
Rupiah Tendang Dolar AS, Pimpin Asia Bareng Yen dan Peso!

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah berhasil menutup perdagangan pekan ini dengan kinerja ciamik dalam melawan dolar Amerika Serikat (AS). Tak hanya rupiah, mayoritas mata uang Asia juga mampu menguat dari Dolar AS.
Merujuk data Refinitiv, pada penutupan perdagangan Jumat (3/10/2025), rupiah terapresiasi 0,30% ke posisi Rp16.530/US$. Dalam sepakan perdagangan, rupiah berhasil konsisten ditutup dalam zona penguatan, bahkan penguatan telah terjadi sejak 26 September 2025 atau dalam enam hari beruntun.
Secara kumulatif sepekan, rupiah menguat 1,17% terhadap dolar AS, sekaligus menjadi penguatan terbesar kedua di kawasan Asia atau hanya kalah dari penguatan yen Jepang terhadap greenback.
Yen Jepang mampu melibas dominasi dolar AS dengan keberhasilannya menguat hingga 1,37% ke level JPY 147,44/US$. Sementara itu tepat di bawah posisi rupiah, terdapat peso Filipina yang mengalami penguatan 0,36% ke level PHP 57,891/US$.
Tak mau kalah dari rupiah Garuda, mata uang Negeri Jiran yakni ringgit menguat 0,31% ke level MYR 4,206/US$. Serta diikui oleh tiga mata uang Asia lainnya yakni, yuan China, dolar Taiwan, & dolar Singapura yang sama-sama menguat 0,19% terhadap greenback.
Adapun, dua mata uang Asia terpantau justru mengalami pelemahan dari dolar AS. Rupee India terdepresiasi 0,08% sepanjang pekan ke level 88,730/US$, sedangkan baht Thailand lebih tajam pelemahannya hingga 0,37% di posisi THB 32,30/US$.
Penguatan rupiah hingga mayoritas mata uang Asia lainnya, tak lepas dari dinamika pelemahan indeks dolar AS (DXY). Indeks yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia ini tercatat mengalami pelemahan. Dalam sepekan, DXY melemah 0,44% hingga ditutup di level 97,723.
Penyebab utama tekanan terhadap dolar datang dari ketidakpastian politik di Amerika Serikat. Penutupan pemerintahan atau government shutdown telah menunda publikasi sejumlah data penting AS, termasuk laporan tenaga kerja nonfarm payrolls (NFP) September yang semestinya dirilis pada Jumat kemarin (3/10/2025). Keterlambatan ini membuat pasar kehilangan salah satu indikator krusial untuk mengukur arah perekonomian AS.
Kondisi politik yang berlarut-larut juga menimbulkan kekhawatiran pasar terkait kredibilitas pengelolaan ekonomi Negeri Paman Sam.
Thierry Wizman, Global FX & Rates Strategist Macquarie di New York, mengatakan, "Jika shutdown berlangsung lama, dalam hitungan beberapa minggu, maka tentu orang akan mulai mempertanyakan tata kelola di AS. Dan kapan pun pasar mulai meragukan tata kelola suatu negara, itu biasanya bukan cerita bagus bagi mata uangnya," ujarnya dikutip dari Reuters.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/luc)