
Saham Sawit Pesta Pora: Pengusaha Tertawa, Sri Mulyani Senyum-senyum

Jakarta, CNBC Indonesia - Investor di sektor komoditas sawit kini tengah berpesta. Lantaran saham-saham di komoditas sawit kompak mencatatkan kenaikan harga saham yang luar biasa usai rilis kinerja keuangan pada semester I 2025.
Melesatnya kinerja keuangan emiten-emiten sawit pada semester I 2025 didukung oleh kenaikan permintaan dan kenaikan harga minyak sawit (CPO) sejak awal Mei 2025 hingga Juli 2025. Terpantau pergerakan CPO sejak titik terendah tahun ini pada 7 Mei hingga akhir Juli, CPO telah melesat sebesar 12,81% di level MYR 4.202 per ton.
Kenaikan harga CPO pun mendorong performa kinerja keuangan beberapa emiten sawit yang telah merilis kinerja keuangan per semester I 2025.
Dalam siaran pers terkini Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), pada Mei 2025, produksi CPO Indonesia turun 7,01% menjadi 4,165 juta ton, dari 4,479 juta ton pada bulan sebelumnya. Produksi palm kernel oil (PKO) juga turun ke 396 ribu ton. Namun di saat bersamaan, ekspor melonjak 49,75% menjadi 2,664 juta ton, dengan lonjakan terbesar ke India (230 ribu ton), diikuti Afrika (197 ribu ton) dan Uni Eropa (117 ribu ton).
Akibat kombinasi produksi yang turun dan ekspor yang melejit, stok akhir Mei menyusut menjadi 2,916 juta ton, lebih rendah dari stok awal bulan yang mencapai 3,046 juta ton. Penurunan stok inilah yang mempersempit ketersediaan di pasar dan menopang harga.
India Jadi Penggerak Permintaan
Lonjakan harga CPO juga didorong permintaan agresif dari India jelang festival Diwali pada Oktober 2025.
Data perdagangan menunjukkan impor India bisa mencapai 2,9 juta ton dalam periode ini. Permintaan ini semakin kuat karena harga minyak kedelai Amerika Serikat masih tinggi, membuat minyak sawit lebih kompetitif.
Tak hanya itu, India dan Indonesia baru saja meneken nota kesepahaman untuk memperkuat kerja sama minyak sawit, sehingga jalur distribusi ke pasar terbesar ini semakin terjamin.
Harga Tertekan Ringgit, Tapi Didukung Minyak Nabati Lain
Selain faktor fundamental stok dan ekspor, penguatan ringgit Malaysia sempat menahan laju kenaikan harga. Namun sentimen positif datang dari kenaikan harga minyak nabati lain, seperti minyak kedelai di Dalian, yang memberikan dorongan tambahan pada palm oil futures.
Dengan harga kontrak Agustus menembus MYR 4.217 per ton, analis menilai momentum bullish bisa bertahan hingga kuartal III/2025, selama permintaan dari India tetap tinggi dan stok global tidak kembali melimpah.
Pemerintah Makin Cuan
Dengan harga CPO yang terus menguat, pemerintah akan diuntungkan. Penerimaan bea keluar diperkirakan akan meningkat tajam.
Sebagai catatan, penerimaan bea keluar sepanjang Januari-Juni dari produk sawit sudah melesat 553% menjadi Rp 11,18 triliun pada Januari-Juni 2025. Lonjakan terbesar datang dari turunan CPO yang melesat 1.479% menjadi Rp 8,81 triliun.
Bila harga CPO masih terus menguat maka penerimaan bea keluar yang dipungut Kantor Sri Mulyani akan semakin melesat.
Bagaimana Prospek ke Depan?
Melihat tren ini, ada tiga faktor kunci yang akan menentukan arah harga CPO dalam beberapa bulan ke depan.
Pertama, permintaan musiman India. Jika impor India benar-benar mencapai 2,9 juta ton hingga Oktober, momentum penguatan harga bisa bertahan lebih lama. Namun setelah festival selesai, permintaan berpotensi normalisasi.
Kedua, produksi Semester II/2025. Jika produksi Indonesia dan Malaysia mulai pulih pada Agustus-September, stok bisa kembali naik, menekan harga. Namun, cuaca dan isu tenaga kerja di perkebunan masih menjadi risiko produksi.
Ketiga, persaingan dengan minyak Nabati Lain. Harga kedelai dan rapeseed akan memengaruhi daya saing minyak sawit. Selama harga kedelai tetap tinggi, CPO masih punya ruang penguatan.
Dalam skenario optimistis, analis memproyeksikan harga CPO berpotensi menembus MYR 4.500 per ton pada akhir tahun, selama stok tetap ketat dan permintaan India kuat. Sebaliknya, jika produksi rebound cepat atau ringgit menguat signifikan, harga bisa kembali ke kisaran MYR 4.200-4.250 per ton.
Kenaikan 6,11% bulan ini cerminan ketatnya fundamental pasar: stok menipis akibat produksi turun, ekspor melonjak ke India, dan harga minyak nabati global yang mahal. Prospek jangka pendek masih bullish, tapi pasar akan tetap sensitif terhadap pergerakan stok dan permintaan pascaperiode festival.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)