
5 Emiten Mulai Ganti Bisnis Baru, Ada ADRO - BUKA!

Jakarta, CNBC Indonesia - Tak lagi semata-mata bergantung pada sektor lama, perusahaan-perusahaan ini mulai menata ulang strategi demi menjaga pertumbuhan jangka panjang.
Kami mencatat ada sekitar lima emiten yang mulai beralih lini bisnis, sebagai berikut :
ADRO
PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO), dulunya bernama PT Adaro Energy Indonesia Tbk. Perubahan nama yang baru terjadi tahun lalu itu menandai fokus bisnis yang berubah ke arah yang lebih ramah lingkungan setelah spin off anak usaha bisnis batu bara thermal-nya, PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI).
Kini, bisnis batu bara yang tersisa hanyalah batu bara kokas (metallurgical coal), yang digunakan untuk industri baja dan dinilai lebih ramah lingkungan karena tidak dibakar untuk pembangkit listrik.
Sejalan dengan itu, Alamtri fokus memperkuat pilar-pilar bisnis baru yang lebih berkelanjutan. Melalui anak usaha Adaro Green, perusahaan menggelontorkan investasi ke sektor energi terbarukan seperti solar PV, pembangkit listrik tenaga air, dan bahkan proyek hidrogen. Tak hanya itu, mereka juga membangun rantai pasok baterai kendaraan listrik lewat Adaro Minerals yang memiliki cadangan logam dasar seperti bauksit dan nikel.
Transformasi ini terangkum dalam visi "Adaro Energy 4.0" yang mengedepankan tiga pilar: energi hijau, mineral untuk industri masa depan, dan integrasi rantai pasok industri EV. Dengan langkah ini, Alamtri Resources ingin memastikan keberlanjutan bisnisnya di era transisi energi, sekaligus menjawab tuntutan global terhadap dekarbonisasi.
INDY
PT Indika Energy Tbk (INDY) juga terpantau fokus mengalihkan bisnis dari batu bara ke sektor yang lebih ramah lingkungan.
Langkah awal diversifikasi ini dimulai sekitar tahun 2021, saat INDY menyadari bahwa ketergantungan pada batu bara tidak bisa menjadi fondasi pertumbuhan jangka panjang. Sebagai respons, perusahaan mulai merancang portofolio baru yang lebih rendah karbon, sekaligus membuka peluang di sektor-sektor masa depan.
Salah satu tonggak pentingnya adalah dengan membentuk Ilectra Motor Group (IMG), perusahaan kendaraan listrik roda dua yang didirikan INDY bersama Alpha JWC Ventures dan Horizons Ventures. IMG kemudian meluncurkan merek motor listrik lokal ALVA pada tahun 2022.
![]() Alva One, Skuter Listrik Maxi diperkenalkan di ajang Gakindo Indonesia Internasional Auto Show (GIIAS), Tangerang, Banten. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo) |
Tak hanya menjual motor listrik, IMG juga membangun ekosistem kendaraan listrik secara menyeluruh, termasuk jaringan pengisian daya, showroom berbasis pengalaman (experience center), serta layanan purna jual digital.
Perusahaan juga mulai masuk ke energi terbarukan, termasuk pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan eksplorasi potensi hidrogen hijau. Selain itu, mereka terjun ke agribisnis berkelanjutan dan investasi di sektor logistik berbasis teknologi serta platform digital yang mendukung efisiensi rantai pasok.
Pada laporan kuartal III/2024, kontribusi pendapatan dari batu bara masih sebesar ~87%, sedangkan sektor non‑batu bara baru menyumbang sekitar 13%. Oleh karena itu, INDY menargetkan 50% kontribusi dari sumber non-batu bara menjadi tahun 2028, bukan lagi 2025, mundur dari perkiraan sebelumnya dengan target tahun ini bisa mencapai setengah dari revenue.
TOBA
Berlanjut ke PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) yang juga terpantau beralih bisnis ke arah ramah lingkungan.
Dalam laporan keberlanjutan 2024, TOBA menyatakan akan menghentikan operasi tambang batu bara pada kurun 2026-2030 dan menggantinya dengan sumber rendah karbon serta perdagangan karbon.
TOBA mulai serius menggarap lini bisnis pengelolaan sampah sebagai bagian dari strategi transisi menuju perusahaan rendah karbon. Melalui entitas anak usaha, TOBA telah masuk ke proyek-proyek waste to energy dan waste management skala kota.
Salah satu proyek andalannya adalah pengembangan fasilitas pengolahan sampah terpadu di wilayah Jabodetabek, yang mengubah limbah padat menjadi energi atau bahan bakar alternatif. TOBA juga menjalin kerja sama strategis dengan pemerintah daerah dan mitra teknologi untuk memperluas infrastruktur pengolahan sampah berbasis teknologi ramah lingkungan.
BRMS
Beralih ke emiten grup Salim dan grup Bakrie, PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) yang dikabarkan akan semakin fokus bisnis tembaga.
Selama ini, pendapatan BRMS masih sangat didominasi oleh kontribusi dari segmen emas, terutama melalui proyek Citra Palu Minerals (CPM). Pada kuartal I 2025, BRMS mencatatkan pendapatan sebesar US$ 63,3 juta, melonjak 211,5% secara tahunan (yoy), dengan laba bersih mencapai US$ 14 juta atau naik lebih dari 300% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Mayoritas pendapatan tersebut masih berasal dari produksi emas.
Namun, perusahaan mulai mengintensifkan eksplorasi tembaga, terutama melalui anak usaha PT Gorontalo Minerals yang memiliki konsesi tambang seluas hampir 25.000 hektare di Bone Bolango, Gorontalo.
Menurut Presiden Direktur BRMS, Agoes Projosasmito, fokus perusahaan saat ini adalah mempercepat eksplorasi dan pengembangan proyek tembaga di Gorontalo. Meski sempat santer dikabarkan akan bekerja sama dengan Amman Mineral (AMMN), manajemen menegaskan bahwa hingga saat ini tidak ada kerja sama yang dijalin dan masing-masing perusahaan akan tetap berjalan secara independen.
Dalam waktu dekat, BRMS juga tengah menyelesaikan pembangunan pabrik pengolahan emas yang ditargetkan mulai beroperasi pada kuartal III/2026, sementara produksi tembaga komersial dari Gorontalo diproyeksikan baru bisa dimulai setelah tahun 2028, karena masih dalam tahap eksplorasi dan pemboran lanjutan untuk mendapatkan cadangan sesuai standar JORC.
Potensi sumber daya dari proyek Gorontalo ini cukup menjanjikan, dengan estimasi total sumber daya mencapai sekitar 392-400 juta ton bijih, dan cadangan probable sekitar 105 juta ton dengan kadar tembaga antara 0,5-0,7%.
Meski belum masuk ke tahap produksi, langkah BRMS ini sejalan dengan arah strategis induk usahanya, PT Bumi Resources Tbk (BUMI), yang mulai agresif mendiversifikasi bisnis dari batu bara ke mineral kritis seperti emas dan tembaga. Salah satu langkah diversifikasi tersebut terlihat dari rencana akuisisi perusahaan tambang emas dan tembaga asal Australia, Wolfram Limited. Meskipun proyek ini berada di bawah BUMI, bukan langsung BRMS, sinyal dukungan grup terhadap sektor mineral jelas terlihat.
Dengan mulai fokus ke tembaga, BRMS tampaknya ingin memanfaatkan momentum global transisi energi yang membutuhkan logam dasar dalam jumlah besar, khususnya untuk kendaraan listrik dan infrastruktur energi hijau. Meski kontribusi tembaga terhadap pendapatan masih nol pada saat ini, pergerakan eksplorasi yang agresif menunjukkan bahwa BRMS tengah menyiapkan fondasi jangka panjang untuk menjadi pemain penting di sektor ini. Jika berhasil merealisasikan rencana produksi dan hilirisasi ke depan, BRMS berpotensi menjadi salah satu produsen tembaga nasional yang signifikan di masa mendatang.
BUKA
Terakhir, ada emiten teknologi yang baru IPO kurang dari lima tahun ini dan masih punya kas jumbo triliunan rupiah, yaitu PT Bukalapak.com Tbk (BUKA).
BUKA bisa dibilang mengalami transformasi bisnis besar dengan menghentikan penjualan produk fisik di marketplace pada awal tahun ini. Model bisnis-nya kini fokus pada layanan digital bernilai tambah seperti produk virtual (pulsa, token listrik, tagihan), hingga lini bisnis utama: Mitra Bukalapak (UMKM offline), Gaming, Retail digital, dan Investment.
Pada kuartal I 2025, Bukalapak membalik kerugian menjadi laba bersih sebesar Rp111,75 miliar, setelah tahun sebelumnya mencatat rugi bersih Rp41,9 miliar. Pendapatan naik 24% yoy menjadi Rp1,46 triliun, didorong oleh segmen gaming (Rp1,1 triliun), Mitra (Rp254,9 miliar), retail (Rp88,7 miliar), dan investasi (Rp11,67 miliar). Efisiensi biaya. termasuk penurunan biaya pemasaran telah membantu memperbaiki margin operasional secara signifikan
![]() Bukalapak. (Dok. Detikcom/Agus Tri Haryanto) |
BUKA juga masih menyisakan dana IPO jumbo sekitar Rp9,3-9,95 triliun, setelah sekitar 56% dari total fundraising senilai sekitar Rp21,3 triliun telah digunakan per akhir Desember 2024.
Manajemen menyatakan bahwa sisa dana tersebut akan dialokasikan untuk pengembangan usaha inti dan anak perusahaan, meliputi modal kerja, pembelian aset, joint ventures, dan investasi langsung seperti akuisisi terhadap entitas yang dianggap memiliki potensi berkembang positif untuk Bukalapak ke depan.
Sekitar 40% dari sisa dana dijadwalkan untuk modal kerja utama pada 2025, dan 13,35% dialokasikan ke modal kerja entitas anak, sedangkan sisanya (~46-47%) dapat digunakan baik di entitas anak saat ini maupun anak usaha yang masih perlu dibentuk.
Dalam praktiknya, BUKA telah menempatkan dana tersebut terutama di instrumen likuid dan relatif aman: termasuk deposito sebesar sekitar Rp916 miliar pada beberapa bank (seperti BRI dan Allo Bank) dan obligasi pemerintah dengan imbal hasil berkisar antara 4,13% hingga 8,38%. Ini memastikan likuiditas tinggi sambil menunggu momentum investasi yang tepat.
Meski tidak secara pasti ada perubahan bisnis, tetapi dengan perubahan penghentian penjualan produk fisik dan posisi dana IPO jumbo memungkinkan BUKA untuk membuka peluang bergerak ke bisnis baru. Apalagi, melihat kas-nya banyak ditempatkan di deposito dan instrumen investasi lain, memungkinkan perusahaan menjajaki bisnis capital manajemen.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)
