
Dunia Ramai-Ramai Beralih ke Stablecoin, Apa Istimewanya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam beberapa tahun terakhir, mata uang kripto menjadi topik hangat di dunia keuangan global. Meskipun begitu, tingkat volatilitas harga yang tinggi membuatnya menjadi aset yang cukup berisiko. Di sinilah stablecoin hadir sebagai solusi kestabilan nilai, sehingga mata uang kripto bisa digunakan dalam transaksi harian atau jembatan antara dunia fiat dan kripto.
Stablecoin adalah aset digital atau mata uang kripto yang nilainya dipatok ke mata uang fiat, seperti dolar AS atau yuan, sehingga harganya tidak berfluktuasi liar seperti Bitcoin atau Ethereum, melainkan cenderung stabil mengikuti nilai acuannya.
Stablecoin mempertahankan nilainya melalui berbagai mekanisme yang dirancang untuk memastikan kestabilan harga, seperti mengikat nilainya secara 1:1 ke nilai mata uang tradisional seperti USD dan euro, komoditas fisik seperti emas, perak, atau komoditas berwujud lainnya, menjamin cadangannya dari mata uang kripto lain, obligasi pemerintah, atau melalui mekanisme terprogram yang menyesuaikan suplai berdasarkan permintaan pasar, tanpa bergantung pada jaminan langsung.
Pasar stablecoin telah berkembang secara signifikan di seluruh dunia. Melansir data dari Chain Analysis, pangsa penggunaan stablecoin bahkan melampaui BTC sebagai aset pilihan untuk transaksi sehari-hari.
Wilayah seperti Amerika Latin dan Sub-Sahara Afrika semakin mengadopsi stablecoin sebagai lindung nilai terhadap ketidakstabilan moneter lokal, menawarkan sarana transaksi yang lebih andal sekaligus penyimpanan nilai.
Di kawasan ini, adopsi ritel stablecoin sebagian besar didorong oleh kepraktisannya untuk remitansi berbiaya rendah, tabungan yang aman di tengah volatilitas mata uang, serta aksesibilitas ke layanan DeFi seperti peminjaman dan staking.
Regulasi yang Mengatur Stablecoin di Seluruh Dunia
Pasar stablecoin global saat ini masih relatif kecil, sekitar US$247 miliar (Rp4.000 triliun), menurut CoinGecko.
Namun, Standard Chartered Bank memperkirakan pasar ini dapat tumbuh hingga US$2 triliun (Rp32.400 triliun) pada 2028. Saat ini, stablecoin berbasis dolar menguasai lebih dari 99% pasokan global.
1. Amerika Serikat
Perkembangan stablecoin di AS didukung oleh pengesahan rancangan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS yang akan membentuk kerangka regulasi baru bagi aset digital, khususnya stablecoin dan mata uang digital bank sentral (central bank digital currency/CBDC).
Langkah ini menjadi tonggak sejarah dalam upaya Negeri Paman Sam mengatur sektor kripto yang berkembang pesat, namun selama ini menghadapi ketidakpastian hukum dan lemahnya perlindungan terhadap konsumen.
Bagian krusial terkait stablecoin dari paket legislasi ini adalah GENIUS Act, yang secara khusus mengatur stablecoin aset digital yang nilainya dipatok pada mata uang seperti dolar AS.
Isi penting dalam GENIUS Act antara lain mengatur bahwa setiap stablecoin yang diterbitkan wajib didukung sepenuhnya oleh cadangan aset likuid, seperti dolar AS atau surat utang pemerintah jangka pendek.
2. Uni Eropa (EU)
Uni Eropa (EU) telah memperkenalkan Markets in Crypto-Assets Regulation (MiCA) untuk menciptakan kerangka kerja terpadu bagi aset kripto di dalam Uni Eropa, baik untuk penerbit maupun penyedia layanan aset kripto, termasuk stablecoin.
Regulasi MiCA akan berlaku di seluruh 27 negara anggota, tetapi lisensi & pengawasan tetap dilakukan oleh otoritas nasional.
MiCA membagi stablecoin menjadi dua jenis, yaitu asset-referenced tokens (ARTs) yang dipatok pada kombinasi mata uang, komoditas, atau kripto e-money tokens (EMTs) yang nilainya dipatok pada satu mata uang resmi.
EMT berfungsi aset kripto sekaligus alat pembayaran dan ART digunakan alat pertukaran kewajiban laporan transaksi lebih rinci & bisa dibatasi penerbitannya. Penerbit harus memiliki lisensi MiCA, menerbitkan whitepaper, memenuhi aturan tata kelola, pengelolaan cadangan, dan hak penebusan.
