
India Lawan AS Demi Bela Petani: Rupee Jatuh - Terburuk Sepanjang Masa

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupee India anjlok ke titik terendah sepanjang sejarah pada Jumat (29/8/2025), menembus level 88 per dolar Amerika Serikat (AS) untuk pertama kalinya.
Rupee sempat menyentuh INR 88,3/US$1, sebelum ditutup di INR 88,14 per US$1 pada Jumat.
Sepanjang pekan ini, rupee sudah ambruk 0,94% dan jatuh 0,74% sebulan dan ambruk 3,03% sepanjang tahun ini.
Pelemahan ini dipicu kekhawatiran bahwa tarif tambahan dari Amerika Serikat (AS) akan menekan pertumbuhan ekonomi India sekaligus memperburuk arus investasi portofolio.
Presiden AS Donald Trump pekan ini menaikkan bea masuk untuk barang-barang asal India sebesar 25% tambahan, sehingga total tarif menjadi 50%.
Defisit Perdagangan & Neraca Pembayaran Hingga Tarif
Tekanan terhadap rupee tidak datang dari satu faktor saja, melainkan kombinasi masalah eksternal dan domestik.
Impor India masih tinggi, terutama dari energi dan emas, sementara ekspor tertekan tarif baru AS dan perlambatan ekonomi global. Kondisi ini membuat neraca pembayaran India semakin rapuh dan menambah beban terhadap mata uang.
Investor asing juga terus menarik dananya dari pasar India. Sejak awal tahun, US$9,7 miliar keluar dari saham dan obligasi India. Bahkan, lebih dari US$1 miliar ditarik hanya dalam dua hari setelah pengumuman tarif tambahan dari AS. Arus keluar besar-besaran ini memperlemah permintaan terhadap rupee di pasar keuangan.
Ekonomi India secara mengejutkan tumbuh 7,8% pada April-Juni atau kuartal I 2025/2026. Namun, lonjakan pertumbuhan dalam bayang-bayang suram.
Ekonom memperkirakan tarif AS bisa memangkas 0,6-0,8% poin dari pertumbuhan PDB India jika bertahan selama setahun. Meskipun Bank Sentral India (RBI) masih menargetkan pertumbuhan 6,5%, risiko pelemahan ekonomi semakin besar, terutama karena industri padat karya seperti tekstil dan perhiasan mulai terpukul.
RBI diperkirakan melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menahan laju pelemahan. Namun, cadangan devisa tidak bisa terus-menerus dipakai. Pasar menilai langkah intervensi hanya memberi efek jangka pendek, sehingga rupee tetap rawan melemah.
Modi Melawan Trump
AS memberikan tarif tinggi pada India karena Perdana Menteri Narendra Modi tidak tunduk pada keinginan Presiden AS Donald Trump.
Di bawah kepemimpinan Modi, India mengusung kampanye ekonomi "Atmanirbhar Bharat" atau "India Mandiri", yang menekankan kemandirian produksi dan pengurangan ketergantungan impor.
Di sisi lain, baik era Donald Trump membawa semangat "America First", yang mendorong ekspor AS dan pembukaan pasar asing.
Dengan dua kekuatan ekonomi yang sama-sama berpihak pada nasionalisme dan proteksionisme, mencapai kompromi dalam perundingan tarif dan perdagangan menjadi sangat sulit. Meskipun hubungan strategis kedua negara kerap dipuji di panggung geopolitik, nyatanya di meja dagang, keduanya masih berjibaku dalam pertarungan kepentingan yang alot dan penuh ketegangan.
India Mati_matian Bela Industri Lokal dan Petani
India masih mempraktikkan kebijakan tarif impor tinggi untuk sejumlah sektor strategis seperti pertanian, elektronik, dan otomotif, yang dianggap AS sebagai bentuk hambatan dagang tidak adil.
Contohnya, raksasa teknologi seperti Apple ingin menjual iPhone secara lebih bebas di pasar India. Namun, pemerintah India menuntut agar Apple melakukan produksi lokal sebagai syarat masuk pasar. Tarik-ulur seperti ini menggambarkan betapa kerasnya negosiasi kedua negara dalam menyelaraskan kepentingan mereka.
Di sektor farmasi dan teknologi, hak kekayaan intelektual menjadi isu panas lainnya. AS terus menekan India untuk memperkuat perlindungan paten.
Namun, India khawatir bahwa implementasi aturan paten yang lebih ketat justru akan menaikkan harga obat, dan pada akhirnya merugikan masyarakatnya. Konflik ini memperlihatkan dilema klasik antara perlindungan hak dagang versus kepentingan publik.
AS juga mendesak India agar membuka akses pasar yang lebih luas untuk produk pertanian Amerika.
Namun, India tegas menolak. Sebagai negara dengan jutaan petani kecil, India mempertahankan kebijakan subsidi pangan dan dukungan terhadap sektor agrikultur lokal. Melepas perlindungan ini dianggap sebagai ancaman serius terhadap stabilitas sosial dan ekonomi pedesaan.
Ketegangan juga meningkat di sektor ekonomi digital. India memberlakukan "equalization levy", yakni pajak atas pendapatan perusahaan digital asing yang beroperasi di India, seperti Google, Amazon, dan Facebook. Bagi AS, kebijakan ini dinilai diskriminatif dan tidak adil terhadap perusahaan teknologi Amerika, memicu kecaman dan ketegangan dalam perundingan dagang.
Menteri Perdagangan Piyush Goyal menyampaikan bahwa pemerintah berkomitmen tinggi untuk melindungi dan memberdayakan petani, pelaku usaha kecil, serta sektor UMKM. Hal ini menandakan pentingnya kelompok tersebut, yang mempekerjakan lebih dari 40% angkatan kerja nasional, dalam peta negosiasi yang sarat kepentingan.
Menurut laporan India Today, sektor pertanian di India yang mencakup lebih dari 110 juta petani formal dan sekitar 12,5 juta petani penggarap yang kerap terabaikan-masih menjadi pilar sosial dan politik yang tak tergantikan bagi negara.
Di tengah ancaman kebijakan tarif 25% dari Presiden AS Donald Trump, pemerintah India menegaskan bahwa keberpihakan kepada petani, UMKM, serta sektor-sektor strategis seperti susu dan pertanian akan tetap menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan.
Walaupun mayoritas ekspor India ke pasar AS berasal dari sektor-sektor seperti perhiasan, farmasi, dan tekstil, dampak kebijakan tarif tetap berpotensi menyentuh lapisan petani, khususnya mereka yang bergantung pada produksi pangan dan komoditas pertanian untuk pasar ekspor.
CNBCÂ INDONESIA RESEARCH
[email protected]
