Atmanirbhar vs America First: Rupee Tumbang, Terendah Sepanjang Masa

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
06 August 2025 16:20
Mata uang Rupee India. (REUTERS / Thomas White / Illustration / File Photo)
Foto: Mata uang Rupee India. (REUTERS / Thomas White / Illustration / File Photo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupee India (INR) terus tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bahkan nyaris mencetak rekor terlemah sepanjang masa.

Tekanan ini terutama dipicu oleh memanasnya kembali tensi dagang, setelah Presiden AS Donald Trump mengancam akan menaikkan tarif terhadap India.

Melansir data Refinitiv, rupee ditutup di level INR 97,80/US$ pada perdagangan Selasa (5/8/2025). Secara year-to-date (ytd), rupee tercatat telah melemah 2,72% terhadap dolar AS.

Rupee sempat menyentuh rekor terlemahnya pada Februari 2025 di level INR 87,99/US$. Namun pada 2 Mei 2025, rupee sempat menguat ke level terkuat sepanjang tahun di INR 83,76/US$. Sejak saat itu, tren pelemahan kembali mendominasi, dengan depresiasi mencapai 5,03% hingga awal Agustus.

Pada perdagangan Selasa (5/8/2025), rupee bahkan nyaris menyentuh rekor terendahnya lagi.

Mata uang ini sempat melemah hingga ke INR 87,97/US$, hanya terpaut 0,02 poin dari titik terlemah sepanjang sejarah.

Tekanan Tarif Trump Menjadi Pemicu Pelemahan Rupee

Pelemahan terbaru rupee terjadi seiring dengan pernyataan Presiden Trump yang kembali mengancam akan menaikkan tarif terhadap barang-barang asal India.

Melansir dari CNBC International, pada hari Senin, Trump bersumpah akan menaikkan tarif secara signifikan terhadap India dalam 24 jam ke depan karena India masih membeli minyak dari Rusia.

Trump sebelumnya juga telah menetapkan tarif minimum sebesar 25% terhadap barang-barang dari India pekan lalu yang mana jauh di atas ekspektasi pasar dan semakin memperburuk sentimen pelaku pasar yang memang sudah rapuh akibat ketegangan dagang.

Belum jelas berapa besar tarif baru yang akan dikenakan atau mengapa Trump kini mempermasalahkan sesuatu yang telah dilakukan India selama bertahun-tahun. Namun, ancaman tersebut datang di tengah tuduhan Trump bahwa India masih menjual kembali minyak Rusia dan terus membeli sebagian besar peralatan militernya dari Moskow.

"Mereka adalah pembeli energi terbesar Rusia, bersama China, di saat dunia ingin Rusia menghentikan pembunuhan di Ukraina, semua hal ini tidak!" tulis Trump dalam pernyataan di Truth Social.

Seorang trader senior di bank swasta India menyebut ancaman Trump telah memperbesar tekanan terhadap rupee. "Saya sepenuhnya berharap Bank Sentral India (RBI) akan turun tangan dan yakin mereka tidak akan membiarkan rupee melemah tanpa kendali, apalagi di tengah retorika keras dari AS," ujarnya.

Sementara itu, MUFG Bank dalam catatannya menulis, "Apakah rentetan komentar ini sekadar taktik negosiasi terhadap India untuk mendorong perubahan dalam perang Rusia-Ukraina masih perlu dilihat."

Ketegangan dagang memperburuk sentimen investor asing. Data menunjukkan bahwa investor institusi asing (Foreign Institutional Investors/FII) menarik dana secara besar-besaran dari pasar saham dan obligasi India. Aliran keluar ini memperbesar pasokan rupee di pasar dan memicu depresiasi lebih lanjut.

Bank Sentral India (RBI) sebenarnya turun tangan dengan menjual cadangan devisa dalam bentuk dolar melalui bank-bank milik negara. Langkah ini berhasil menahan rupee agar tidak menembus batas psikologis 88 terhadap dolar AS. Namun, intervensi tersebut bersifat sementara dan belum mengubah arah tren pelemahan.

Pelaku pasar valuta asing tidak hanya merespons tarif yang sudah diberlakukan, tetapi juga mengantisipasi kemungkinan eskalasi lebih lanjut dalam perang dagang. Ketegangan yang terus meningkat membuat nilai rupee ditekan secara proaktif oleh pelaku pasar global.

Dalam jangka pendek, kombinasi kebijakan fiskal dan moneter India yang ketat belum cukup kuat meredam tekanan dari luar negeri. Sementara itu, investor global semakin banyak mengalihkan dananya ke aset safe haven seperti dolar AS dan obligasi pemerintah AS, memperlemah daya tarik aset India.

