
Demi Bela Petani, India Diamuk Tarif Trump

Jakarta, CNBC Indonesia- Dunia bersiap menyambut Jumat (1/8/2025) sebagai tenggat akhir negosiasi dagang global dengan Amerika Serikat (AS).
Presiden AS Donald Trump menegaskan akan menjatuhkan gelombang tarif baru bagi negara-negara yang belum mencapai kesepakatan bilateral, dengan tarif dasar antara 15% hingga 35%, bahkan lebih tinggi untuk negara-negara dengan surplus dagang besar terhadap AS
Beberapa negara berhasil mengamankan kesepakatan. Indonesia, Jepang, Inggris, Korea Selatan, Vietnam, Filipina, dan Uni Eropa termasuk di antaranya.
Indonesia, misalnya, sukses menurunkan tarif dari 32% menjadi 19% dalam kesepakatan dagang yang diumumkan 15 Juli lalu. Jepang dan Korea Selatan sepakat memberlakukan tarif 15% untuk produk mereka, disertai janji investasi jumbo ke AS senilai ratusan miliar dolar.
Namun, tidak semuanya berjalan mulus, India bersikeras tak mengorbankan petani dan pelaku usaha kecil-menengahnya meski menghadapi ancaman tarif tinggi dari Amerika Serikat.
Hingga tenggat Jumat (1/8/2025), belum ada titik temu antara kedua negara, membuat India menjadi salah satu dari sedikit negara yang belum mencapai kesepakatan dagang dengan Washington.
Presiden AS Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif 25% terhadap impor dari India angka tertinggi di antara mitra dagang utama AS.
Trump bahkan menyebut India akan menghadapi sanksi tambahan terkait kedekatannya dengan Rusia dan keanggotaannya di blok BRICS. "Mereka bisa bawa ekonomi mati mereka jatuh bersama-sama, saya tak peduli," tulis Trump di Truth Social, menyindir hubungan India-Rusia.
India menolak tunduk. Menteri Perdagangan Piyush Goyal menegaskan bahwa "pemerintah menaruh perhatian tertinggi untuk melindungi dan mempromosikan kesejahteraan petani, pengusaha, dan pelaku UMKM." Ini menandakan sektor-sektor tersebut, yang menyerap lebih dari 40% tenaga kerja nasional, menjadi titik negosiasi paling alot dan sensitif.
Melansir dari India Today, dengan lebih dari 110 juta petani yang memenuhi definisi formal dan 12,5 juta petani penyewa yang sering terpinggirkan, sektor pertanian India tetap menjadi fondasi sosial-politik yang tidak tergantikan.
Dalam menghadapi ancaman tarif 25% dari Presiden AS Donald Trump, pemerintah India menekankan bahwa mereka akan memprioritaskan perlindungan terhadap petani, pengusaha kecil, dan sektor-sektor sensitif seperti susu dan pertanian.
Meskipun sebagian besar ekspor India ke AS berasal dari sektor non-pertanian seperti permata, farmasi, dan tekstil, pukulan tarif tetap bisa merembes ke petani-terutama mereka yang terlibat dalam produksi pangan dan bahan baku pertanian ekspor.
Lebih dari itu, fakta bahwa hanya 20,7% rumah tangga pedesaan benar-benar hidup dari pertanian, menunjukkan ketergantungan India pada diversifikasi ekonomi. Namun, bagi 12,5 juta petani penyewa yang tak punya tanah dan tidak dilindungi secara hukum, guncangan eksternal seperti tarif bisa menjadi pukulan mematikan.
Konsekuensinya cukup besar. Nilai tukar rupee sempat jatuh ke posisi terlemah dalam lima bulan terakhir, sementara indeks saham utama India seperti Nifty 50 dan Sensex terkoreksi hingga 0,9% sebelum ditutup melemah 0,4%. Para ekonom memperkirakan, bila tarif ini diterapkan penuh, pertumbuhan ekonomi India bisa terpangkas hingga 40 basis poin pada tahun fiskal 2025/2026.
India kini menghadapi tekanan ganda. Di satu sisi, menjaga stabilitas politik dan dukungan petani menjelang pemilu. Di sisi lain, ada tekanan ekonomi jangka pendek karena pasar ekspor ke AS senilai lebih dari US$85 miliar per tahun bisa terpangkas.
Perlambatan dalam hubungan India-AS juga diperburuk oleh isu Pakistan. Trump mengklaim berhasil memediasi gencatan senjata India-Pakistan dan telah meneken kesepakatan tarif baru dengan Islamabad. New Delhi membantah klaim Trump dan semakin resisten terhadap tekanan bilateral, membuat peluang kesepakatan semakin menipis.
Jika India tak segera menemukan titik temu, sektor manufaktur, tekstil, pertanian, dan obat-obatan yang selama ini jadi tulang punggung ekspor India bisa tertekan hebat.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)