Kas China Terkuras! Xi Jinping Belanja Gila-Gilaan-Defisit Pecah Rekor

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
20 August 2025 15:10
Great Wall, China
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Defisit anggaran China Kembali mencetak rekor baru pada paruh pertama 2025 ini. Membengkaknya kondisi fiskal China ini menjadi cerminan strategi pemerintahan yang semakin mengandalkan stimulus untuk menjaga pertumbuhan ekonomi mereka, di tengah tekanan sektor manufaktur yang lesu akibat tarif tinggi dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Namun pada sisi lain, lonjakan defisit ini memiliki potensi mendorong utang pemerintah China ke level yang lebih tinggi dalam beberapa tahun ke depan.

Rekor Defisit Baru di Semester I-2025

Dalam laporan Kementerian Keuangan China, terjadi defisit fiskal selama periode Januari-Juni 2025 sebesar CNY 5,25 triliun atau setara dengan US$733 miliar bila dikonversi ke rupiah sekitar Rp11.498 triliun (kurs:Rp16.300). Angka ini naik 45% dibandingkan periode yang sama 2024 dan menjadi rekor defisit tertinggi sepanjang sejarah.

Lonjakan defisit ini dipicu oleh ekspansi belanja pemerintahan Presiden Xi Jinping yang mengalami kenaikan 9% menjadi CNY 18,8 triliun atau setara US$2,63 triliun.

Sebaliknya, pendapatan China justru mengalami kontraksi. Total penerimaan turun sebesar 0,6% menjadi CNY 13,5 triliun dengan pendapatan pajak merosot 1,2%. Sementara pendapatan dari penjualan tanah yang menjadi salah satu sumber pendapatan pembiayaan lokal juga anjlok sekitar 6,5% atau sejalan dengan tren pelemahan pada pasar properti China.

Meski ekspor ke AS tertekan akibat tarif Trump yang kini rata-rata 30 poin persentase lebih tinggi dibanding tahun lalu, pertumbuhan ekonomi China masih bertahan berkat belanja pemerintah dan ekspor ke pasar alternatif. Produk Domestik Bruto (PDB) semester I tumbuh 5,3%, melampaui target resmi sekitar 5%.

Data menunjukkan defisit terhadap PDB terus melebar dalam beberapa tahun terakhir.

Pada 2016-2019, defisit masih relatif terkendali di kisaran 2,9% hingga 4,5% terhadap PDB. Namun pada 2020, pandemi Covid-19 memaksa pemerintah menggelontorkan stimulus besar-besaran hingga membuat defisit melonjak ke 8,4% dari PDB.

Defisit sempat menyempit ke 3,9% pada 2021, tetapi kembali melebar ke 6,3% pada 2022 dan 5,7% pada 2023. Pada 2024, posisinya semakin dalam di 6,5%, sebelum diproyeksikan menembus rekor baru 8,8% pada 2025, melampaui level pandemi.

Lonjakan Belanja Fiskal

Belanja fiskal China melonjak signifikan pada awal 2025, menjadi salah satu faktor utama membengkaknya defisit anggaran China.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang lansir dari Bloomberg, total pengeluaran pemerintah naik 9,3% menjadi CNY 21,5 triliun atau sekitar US$3 triliun pada sepanjang Januari-Juli 2025, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan ini tercatat sebagai laju tercepat dalam hampir tiga tahun terakhir, tepatnya sejak Agustus 2022.

Kenaikan belanja tersebut mencakup berbagai pos, mulai dari kebutuhan pokok seperti gaji pegawai negeri hingga alokasi besar untuk proyek infrastruktur. Pemerintah pusat dan daerah juga terus memperluas program investasi modal melalui anggaran dana pemerintah.

Namun, di sisi lain, penerimaan negara tidak tumbuh seiring belanja. Pendapatan total tercatat stagnan, sementara penerimaan pajak justru menurun tipis 0,3%. Akibat ketidakseimbangan ini, defisit anggaran kian melebar hingga menekan keberlanjutan fiskal China.

Risiko Utang Menggunung

Menurut Fitch Ratings, defisit fiskal China berpotensi melebar hingga 8,8% dari PDB pada 2025, naik dari 6,5% pada 2024 (basis penyesuaian Fitch). Angka ini jauh di atas nilai tengah negara berperingkat A, yang sebesar 2,7% PDB.

Pemerintah China secara resmi pun sudah menaikkan target defisit ke 4% PDB tahun ini.

Fitch menyoroti bahwa pelebaran defisit dipicu terutama oleh penurunan penerimaan, baik dari sektor properti maupun akibat pemotongan pajak. Dengan demikian, rasio penerimaan fiskal China diperkirakan hanya 21,1% dari PDB pada 2025, jauh di bawah 28,4% pada 2019.

Rasio utang pemerintah China juga terus meningkat. Fitch menghitung utang sudah menembus 60% PDB pada 2024, dari 55% pada 2023, dan berpotensi mendekati 70% pada 2025. Lonjakan ini juga terkait program debt swap senilai CNY 2 triliun, yang memindahkan utang luar neraca ke pembukuan pemerintah daerah.

Untuk memperbesar ruang pembiayaan, pemerintah menaikkan kuota Special Purpose Bond (SPB) daerah menjadi CNY 4,4 triliun pada 2025, dari CNY 3,9 triliun tahun lalu. Pemerintah pusat juga akan menerbitkan CNY 1,3 triliun obligasi ultra-jangka panjang, serta tambahan CNY 500 miliar untuk rekapitalisasi bank.

 

Meski Beijing menyatakan konsumsi menjadi prioritas 2025, implementasinya masih terbatas. Program trade-in barang konsumsi hanya dialokasikan CNY 300 miliar, naik dari CNY 150 miliar. Sebagian besar stimulus tetap difokuskan ke sisi penawaran, seperti investasi industri.

Di sisi moneter, Bank Sentral China diperkirakan kembali memangkas suku bunga dan rasio cadangan wajib (RRR). Target inflasi diturunkan menjadi 2%, menandakan lemahnya tekanan harga. Meski pemerintah berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar, yuan diperkirakan masih berisiko melemah untuk meredam tekanan tarif AS, yang sejak Januari sudah naik kumulatif 20 poin persentase.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation