80 Tahun Indonesia Merdeka

10 Saham Paling Multibagger Sejak RI Merdeka: Siapa Lawan PANI?

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
14 August 2025 08:15
Rupiah dan IHSG
Foto: Ilustrasi/ Rupiah dan IHSG/ Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejarah pasar modal Indonesia berawal jauh sebelum kemerdekaan, saat negeri ini masih berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda.

Dari transaksi saham perkebunan di Batavia pada akhir abad ke-19, hingga pembentukan Bursa Efek resmi pertama pada 1912, perjalanan pasar modal kita diwarnai pasang surut yang dipengaruhi perang dunia, resesi, nasionalisasi, hingga kebijakan ekonomi dari masa Orde Lama hingga Orde Baru. Setiap periode meninggalkan jejak penting yang membentuk wajah pasar modal Indonesia seperti yang kita kenal sekarang.

Pada masa Hindia Belanda di era tahun 1892 hingga 1940, perdagangan efek pertama tercatat tahun 1892 oleh Cultuur Maatschappij Goalpara di Batavia, diikuti Het Centrum pada 1896. Namun, bursa efek pertama berdiri 14 Desember 1912 di Batavia bernama Vereniging voor de Effectenhandel. Pada jaman itu, investor mayoritas orang Belanda dan Eropa, dengan perdagangan saham dan obligasi perusahaan perkebunan Belanda.

Sayangnya, pada perang dunia I pada tahun 1914 hingga 1918 menghentikan aktivitas bursa. Dan bursa dibuka kembali pada 1925 dan bertambah dua bursa baru di Surabaya dan Semarang. Akan tetapi, resesi 1929 dan Perang Dunia II memaksa semua bursa tutup pada 10 Mei 1940.

Kemudian, pada masa Orde Lama di era tahun 1952 hingga 1977, Bursa Efek Jakarta dibuka kembali oleh Presiden Soekarno pada 3 Juni 1952 untuk menampung obligasi pemerintah. Kepengurusan diserahkan ke perserikatan perdagangan uang dan efek, terdiri dari tiga bank dan Bank Indonesia.

Pada jaman itu, nasionalisasi perusahaan Belanda tahun 1958 akibat sengketa Irian Barat membuat efek Belanda tidak lagi diperdagangkan. Dan aktivitas bursa kembali berhenti sejak 1956 hingga 1977.

Lalu pada masa Orde Baru di era tahun 1977 hingga akhir 1990-an, iklim investasi membaik sejak 1966, mendorong lahirnya UU Penanaman Modal Asing (1967) dan Dalam Negeri (1968) yang kemudian disatukan menjadi UU No.25 Tahun 2007. Pasar modal diaktifkan kembali pada 10 Agustus 1977 oleh Presiden Soeharto, dikelola oleh BAPEPAM.

PT Semen Cibinong menjadi emiten pertama pasca-reaktivasi. Pasar modal pada era ini melalui tiga fase yakni tidur panjang, bangun dari tidur panjang, dan otomatisasi.

Periode Tidur Panjang (hingga tahun 1988)

Pada periode ini, aktivitas pasar modal lesu, hanya 24 perusahaan tercatat di BEJ dalam 4 tahun tanpa IPO baru. Masyarakat pun lebih memilih instrumen perbankan. Deregulasi Paket Desember 1987 (PAKDES 87) pun akhirnya memberi kemudahan perusahaan untuk go public dan membuka peluang investasi asing. Dan akhrinya car aini membuat perdagangan meningkat pesat 1988-1990 setelah deregulasi perbankan dan pasar modal.

Periode Bangun dari Tidur Panjang (tahun 1990-1992)

Pada periode ini jumlah perusahaan IPO melonjak menjadi 225, dikenal sebagai periode IPO boom. Dasar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diubah ke nilai dasar 500. Pada era ini, Bursa Paralel Indonesia (BPI) beroperasi sejak 1988, BES (Bursa Efek Surabaya) mulai 1989. Paket Desember 1988 (PAKDES 88) pun mempercepat pertumbuhan pasar modal.

Periode Otomatisasi (tahun 1992-akhir 1990-an)

Pada era ini banyak lembaga-lembaga yang mendorong dan menjadi pelengkap bursa saham Tanah Air. Pada 12 Juli 1992, BEJ diswastanisasi BAPEPAM menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. Kemudian pada 1993, PEFINDO (PT Pemeringkat Efek Indonesia) didirikan.

Selang dua tahun, pada 22 Mei 1995, BEJ meluncurkan sistem perdagangan otomatis JATS. Masih di tahun yang sama, pada 10 Nov 1995, terbit UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (berlaku 1996).

Pada era ini, Merger Bursa Paralel Indonesia dengan BES. Dan pada 6 Agustus 1996, KPEI berdiri serta pada tahun depannya tepat di 23 Des 1997, KSEI didirikan. Sayangnya, krisis Asia 1997 mengurangi jumlah IPO karena gejolak nilai tukar.

Era Reformasi

Pasar modal Indonesia pun menuju masa reformasi. Pada era ini, diciptakan penghapusan perdagangan berbasis warkat. Perdagangan tanpa warkat diberlakukan karena warkat fisik sering hilang, dipalsukan, dan menghambat penyelesaian transaksi.

Pada era ini terjadi penggabungan Bursa, pada 30 November 2007, Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES) resmi bergabung menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).

Pada era reformasi juga terdapat inovasi dan lembaga baru. Pada 2008 mulai diberlakukan suspensi perdagangan. Pada 2009, PHEI dibentuk, sistem perdagangan JATS-NextG diluncurkan. Kemudian, pada 2011, PT ICaMEL didirikan. Pada tahun depannya di 2012, OJK berdiri, SIPF diluncurkan, serta prinsip & mekanisme perdagangan syariah diperkenalkan. Dan pada2013-2015, pnyesuaian jam perdagangan, lot size, tick price, TICMI bergabung dengan ICaMEL.

BEI juga membuat banyak program edukasi dan pengembangan. Pada 2015 diciptakan kampanye "Yuk Nabung Saham", hingga peresmian LQ-45 Index Futures. Pada 2016, penyesuaian tick size & auto rejection, peluncuran IDX Channel, dukungan Amnesti Pajak, Go Public Information Center. Selanjutnya pada 2017, IDX Incubator, relaksasi marjin, Indonesia Securities Fund. Dan 2018, pembaruan sistem perdagangan & data center, penerapan penyelesaian transaksi T+2, penambahan notasi khusus pada kode emiten.

Lantas dari perjalanan panjang Bursa Saham Indonesia (BEI), saham mana sajakah yang mampu terbang tinggi sejak jaman kemerdekaan?

Berdasarkan catatan CNBC Indonesia terdapat 10 saham multibagger yang melesat sejak melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI)

Saham bisa menjadi multibagger atau saham yang harganya naik berkali lipat dari harga beli awal), biasanya melesat karena kombinasi pertumbuhan bisnis yang kuat, valuasi awal yang murah, dan sentimen pasar yang positif.

Inovasi produk, ekspansi pasar, akuisisi strategis, atau peralihan tren industri yang menguntungkan bisa memicu lonjakan harga.

Pertumbuhan sektor industri pun dapat menopang harga. Sektor yang sedang "sunrise" seperti teknologi, energi terbarukan, atau kesehatan sering menjadi ladang multibagger karena ada mega trend yang menopang.

Selain itu, saat pasar bullish dan investor optimis, saham dengan fundamental bagus sering melonjak jauh melampaui nilai wajarnya.


Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation