
NATO di Persimpangan: Gadaikan Kesehatan Rakyat Demi Senjata Perang?

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali menggemparkan dunia internasional dengan pernyataannya yang mendesak seluruh negara anggota NATO untuk meningkatkan anggaran militer mereka menjadi 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Anggaran NATO yang selama ini banyak terserap untuk kesehatan kini dipertaruhkan.
Permintaan Trump ini secara signifikan melebihi target NATO sebelumnya yang menetapkan standar kontribusi militer sebesar 2% dari PDB. Jika desakan ini benar-benar diterapkan, maka konsekuensinya tidak hanya akan terasa dalam hal pertahanan, tetapi juga dapat memicu ketegangan di sektor anggaran lain, khususnya belanja untuk kesehatan dan pendidikan.
Saat ini, sebagian besar negara anggota NATO masih memprioritaskan pengeluaran untuk sektor kesehatan dan pendidikan dibandingkan militer.
Jika dirata-rata, anggaran kesehatan anggota NATO untuk belanja kesehatan adalah 8,8%, digunakan buat pendidikan adalah 4,8% sementara untuk militer adalah 2,2%%.
Misalnya, Amerika Serikat, negara dengan kekuatan militer terbesar di dunia, tercatat mengalokasikan sekitar 3,4% dari PDB-nya untuk belanja militer. Namun, anggaran kesehatan mencapai 16,5% dan pendidikan 5,4% dari PDB, menunjukkan bahwa belanja ke dua sektor ini tetap menjadi prioritas utama. Hal serupa terlihat di negara-negara Eropa Barat seperti Jerman dan Prancis.
Dampak Dari Trump Meminta NATO Menaikan Belanja Militer Jadi 5%
Jika seluruh negara NATO mengikuti permintaan Trump dan menaikkan belanja militer mereka menjadi 5% dari PDB, maka akan terjadi perubahan signifikan dalam struktur anggaran nasional.
Perbandingan terhadap anggaran sektor kesehatan menunjukkan bahwa negara-negara dengan belanja sosial rendah akan terdampak paling besar.
Contohnya, Hungaria yang saat ini membelanjakan 6,4% dari PDB untuk kesehatan, akan memiliki rasio belanja militer terhadap kesehatan sebesar 0,78 jika anggaran militer naik menjadi 5%. Di Turki, yang belanja kesehatannya hanya 3,7%, maka belanja militer akan melampaui sektor kesehatan dengan rasio 1,35.
Sebaliknya, di negara-negara dengan belanja kesehatan yang tinggi seperti Prancis atau Belgia, peningkatan ini masih akan menjaga dominasi belanja sosial.
Situasi lebih kontras terlihat ketika membandingkan belanja militer dengan pendidikan. Sebagian besar negara NATO memiliki alokasi pendidikan di kisaran 3% hingga 5% dari PDB.
Artinya, jika anggaran militer naik menjadi 5%, maka sektor pendidikan akan langsung tergeser. Di Italia, yang saat ini memiliki alokasi pendidikan sebesar 4,2%, kenaikan belanja militer ke 5% akan menempatkan sektor pertahanan sebagai pos anggaran yang lebih besar.
Hanya beberapa negara seperti Swedia (pendidikan 7,6%) dan Islandia (7,1%) yang akan tetap menempatkan pendidikan di atas militer, meski Islandia sendiri saat ini tidak memiliki anggaran militer.
Kenaikan belanja militer secara drastis tentu menimbulkan tantangan fiskal yang tidak mudah. Negara-negara dengan rasio utang tinggi atau yang sedang mengalami tekanan ekonomi harus mencari cara untuk menyesuaikan anggaran.
Ini bisa berarti menaikkan pajak, memotong belanja sosial, atau menambah utang, yang semuanya memiliki implikasi terhadap kesejahteraan rakyat dan stabilitas politik.
Lebih jauh lagi dalam konteks demokrasi, dukungan publik terhadap belanja militer yang sangat besar bisa jadi sulit didapat, terutama di negara yang tidak merasa berada dalam ancaman langsung.
Dengan demikian, permintaan Trump kepada NATO untuk menaikkan belanja militer menjadi 5% dari PDB merupakan ujian nyata bagi kebijakan anggaran negara-negara NATO.
Di satu sisi, hal ini dianggap sebagai langkah untuk memperkuat solidaritas dan pertahanan bersama di tengah meningkatnya ancaman global.
Namun di sisi lain, jika dilakukan tanpa perencanaan matang, peningkatan ini bisa mengorbankan sektor vital seperti kesehatan dan pendidikan yang justru merupakan fondasi utama kekuatan suatu bangsa.
Pada akhirnya, kekuatan nasional sejati tidak hanya diukur dari jumlah tank dan jet tempur, melainkan juga dari kualitas pendidikan, layanan kesehatan, dan kesejahteraan rakyatnya. Meningkatkan belanja militer mungkin penting dalam konteks geopolitik, tetapi harus diimbangi dengan komitmen untuk tidak mengorbankan pembangunan manusia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)