
Dolar Singapura Makin Dilirik, Siap Jadi Safe Haven Baru?

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketidakpastian global yang terus meningkat membuat investor kian aktif mencari perlindungan melalui aset safe haven seperti emas, dolar Amerika Serikat (AS), yen Jepang, dan franc Swiss. Aset-aset ini dikenal relatif aman dalam menjaga nilai ketika tekanan ekonomi dan pasar semakin kuat.
Namun, belakangan ini sorotan mulai mengarah ke dolar Singapura (SGD). Di tengah melemahnya daya tarik dolar AS dan meningkatnya kekhawatiran atas kondisi ekonomi di Jepang, SGD dinilai punya potensi menjadi alternatif safe haven terutama bagi investor kawasan Asia.
Sejak awal tahun, indeks dolar AS (DXY) sudah turun sekitar 9,3% dan bahkan sempat menyentuh titik terendah dalam tiga tahun di level 96,37 pada awal Juli 2025.
Sementara itu, SGD justru tampil solid. Dilansir dari Refinitiv, SGD sudah menguat sekitar 5,5% secara year-to-date (ytd), dari posisi SGD 1,364/US$ pada awal Januari menjadi SGD 1,2884/US$ pada penutupan Jumat (1/8/2025). Bahkan, pada awal Juli lalu, SGD sempat menyentuh level terkuatnya di SGD 1,2695/US$.
Kenapa Dolar Singapura Dianggap Aman?
Menurut Christopher Wong, ahli strategi valas dari OCBC, SGD kini memiliki karakteristik quasi safe haven, terutama dalam konteks Asia dan emerging markets. Meski belum menyamai posisi global dolar AS, yen, atau franc Swiss, SGD terbukti cukup tangguh saat pasar Asia diterpa guncangan.
Omar Slim Co-Head Asia Fixed Income di PineBridge Investments, menyoroti stabilitas fiskal, institusi kuat, dan kebijakan makro yang disiplin sebagai pilar utama kekuatan SGD. Senada, Felix Brill dari VP Bank menyebut SGD punya elemen kunci yang dibutuhkan oleh aset safe haven modern mulai dari surplus transaksi berjalan hingga risiko politik yang sangat rendah.
Kebijakan moneter Singapura yang unik juga jadi faktor penopang. Alih-alih menggunakan suku bunga, Monetary Authority of Singapore (MAS) mengelola SGD lewat sistem nilai tukar berbasis koridor terhadap sekeranjang mata uang mitra dagang utama. Koridor ini menjaga stabilitas nilai tukar sambil tetap memberi ruang gerak, tanpa menetapkan nilai tukar tetap.
Jeff Ng Kepala Strategi Makro Asia di Sumitomo Mitsui Banking Corporation, memperkirakan lebar koridor ini sekitar 4%. Dengan volatilitas yang terbatas, risiko terhadap fluktuasi ekstrem jadi lebih rendah-karakteristik penting dari safe haven.
Masih Ada Tantangan
Meski punya fondasi yang kuat, potensi SGD untuk menjadi safe haven global belum sepenuhnya bebas hambatan.
Ukuran pasar yang relatif kecil menjadi salah satu penghalang utama. Berdasarkan data Bank for International Settlements (BIS) tahun 2022, dominasi dolar AS masih sangat besar dengan 88% pangsa pasar valas global, disusul yen Jepang 17% dan franc Swiss (5%). Dolar Singapura hanya mencakup sekitar 2%.
Kebijakan stabilisasi nilai tukar oleh MAS juga menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi memberi kepercayaan pada investor, tapi di sisi lain membatasi fleksibilitas dan kedalaman pasar, yang justru diperlukan jika ingin menjadi safe haven berskala global.
Tantangan lainnya adalah tingginya ketergantungan Singapura terhadap ekspor. Berdasarkan data Bank Dunia, nilai ekspor Singapura setara 178,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2024. Apresiasi berlebih terhadap SGD bisa menekan daya saing ekspor, yang bisa berdampak negatif bagi ekonomi.
"Jika investor terlalu agresif memborong aset dalam SGD, nilai tukar akan terapresiasi tajam. MAS kemungkinan akan turun tangan untuk mencegah penguatan berlebih agar tidak melemahkan sektor ekspor," kata Trinh Nguyen, ekonom senior di Natixis CIB.
Alternatif Baru di Asia
Terlepas dari tantangannya, banyak analis melihat SGD sebagai alat diversifikasi yang semakin strategis.
Di tengah perubahan arah arus modal global, stabilitas dan kekuatan struktural Singapura bisa menjadi daya tarik tersendiri. SGD mungkin belum siap menggantikan peran dolar AS atau franc Swiss, namun ia semakin solid sebagai pelindung nilai di era penuh ketidakpastian terutama bagi investor Asia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)