India Kukuh Bertahan, Petani dan UMKM Jadi Prioritas Utama

Hubungan dagang antara India dan Amerika Serikat terus menghadapi ketegangan yang belum mereda. Salah satu pemicunya adalah perbedaan mendasar dalam strategi ekonomi kedua negara. India masih mempraktikkan kebijakan tarif impor tinggi untuk sejumlah sektor strategis seperti pertanian, elektronik, dan otomotif, yang dianggap AS sebagai bentuk hambatan dagang tidak adil.

Contohnya, raksasa teknologi seperti Apple ingin menjual iPhone secara lebih bebas di pasar India. Namun, pemerintah India menuntut agar Apple melakukan produksi lokal sebagai syarat masuk pasar. Tarik-ulur seperti ini menggambarkan betapa kerasnya negosiasi kedua negara dalam menyelaraskan kepentingan mereka.

Di sektor farmasi dan teknologi, hak kekayaan intelektual menjadi isu panas lainnya. AS terus menekan India untuk memperkuat perlindungan paten. Namun, India khawatir bahwa implementasi aturan paten yang lebih ketat justru akan menaikkan harga obat, dan pada akhirnya merugikan masyarakatnya. Konflik ini memperlihatkan dilema klasik antara perlindungan hak dagang versus kepentingan publik.

AS juga mendesak India agar membuka akses pasar yang lebih luas untuk produk pertanian Amerika. Namun, India tegas menolak. Sebagai negara dengan jutaan petani kecil, India mempertahankan kebijakan subsidi pangan dan dukungan terhadap sektor agrikultur lokal. Melepas perlindungan ini dianggap sebagai ancaman serius terhadap stabilitas sosial dan ekonomi pedesaan.

Ketegangan juga meningkat di sektor ekonomi digital. India memberlakukan "equalization levy", yakni pajak atas pendapatan perusahaan digital asing yang beroperasi di India, seperti Google, Amazon, dan Facebook. Bagi AS, kebijakan ini dinilai diskriminatif dan tidak adil terhadap perusahaan teknologi Amerika, memicu kecaman dan ketegangan dalam perundingan dagang.


Secara ideologis, keduanya juga berseberangan. Di bawah kepemimpinan Narendra Modi, India mengusung kampanye ekonomi "Atmanirbhar Bharat" atau "India Mandiri", yang menekankan kemandirian produksi dan pengurangan ketergantungan impor. Di sisi lain, baik era Donald Trump maupun Joe Biden tetap membawa semangat "America First", yang mendorong ekspor AS dan pembukaan pasar asing.

Dengan dua kekuatan ekonomi yang sama-sama berpihak pada nasionalisme dan proteksionisme, mencapai kompromi dalam perundingan tarif dan perdagangan menjadi sangat sulit. Meskipun hubungan strategis kedua negara kerap dipuji di panggung geopolitik, nyatanya di meja dagang, keduanya masih berjibaku dalam pertarungan kepentingan yang alot dan penuh ketegangan.

Menteri Perdagangan Piyush Goyal menyampaikan bahwa pemerintah berkomitmen tinggi untuk melindungi dan memberdayakan petani, pelaku usaha kecil, serta sektor UMKM. Hal ini menandakan pentingnya kelompok tersebut, yang mempekerjakan lebih dari 40% angkatan kerja nasional, dalam peta negosiasi yang sarat kepentingan.

Menurut laporan India Today, sektor pertanian di India yang mencakup lebih dari 110 juta petani formal dan sekitar 12,5 juta petani penggarap yang kerap terabaikan-masih menjadi pilar sosial dan politik yang tak tergantikan bagi negara.

Di tengah ancaman kebijakan tarif 25% dari Presiden AS Donald Trump, pemerintah India menegaskan bahwa keberpihakan kepada petani, UMKM, serta sektor-sektor strategis seperti susu dan pertanian akan tetap menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan.

Walaupun mayoritas ekspor India ke pasar AS berasal dari sektor-sektor seperti perhiasan, farmasi, dan tekstil, dampak kebijakan tarif tetap berpotensi menyentuh lapisan petani, khususnya mereka yang bergantung pada produksi pangan dan komoditas pertanian untuk pasar ekspor.

Terlebih lagi, kenyataan bahwa hanya 20,7% rumah tangga di pedesaan India benar-benar bergantung sepenuhnya pada hasil pertanian, memperlihatkan bagaimana diversifikasi pendapatan menjadi kunci bertahan hidup.

Namun bagi jutaan petani penggarap yang tidak memiliki lahan dan tak mendapat perlindungan hukum, tekanan ekonomi eksternal seperti tarif bisa menjadi ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup mereka.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation