi sebelumnya.
CNBC Indonesia Research
(emb)
