Usai Merevolusi Dunia: Bill Gates, Elon Musk-Zuckerberg Pilih Bertani

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
16 July 2025 15:55
Jeff Bezos di ladang pertanian
Foto: cnbc

Jakarta, CNBC Indonesia- Dunia telah memasuki era "tanah kembali jadi pusat strategi". Para miliarder teknologi yang dulu berfokus di metaverse dan AI kini berbondong-bondong merambah pertanian.

Langkah ini memang seperti diversifikasi investasi, tetapi sebetulnya juga menunjukan sinyal kuat akan kekhawatiran krisis pangan, perubahan iklim, dan kerentanan rantai pasok global. Teknologi memang penting, tapi pangan adalah kebutuhan tak tergantikan.

Bill Gates

Langkah Bill Gates mungkin yang paling mencolok. Melalui perusahaannya, Cascade Investment, pendiri Microsoft ini telah membeli lebih dari 242 ribu hingga 275 ribu acre lahan pertanian yang tersebar di 18-20 negara bagian Amerika Serikat. Pada 2023 idia bahkan membeli 2.100 hektar tanah tambahan di North Dakota senilai US$13,5 juta.

Meski Gates tak pernah turun langsung ke ladang, ia membangun ekosistem pertanian masa depan: bibit tahan iklim ekstrem, teknologi irigasi cerdas, dan sistem pertanian regeneratif. Dalam sejumlah pernyataan publik, ia menyebut pangan akan menjadi tantangan terbesar dunia dalam menghadapi perubahan iklim dan siapa yang menguasai pangan, akan memegang kunci stabilitas global.

Jeff Bezos

Tak jauh berbeda, Jeff Bezos, raja e-commerce dunia, menjejak langkah serupa. Bezos kini memiliki sekitar 420 ribu acre lahan pertanian, sebagian besar di Texas.

Melalui Bezos Earth Fund, ia menggelontorkan dana hingga US$10 miliar untuk berbagai proyek terkait mitigasi perubahan iklim, termasuk pertanian regeneratif. Ia bahkan mendanai Plenty Unlimited, startup vertical farming yang pernah menyentuh valuasi mendekati US$1 miliar.

Bezos juga menaruh uangnya pada riset daging dan protein sintetis berbasis laboratorium bahkan dilaporkan mengucurkan US$60 juta ke sektor ini. Jika Amazon telah menguasai distribusi barang, maka Bezos tampaknya ingin memastikan rantai pasok pangan juga berada dalam kendalinya.

Jack Ma

Sementara itu, Jack Ma, pendiri Alibaba yang sempat "menghilang" dari publik, kembali muncul dengan fokus baru pertanian.

Ia mendirikan Digital Agriculture Base di Tiongkok dan memanfaatkan Alibaba Cloud untuk membantu petani menganalisis cuaca, tanah, dan pola tanam secara real-time. Ia pun mulai menghubungkan petani kecil langsung ke pasar lewat platform e-commerce, memangkas peran tengkulak, dan mendorong pertanian organik bernilai tinggi. Di Jepang, Ma sempat mengunjungi sekolah pertanian untuk mempelajari teknologi agrikultur baru.

Mark Zuckerberg

Mark Zuckerberg, melalui Chan Zuckerberg Initiative, memilih jalur berbeda. Ia tidak membeli lahan dalam skala besar, tetapi mendanai riset biotek tanaman dan precision agriculture. Fokusnya adalah menciptakan pangan yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan tahan iklim ekstrem. Di balik narasi filantropi, ada kesadaran bahwa tanpa menguasai fondasi kehidupan, kekuasaan digital yang ia bangun pun rapuh.

Elon Musk

Bahkan Elon Musk, yang selama ini lebih identik dengan misi kolonisasi Mars, tetap bersinggungan dengan pangan. SpaceX dan Tesla Energy membiayai riset pertanian berbasis ruang tertutup (closed-loop farming) yang bisa mendukung kehidupan di luar angkasa. Solar panel Tesla juga dirancang untuk memberi daya pada pertanian modern agar hemat energi. Musk sadar, jika manusia harus hidup di planet lain, mereka harus terlebih dulu memecahkan persoalan pangan.

Warren Buffett

Warren Buffett pun tak ketinggalan. Melalui anaknya, Howard Buffett, sang investor legendaris mendukung pertanian konservatif di Amerika Latin dan Afrika. Fokusnya pada regenerasi tanah yang mulai kehilangan kesuburan akibat eksploitasi berlebihan. Dalam skema ini, lahan bukan sekadar komoditas, tetapi aset strategis jangka panjang.

Apa yang mendorong para miliarder digital ini turun ke tanah?

Jawabannya terletak pada kombinasi krisis pangan global dan kalkulasi bisnis visioner. Laporan FAO dan WFP mencatat 735 juta orang mengalami kelaparan kronis pada 2023, meningkat tajam akibat pandemi, konflik Rusia-Ukraina, dan kelangkaan pupuk.

Perubahan iklim juga memperparah degradasi tanah dan kelangkaan air. Dalam kondisi seperti ini, investasi pangan bukan hanya logis, tetapi vital. Harga lahan pertanian cenderung stabil dan naik dalam jangka panjang, sementara permintaan pangan tak pernah surut.

Para miliarder teknologi kini sadar bahwa pangan adalah kebutuhan dasar yang tak tergantikan, dan lahan adalah sumber daya paling strategis. Sementara mereka mengokohkan pijakan di sektor ini, Indonesia justru mulai kehilangan basis agrarisnya. Jika negeri ini ingin tidak hanya "modern secara citra", tapi juga mandiri secara pangan, saatnya serius merangkul teknologi ke dalam pertanian bukan sebaliknya.

CNBC Indonesia Research

[email protected]

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation