
IHSG & Bursa Amerika Sama-Sama Dibayangi Kutukan Kejam di September

Jakarta, CNBC Indonesia - September bukanlah bulan yang bersahabat bagi bursa saham Indonesia. Secara historis, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung mengalami koreksi di setiap bulan September.
September sering kali dibayangi muncul sentimen negatif dari pasar global baik dari perlambatan ekonomi global, kebijakan moneter Amerika Serikat (AS), hingga kondisi geopolitik yang turut memengaruhi transaksi di pasar domestik, termasuk IHSG.
Memasuki awal September 2025, Indonesia tengah berada di kondisi mencekam akibat demonstrasi besar-besaran yang dibayangi dengan tindakan anarkis.
Dalam 10 tahun terakhir, IHSG hanya mampu mencatatkan penguatan di September pada 2017 dan 2021, sementara sisanya cenderung turun bahkan penurunan tertajam sempat terjadi saat masa Covid-19 hingga 7,03%.
Pada tahun ini, IHSG bahkan dibuka dengan zona merah. Di awal perdagangan hari ini, Senin 1 September 2025, IHSG dibuka ambruk
hingga 3,61% dalam perdagangan berjalan hari ini Senin (1/9/2025).
Aksi demo yang mencekam beberapa hari terakhir dan kemungkinan berlanjut di sepanjang pekan ini akan menjadi factor penurunan IHSG di periode September ini.
Ternyata track record buruk pasar saham di setiap bulan September bukan hanya terjadi di IHSG saja.
Fenomena "September Effect" di Wall Street sudah lama dikenal dalam literatur pasar modal. Sejak tahun 1950 indeks utama seperti S&P 500 dan Dow Jones cenderung mencatat return negatif di bulan September dibanding bulan-bulan lain.
Sejak tahun 1950, September adalah bulan dengan kinerja terburuk sepanjang tahun untuk Dow Jones Industrial average (DJIA), S&P 500, Nasdaq (sejak 1971), Russell 1000, dan Russell 2000 (sejak 1979).
September tercatat turun selama empat tahun berturut-turut, dari 1999-2002, setelah empat tahun yang solid, dari 1995-1998.
Meskipun peringkat keseluruhan September sedikit membaik dalam periode pertengahan sejak 1950, rata-rata kerugian melebar untuk DJIA (-1,0%), Nasdaq (-0,8%), Russell 1000 (-1,1%), dan Russell 2000 (-0,6%).
Rata-rata kerugian S&P 500 di bulan September sedikit membaik dari -0,5% menjadi -0,4% dalam periode pertengahan.
Meskipun September 2002 memengaruhi penurunan rata-rata, faktanya DJIA tetap mengalami penurunan dalam 11 dari 17 bulan September tahun pertengahan terakhir.
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab "September Effect", mulai dari siklus musiman hingga psikologis investor. Investor sering realokasi portofolio setelah liburan musim panas (Juni-Agustus). Bulan September dianggap waktu untuk membersihkan buku sebelum memasuki kuartal akhir.
Kemudian, trader institusional kembali aktif setelah summer holiday sehingga volume naik dan volatilitas meningkat. Banyak investor yang pada akhirnya melakukan profit taking menjelang akhir tahun fiskal, dimana di AS sering berakhir di September.
Selain itu, September sering jadi bulan di mana bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) membuat keputusan penting seperti rate hike atau tapering. Dan pasar cenderung lebih sensitif karena mendekati kuartal IV, biasanya ada kekhawatiran soal laju ekonomi dan earning season kuartal III.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)