
Rupiah Juara Asia 3 Hari Beruntun: Dolar Ditendang! Yen - Yuan Minggir

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang Asia bergerak bervariasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, jumat (12/9/2025). Menariknya Rupiah kembali memimpin sebagai mata uang yang paling kuat di Asia.
Melansir data Refinitiv, per pukul 09.20 WIB, rupiah tengah mengalami penguatan sebesar 0,30% pada posisi Rp16.405/US$. Menjadikan mata uang garuda terkuat di kawasan Asia, yang diikuti oleh mata uang negara tetangga, ringgit Malaysia yang turut menguat 0,26% di level MYR 4,208/US$.
Dalam tiga hari terakhir, rupiah selalu menjadi mata uang terkuat di Asia di sesi awal perdagangan.
Dolar Taiwan juga mengalami penguatan sebesar 0,17% di posisi TWD 30,229/US$, serta baht Thailand dan won Korea yang masing-masing terapresiasi sebesar 0,09% dan 0,02%.
Disisi lain, terdapat beberapa mata uang Asia yang justru melemah terhadap dolar AS.
Yen Jepang tercatat menjadi yang paling tertekan di kawasan Asia, dengan pelemahan sebesar 0,14% di level JPY 147,39/US$, diikuti oleh peso Filpina melemah 0,08% di posisi PHP 57,115/US$.
Dolar Singapura, dan Rupee India sama-sama tertekan 0,07% di level SGD 1,281/US$, dan INR 88,307/US$.
Pergerakan mata uang Asia pada perdagangan hari ini, tentu dipengaruhi oleh pengaruh indeks dolar AS (DXY).
DXY terpantau tengah mengalami apresiasi 0,10% di level 97,627, setelah pada perdagangan kemarin, Kamis (11/9/2025) DXY ditutup melemah 0,25%.
Pelemahan terjadi setelah rilis data ekonomi AS yang memperlihatkan kombinasi inflasi yang meningkat dan pasar tenaga kerja yang makin rapuh.
Biro Statistik Tenaga Kerja AS mencatat, Indeks Harga Konsumen (CPI) naik 0,4% pada Agustus, lebih tinggi dibanding 0,2% pada Juli. Secara tahunan, inflasi tembus 2,9% atau kenaikan terbesar dalam tujuh bulan terakhir. Namun, sorotan pasar justru tertuju pada lonjakan klaim tunjangan pengangguran yang melonjak 27.000 menjadi 263.000, level tertinggi dalam empat tahun terakhir.
Eugene Epstein, Head of Trading and Structured Products Moneycorp di New Jersey, menilai data inflasi ini sebenarnya tidak cukup mengubah arah kebijakan The Fed. "Semua orang tentu berharap CPI lebih jinak, tapi nyatanya data ini tidak benar-benar mengubah arah suku bunga The Fed," ujarnya dikutip dari Reuters.
Senada, Josh Jamner, analis strategi investasi senior ClearBridge Investments, menekankan bahwa pasar tenaga kerja kini lebih penting dari inflasi. "Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, rilis CPI justru tertutupi oleh data pengangguran. Lonjakan klaim tunjangan pengangguran menjadi sinyal bahwa The Fed akan tetap fokus pada mandat lapangan kerja," jelasnya.
Dari sisi ekspektasi pasar, kontrak berjangka Fed Funds kini menunjukkan peluang 91% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada rapat FOMC pekan depan, dengan peluang 9% untuk pemangkasan yang lebih agresif sebesar 50 basis poin.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)