3. Singapura
Monetary Authority of Singapore (MAS) telah merampungkan kerangka regulasi stablecoin di negara tersebut, dengan fokus pada single-currency stablecoins (SCS) yang dipatok ke Dolar Singapura atau salah satu mata uang G10 yang beredar di Singapura.
Kerangka ini berfokus pada kestabilan nilai, kecukupan modal, penebusan, dan pengungkapan, untuk memastikan kesehatan kehati-hatian serta perlindungan konsumen.
4. Hong Kong
Hong Kong memiliki kerangka hukum dan regulasi yang berbeda dari Tiongkok Daratan. Pemisahan ini memungkinkan Hong Kong mengembangkan kebijakan regulasi progresif terkait stablecoin dan aset kripto lainnya. Hong Kong Monetary Authority (HKMA) telah mengembangkan kerangka regulasi untuk penerbit stablecoin, mengakui lanskap uang digital yang berkembang pesat.
Meskipun undang-undang masih dalam tahap finalisasi, HKMA telah meluncurkan sandbox yang memungkinkan para pemangku kepentingan industri dengan use case yang menjanjikan untuk mengembangkan dan menguji model bisnis mereka, sekaligus mendorong diskusi dua arah mengenai regulasi dan manajemen risiko.
5. Jepang
Jepang adalah salah satu negara pertama di dunia yang menetapkan kerangka regulasi untuk stablecoin.
Kerangka ini, yang sangat berfokus pada stabilitas dan pengawasan, memungkinkan bank, perusahaan trust, dan penyedia layanan transfer dana untuk menerbitkan stablecoin yang didukung fiat di bawah persyaratan cadangan yang ketat. Pasar stablecoin Jepang masih dalam tahap, tanpa stablecoin yang terdaftar di bursa lokal atau registrasi Electronic Payment Instrument Service Provider (EPISP).
Baru-baru ini, Japan Financial Services Agency sedang meninjau aturan stablecoin dengan mempertimbangkan pengalaman internasional.
![]() Transaksi stablecoin |
Amerika Latin dan Sub-Sahara Afrika merupakan wilayah dengan pertumbuhan transfer stablecoin ritel dan profesional tercepat. Pertumbuhan tahunannya melampaui 40%. Sedangkan Asia Timur dan Eropa Timur menyusul dengan pertumbuhan YoY masing-masing sebesar 32% dan 29%.
Sementara itu, pasar seperti Amerika Utara dan Eropa Barat mengalami pertumbuhan aktivitas stablecoin ritel yang lebih lambat, kemungkinan karena infrastruktur keuangan domestik yang sudah kuat dari awal. Meski begitu, investor institusional di wilayah ini semakin banyak mengadopsi stablecoin untuk manajemen likuiditas, penyelesaian transaksi, dan sebagai pintu masuk ke aset kripto.
Perlu dicatat, Eropa Barat adalah rumah bagi pasar layanan merchant terbesar kedua di dunia, dengan Inggris memimpin pertumbuhan kawasan ini sebesar 58,4% YoY. Stablecoin mendominasi secara konsisten, menyumbang 60-80% pangsa pasar di setiap kuartal.
China Mulai Memasuki Pasar
Dominasi dollar dalam mata uang ini diketahui memiliki saingan dalam bayang-bayang. Kini, dikabarkan China tengah mempertimbangkan "terjun" ke dunia kripto melalui penerbitan stablecoin berbasis yuan untuk pertama kalinya.
Langkah ini disebut sebagai strategi Beijing untuk memperluas penggunaan mata uangnya secara global dan menyaingi dominasi dolar Amerika Serikat (AS), mengingat ketegangan geopolitik dunia yang kian meningkat.
Hal ini menandai perubahan besar sikap Beijing terhadap aset digital. Sebelumnya, pada 2021, China melarang perdagangan dan penambangan kripto karena alasan stabilitas sistem keuangan. Selain alasan geopolitik, maraknya penggunaan stablecoin dolar oleh eksportir China membuat Beijing meninjau ulang kebijakan tersebut.
Hong Kong dan Shanghai diperkirakan menjadi pusat utama implementasi stablecoin yuan. Hong Kong bahkan telah memberlakukan regulasi stablecoin sejak 1 Agustus lalu, menjadikannya salah satu pasar pertama di dunia yang mengatur penerbit stablecoin berbasis mata uang fiat.
China juga akan membahas potensi stablecoin dalam perdagangan dan pembayaran lintas batas bersama sejumlah negara di KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) pada 31 Agustus hingga 1 September di Tianjin.
Stablecoin muncul sebagai pilihan menarik untuk pembayaran lintas batas dan pelestarian kekayaan di negara-negara yang tidak terdolarisasi. Ketika tingkat inflasi yang tinggi mengikis tabungan, strategi umum yang digunakan adalah bergantung pada dolar AS.
(mae)
