Kabar Buruk Buat Petani, Harga Pupuk Semakin Tak Terkendali

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
23 July 2025 10:40
Petani padi melakukan pemupukan. (Dok. Kementan)
Foto: Petani padi melakukan pemupukan. (Dok. Kementan)

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga pupuk dunia kembali jadi sorotan. Sejak awal 2025, indeks harga pupuk global naik 15%, dengan lonjakan paling tajam terjadi pada triple superphosphate (TSP) yang melesat 43% dan diammonium phosphate (DAP) 23%.

Lonjakan ini bukan sekadar fluktuasi musiman, tetapi cerminan dari pusaran krisis yang melibatkan geopolitik, pasokan energi, hingga kebijakan ekspor negara produsen utama.

Permintaan pupuk tetap tinggi, sementara pasokan makin ketat. China, yang selama ini menjadi eksportir nitrogen pupuk terbesar, memangkas lebih dari 90% ekspornya sepanjang 2024 demi menjaga ketersediaan dalam negeri.

Di saat yang sama, Uni Eropa memperketat tarif pada produk pupuk Rusia dan Belarus. Alhasil, arus perdagangan global terganggu, dan harga pupuk melonjak lebih tinggi dari rata-rata 2015-2019.

Sementara itu, harga pupuk urea pada perdagangan kemarin, Selasa (22//7/2025) melemah 7,3%. Namun, harga pupuk urea sudah melonjak 32% sepanjang tahun ini.



Konflik geopolitik di Timur Tengah memperparah keadaan. Wilayah itu termasuk Qatar, Iran, dan Saudi Arabia merupakan eksportir nitrogen pupuk terbesar ketiga hingga kelima dunia.

Ketegangan di kawasan ini memicu gangguan logistik, membuat harga urea dan nitrogen sulit turun. Bahkan, natural gas yang menjadi bahan baku pupuk nitrogen sempat melonjak, meski beberapa bulan terakhir sedikit mereda di AS dan Eropa.

Di Amerika Serikat, tren harga ritel pupuk juga mencerminkan kenaikan bertahap.

Data Juli 2025 menunjukkan DAP di kisaran US$810 per ton, MAP US$847, urea US$658, dan potash US$481. Dibandingkan tahun lalu, harga urea naik 32%, UAN32 melonjak 30%, sementara DAP naik 7%. Brazil pun tak mengerem impor-negara ini mendatangkan 6,2 juta ton pupuk hanya dalam paruh pertama 2025, menjaga ketatnya persaingan global.

Meski kenaikan harga pupuk global menekan pasar internasional, dampaknya ke Indonesia tidak sepenuhnya linear.

Sebagian besar kebutuhan pupuk urea dan NPK dalam negeri diproduksi oleh PT Pupuk Indonesia melalui anak usahanya, sehingga harga domestik lebih terlindungi dibanding negara importir murni.

Namun, sekitar 30% bahan baku pupuk terutama amonia, sulfur, dan fosfat masih bergantung pada impor. Jika harga gas alam dan sulfur global melonjak, biaya produksi domestik akan ikut terdorong. Hal ini diakui Kementerian Pertanian sebagai risiko yang bisa merembet pada kenaikan harga pupuk non-subsidi.

Untuk meredam gejolak, seperti diketahui pemerintah telah menaikkan alokasi pupuk bersubsidi dari 4,7 juta ton menjadi 9,5 juta ton sejak 2024, dan kini memperluas jenis pupuk bersubsidi hingga SP-36 dan ZA sesuai Perpres No. 6/2025.

Distribusi pupuk bersubsidi pun dirombak agar lebih tepat sasaran, dengan verifikasi data petani langsung oleh Kementan tanpa lagi melalui SK bupati atau gubernur.

Skema ini diharapkan menekan potensi kelangkaan, khususnya saat musim tanam utama Oktober mendatang. Namun, jika lonjakan harga global berlanjut, beban subsidi APBN akan meningkat, sehingga pemerintah mungkin harus memilih antara menambah anggaran atau membatasi kuota subsidi.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan ampai dengan semester I tahun 2025, realisasi Subsidi Pupuk telah mencapai Rp10,3 triliun, atau lebih tinggi apabila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2024 sebesar Rp6,31 triliun. Realisasi Subsidi Pupuk tersebut terutama dipengaruhi oleh penyaluran volume pupuk bersubsidi.

Sampai dengan semester I - 2025, penyaluran pupuk bersubsidi telah mencapai 3,7 juta ton, terdiri dari pupuk Urea 1,8 juta ton, NPK 1,8 juta ton, NPK Formula Khusus 0,03 juta ton, dan Organik 0,1 juta ton.

Penyaluran pupuk tersebut meningkat 18,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan penyaluran pupuk bersubsidi sampai dengan semester I - 2025 terutama didukung oleh adanya perubahan regulasi penyaluran pupuk sebagaimana yang tercantum dalam Perpres 6 tahun 2025.

Dampak Mahalnya Pupuk

Bulog juga menyoroti implikasi tidak langsung dari mahalnya pupuk. Jika petani mengurangi dosis pemupukan karena pupuk nonsubsidi terlalu mahal, produktivitas padi bisa menurun dan berdampak pada serapan gabah nasional. Ini berpotensi menekan ketersediaan stok beras medium Bulog.

Kementan memperkirakan, setiap penurunan 10% dosis pupuk nitrogen dapat menurunkan hasil panen padi 5-7%. Dengan demikian, meski skema subsidi domestik menjaga harga lebih stabil, tren global tetap menjadi faktor risiko yang perlu diantisipasi, terutama untuk menjaga daya saing produksi pangan nasional.

Secara global, ke depan, harga pupuk diprediksi masih bertahan tinggi hingga 2026 sebelum stabil, seiring tambahan kapasitas produksi di Asia Timur dan Timur Tengah. Namun, jika konflik geopolitik meluas atau pembatasan ekspor China berlanjut, harga bisa tetap berada di level premium. Untuk Indonesia, ketergantungan impor urea, DAP, dan MOP membuat pengendalian harga pupuk bersubsidi jadi kian rumit.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation