Newsletter

Babak Baru Perang Trump vs Putin Dimulai, Investor RI Dibuat Cemas

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
15 July 2025 06:20
rusia-amerika
Foto: REUTERS/Carlos Barria//File Photo
  • Pasar keuangan RI kemarin bergerak variatif, IHSG menguat utamanya didorong saham Prajogo Pangestu, tetapi rupiah dan obligasi melemah. 
  • Wall Street kompak menguat meski tipis
  • Sentimen hari ini akan datang dari perkembangan ekonomi China dan inflasi Amerika Serikat (AS), tarif Trump hingga data kemiskinan

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air pada perdagangan Senin kemarin (14/7/2025) bergerak variatif, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil ditutup positif, tetapi rupiah dan obligasi melemah.

Pasar keuangan hari ini diperkirakan bergerak volatile sejalan dengan perkembangan baru tarif Presiden AS Donald Trump. Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini. 

IHSG pada perdagangan kemarin berhasil ditutup menguat 0,71% menuju posisi 7,097,15. Ini menjadi penguatan selama lima hari beruntun.

Turnover pasar cukup ramai mencapai Rp19,07 triliun yang melibatkan 24,29 miliar lembar saham yang ditransaksikan sebanyak 1,78 juta kali. Ada sebanyak 188 saham menguat, 418 turun, dan 198 saham stagnan.

Asing masih mencatat net sell sebesar Rp 1,13 triliun.

Pendorong penguatan IHSG kemarin lebih banyak didukung saham satu grup konglomerat Prajogo Pangestu.

Saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) melonjak sampai Auto Reject Atas (ARA) berhasil jadi penopang terkuat IHSG sebanyak 45,54 poin.

Lalu ada PT Barito Pacific Tbk (BRPT) dan PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) yang menyumbang masing-masing 18,66 dan 10,19 indeks poin.

Tak luput juga, saham PT Petrosea Tbk (PTRO) mendongkrak indeks sebesar 5,29 poin dan PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) sebesar 5,06 poin, termasuk anak usahanya yang baru IPO, PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) mengungkit indeks 3,04 poin.

Di sisi lain, dari pasar mata uang, rupiah malah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Merujuk data Refinitiv, rupiah bertengger di posisi Rp16.240/US$, melemah 0,22% yang menandai berakhirnya tren penguatan dua hari beruntun.

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kemarin salah satunya disebabkan oleh indeks dolar AS yang menguat ke level tertinggi hampir tiga minggu.

DXY menguat seiring dengan eskalasi tarif dagang Presiden AS Donald Trump makin memanas setelah pada Sabtu (12/7/2025) waktu AS, Trump mengumumkan penerapan tarif baru terhadap Uni Eropa dan Meksiko sebesar 30%. Sehari sebelumnya Trump juga menerapkan tarif baru kepada Kanada sebesar 35%. Semua tarif ini akan berlaku mulai 1 Agustus 2025.

Selain itu, Trump juga menaikkan batas bawah tarif nya dari 10% menjadi 15%-20% terhadap banyak negara. Hal ini menandakan arah kebijakan proteksionisme Trump yang kian berlanjut yang membuat aliran modal investor kembali ke safe haven aset.

Beralih ke pasar obligasi, terpantau ikut terjadi aksi jual meskipun cenderung tipis.

Berdasarkan data Refinitiv, yield obligasi 10 tahun RI pada penutupan kemarin berada di 6,58%, naik tipis tak sampai 1 basis poin (bps).

Patut dipahami, pergerakan harga dan yield pada obligasi itu berlawanan arah. Jadi, ketika yield naik, maka harga sedang turun.

Dari pasar saham AS, bursa Wall Street menguat tipis meski ada ancaman baru Presidenn AS Donald Trump ke Uni Eropa.

Investor optimis tarif tersebut pada akhirnya akan dinegosiasikan ke tingkat yang lebih rendah, sambil menanti pekan yang sibuk dalam musim laporan keuangan kuartal kedua.

Indeks S&P 500 naik 0,14% dan ditutup di level 6.268,56, sementara Nasdaq Composite menguat 0,27% menjadi 20.640,33. Dow Jones Industrial Average terapresiasi 88,14 poin atau 0,20% ke posisi 44.459,65.

Investor terus memantau perkembangan terkait tarif setelah Trump mengumumkan AS akan memberlakukan tarif sebesar 30% terhadap Uni Eropa dan Meksiko mulai 1 Agustus.

Para pemimpin UE dan Meksiko menyatakan bahwa mereka masih ingin melanjutkan dialog dengan pemerintahan Trump bulan ini untuk mencoba mencapai kesepakatan tarif yang lebih rendah.

Pengumuman Trump tersebut muncul menjelang rilis data inflasi minggu ini, yang akan memberikan gambaran lebih jelas kepada investor mengenai dampak tarif Trump yang telah diberlakukan terhadap perekonomian.

Fokus investor juga tertuju pada serangkaian laporan keuangan yang akan dirilis minggu ini. Beberapa bank besar, termasuk JPMorgan Chase, dijadwalkan memulai pelaporan kuartalan pada Selasa.

"Pertanyaan besar untuk pasar dalam beberapa minggu ke depan adalah apakah laporan laba perusahaan, yang diperkirakan akan solid, bisa menutupi isu tarif yang masih membayangi," kata Glen Smith, Chief Investment Officer dari GDS Wealth Management yang berbasis di Texas, kepada CNBC International.

"Sejauh ini, pasar masih mampu bertahan dari berita utama soal tarif dan lebih fokus pada kinerja laba serta ketahanan ekonomi." Imbuhnya.

Faktor lain yang juga diamati investor adalah ketegangan antara pemerintahan Trump dan Federal Reserve. Pada hari Minggu, Direktur Dewan Ekonomi Nasional Kevin Hassett mengatakan Trump bisa memecat Ketua The Fed Jerome Powell jika ada alasan yang cukup.

Pejabat Trump tengah menyelidiki biaya renovasi gedung utama Federal Reserve di Washington, D.C., sementara Trump secara berulang mengkritik Powell karena tidak menurunkan suku bunga. Bank sentral sendiri membantah sebagian kritik terkait proyek renovasi tersebut.

Pergerakan pasar pada hari Senin terjadi setelah pekan negatif bagi saham, meskipun rata-rata indeks utama masih berada di dekat rekor tertinggi.

Pelaku pasar tampaknya pada hari ini akan beralih fokus ke data eksternal, utamanya soal perkembangan ekonomi China dan inflasi Amerika Serikat (AS). Sementara dari tanah Air pasar masih diwarnai pesta saham IPO dan menanti sejumlah rilis laporan keuangan semester I/2025, data kemiskinan, serta mencermati rilis kinerja neraca dagang RI. 

Berikut rincian sentimen yang akan mempengaruhi gerak pasar hari ini : 

Trump Ancam Tarif 100% ke Mitra Dagang Rusia, Tarif 30% ke UE

Presiden Donald Trump pada Senin (14/7/2025) mengancam akan memberlakukan tarif sekunder terhadap mitra dagang Rusia sebesar 100%, jika Presiden Vladimir Putin tidak menyetujui kesepakatan untuk mengakhiri invasi ke Ukraina dalam waktu 50 hari.
Ancaman ini menjadi babak baru dalam perang tarif antara Trump dan Putin.

"Kami sangat tidak senang dengan mereka, dan kami akan memberlakukan tarif yang sangat berat. Jika tidak ada kesepakatan dalam 50 hari, tarifnya sekitar 100%, yang disebut tarif sekunder," kata Trump dari Gedung Putih saat bertemu dengan Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte, dikutip dari CNBC International.

Trump mengatakan bahwa dirinya "kecewa" terhadap Putin, karena ia mengira kesepakatan sudah akan tercapai beberapa bulan lalu.

Jika kesepakatan gencatan senjata tidak tercapai pada September, Trump mengancam menerapkan tarif sekunder.

Trump juga mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan mengirim peralatan militer senilai miliaran dolar yang dibeli dari perusahaan AS, didanai oleh negara-negara Eropa, dan dikirimkan kepada sekutu NATO untuk diteruskan ke Ukraina.

Tarif sekunder yang diancamkan Trump akan dikenakan pada negara dan entitas yang membeli ekspor dari Rusia.

Negara-negara yang mengandalkan bahan bakar fosil Rusia, seperti Cina, India, Brasil, dan Turki, bisa terkena dampak besar.

Semenatra itu, Uni Eropa (UE) dikejutkan oleh pernyataan Presiden Trump yang menyatakan akan memberlakukan tarif 30% atas barang-barang impor dari blok tersebut mulai 1 Agustus.

Para pemimpin Eropa segera merespons, menyatakan mereka masih akan berupaya mencapai kesepakatan dengan AS sebelum awal Agustus. UE juga menunda balasan tarif yang dijadwalkan berlaku minggu ini dan memperingatkan bahwa persiapan langkah-langkah balasan tambahan sedang berlangsung.

Meski para pemimpin UE bersikukuh untuk mencapai kesepakatan, para ekonom dan analis memperingatkan bahwa ancaman tarif 30% tersebut telah menambah tekanan pada blok beranggotakan 27 negara itu.

Menanti Data Inflasi AS

Dari negeri Paman Sam, AS akan merilis data inflasi periode Juni 2025 pada Selasa (15/7/2025) waktu AS. Setelah berbulan-bulan mengalami inflasi yang sangat rendah, indeks harga konsumen (IHK), alat pengukur inflasi AS kemungkinan mengalami pertumbuhan harga yang sedikit lebih cepat pada bulan Juni karena perusahaan mulai meneruskan biaya barang impor yang lebih tinggi terkait tarif.

Harga barang dan jasa, tidak termasuk biaya makanan dan energi yang fluktuatif, akan naik 0,3% pada bulan Juni, tertinggi dalam lima bulan, menurut survei Bloomberg terhadap para ekonom. Pada bulan Mei, indeks harga konsumen inti naik tipis 0,1%.

Indeks ini, yang dianggap sebagai indikator inflasi dasar yang lebih baik, diperkirakan akan meningkat secara tahunan untuk pertama kalinya sejak Januari, menjadi 2,9%.

Meskipun laporan hari ini  kemungkinan hanya menunjukkan sedikit lebih banyak pengalihan bea masuk AS yang lebih tinggi, banyak ekonom memperkirakan inflasi akan meningkat secara bertahap seiring berjalannya tahun. Di saat yang sama, banyak pedagang ragu untuk menaikkan harga bagi konsumen Amerika yang menerapkan disiplin belanja yang lebih tinggi di tengah pasar tenaga kerja yang melemah. Ini adalah tindakan penyeimbangan yang rumit.

Angka penjualan ritel pada hari Kamis kemarin, diperkirakan hanya menunjukkan sedikit peningkatan di bulan Juni setelah dua bulan mengalami penurunan. Detail data tersebut, yang terutama mencerminkan pengeluaran untuk barang dagangan, akan membantu para ekonom memperkuat estimasi mereka untuk pertumbuhan ekonomi kuartal kedua.

Meskipun permintaan konsumen telah menurun seiring dengan pasar tenaga kerja, para pejabat The Federal Reserve telah menunda penurunan suku bunga karena kekhawatiran bahwa tarif yang lebih tinggi pada akhirnya akan mempercepat inflasi. Para pembuat kebijakan akan bertemu pada 29-30 Juli.

Trump Vs Jerome Powell Makin Sengit

Pelaku pasar kini juga mencermati ketegangan antara Gedung Putih dan bank sentral AS, setelah penasihat ekonomi Kevin Hassett mengatakan pada akhir pekan bahwa Trump mungkin memiliki alasan untuk memecat Ketua The Fed Jerome Powell, dengan alasan pembengkakan biaya akibat renovasi kantor pusat bank sentral.

Ketua Federal Reserve Jerome Powell meminta Inspektur Jenderal (IG) untuk melakukan peninjauan ulang terhadap anggaran renovasi kantor pusat bank sentral AS yang tengah menjadi bahan perbincangan publik, seiring dengan semakin tajamnya kritik dari pemerintahan Presiden Donald Trump.

Menurut laporan Axios yang dikonfirmasi Reuters pada Minggu (13/7), permintaan tersebut disampaikan Powell kepada Inspektur Jenderal Michael Horowitz akhir pekan lalu. Hal ini merupakan respons atas surat yang dikirimkan Direktur Kantor Manajemen dan Anggaran (OMB), Russell Vought, kepada Powell pada pekan sebelumnya.

Dalam surat tersebut, Vought mengungkapkan bahwa Presiden Trump merasa "sangat terganggu" oleh melonjaknya biaya renovasi yang kini diperkirakan mencapai US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 40 triliun.

The Fed menjelaskan bahwa anggaran itu digunakan untuk melakukan pemugaran menyeluruh terhadap gedung bersejarah Marriner S. Eccles dan bangunan lain di Constitution Avenue, Washington DC, yang telah berdiri hampir 100 tahun.

Perlu diingat, OMB tidak memiliki otoritas langsung atas Federal Reserve karena lembaga tersebut membiayai operasionalnya secara mandiri dan tidak bergantung pada alokasi anggaran dari Kongres.

Berdasarkan Undang-Undang Federal Reserve, pengelolaan aset serta proyek konstruksi berada di bawah wewenang Dewan Gubernur The Fed, dengan pengawasan dari Kongres dan Inspektur Jenderal yang bersifat independen.

Pertumbuhan Ekonomi China

Dari kawasan regional, pada hari ini, China akan merilis data pertumbuhan domestic bruto (PDB) periode kuartal II 2025.

Pertumbuhan PDB China pada kuartal II 2025 diperkirakan sekitar 5,1% (yoy), melambat dari pertumbuhan 5,4% pada Q1. Perlambatan ini diperkirakan disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk dampak ketegangan perdagangan dengan AS, lemahnya permintaan konsumen, dan penurunan harga properti yang terus berlanjut. Meskipun diperkirakan terjadi perlambatan, proyeksi pertumbuhan 5,1% masih melampaui proyeksi 4,7% pada bulan April dan sejalan dengan target resmi untuk setahun penuh sekitar 5%.

Update Neraca Dagang China 

Senin kemarin, Negeri Tirai Bambu ini juga merilis data terkait perkembangan neraca dagang.

China mencatat surplus neraca perdagangan sebesar US$ 114,77 miliar pada Juni 2025, meningkat dari US$ 98,94 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Angka ini juga melampaui ekspektasi pasar yang sebelumnya memproyeksikan surplus di kisaran US$ 109 miliar, seiring dengan laju ekspor yang kembali mengungguli pertumbuhan impor.

Berdasarkan data resmi, ekspor China tumbuh 5,8% secara tahunan (year-on-year/yoy), sedikit di atas proyeksi analis sebesar 5,0% dan lebih tinggi dibanding pertumbuhan 4,8% pada Mei. Peningkatan ekspor tersebut turut didorong oleh meredanya tekanan tarif menjelang tenggat waktu kebijakan perdagangan pada Agustus mendatang.

Sementara itu, impor China naik tipis 1,1% yoy, sedikit di bawah perkiraan pasar sebesar 1,3%. Meski begitu, kinerja ini mencatatkan rebound setelah sebelumnya mengalami kontraksi 3,4% pada Mei, sekaligus menjadi kenaikan impor bulanan pertama sepanjang tahun 2025. Kenaikan ini didukung oleh upaya pemerintah mendorong permintaan domestik melalui berbagai kebijakan stimulus.

Adapun surplus perdagangan China dengan Amerika Serikat juga tercatat melebar menjadi US$ 26,57 miliar pada Juni, naik signifikan dibandingkan US$ 18 miliar pada Mei. Menariknya, baik ekspor maupun impor China dengan AS sama-sama mengalami penurunan, masing-masing sebesar 16,1% dan 15,5% secara tahunan.

Secara kumulatif, sepanjang paruh pertama 2025, China membukukan total surplus perdagangan sebesar US$ 586 miliar. Dalam periode tersebut, ekspor tercatat tumbuh 5,9% yoy, sementara impor masih terkoreksi 3,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

BPS akan mengumumkan profil kemiskinan di Indonesia semester I-2025 dan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia semester I-2025 di kantor pusat BPS, Jakarta Pusat.

Suku Bunga BI


Bank Indonesia (BI) akan menggelar Rapat dewan Gubernur (RDG) pada Selasa dan Rabu pekan ini adan akan mengumumkan kebijakan suku bunga RI pada Rabu (16/7/ 2025). Sebelumnya dalam RDG periode 17-18 Juni 2025, BI memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 5,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 4,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,25%.

Keputusan ini sejalan dengan tetap terjaganya prakiraan inflasi 2025 dan 2026 dalam sasaran 2,5±1%, kestabilan nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamental di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi, serta perlunya untuk tetap turut mendorong pertumbuhan ekonomi.

Data Kemiskinan 


Badan Pusat Statistik (BPS) 
akan mengumumkan profil kemiskinan di Indonesia semester I-2025 dan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia semester I-2025. Pembaharuan data ini kemungkinan akan mengubah perhitungan sebelumnya. Data kemiskinan biasanya akan terbagi menjadi dua periode yakni per Maret dan per September bukan per semester.

Data per Maret akan dirilis pada Juli sementara per September akan diumumkan Januari.

 

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Pertumbuhan ekonomi China periode kuartal II/2025

  • Retail Sales China

  • Tingkat pengangguran China

  • Inflasi AS periode Juni 2025

  • Media briefing bersama Kepala Komunikasi Kepresidenan di Kantor Komunikasi Kepresidenan, Jakarta Pusat.

  • Rapat koordinasi persiapan peluncuran kelembagaan 80 ribu Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang akan diselenggarakan di Ruang Rapat Utama Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Gedung Graha Mandiri, Jakarta Pusat.

  • Ditjen PRL KKP akan menyelenggarakan Rapat Kerja Teknis dengan tema "Tata Ruang Laut untuk Ekonomi Biru Menuju Indonesia Emas" yang akan dihadiri oleh Menteri Kelautan dan Perikanan di Hotel Borobudur Jakarta Pusat.

  • BPS akan mengumumkan profil kemiskinan di Indonesia semester I-2025 dan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia semester I-2025 di kantor pusat BPS, Jakarta Pusat.

  • Rapat Paripurna ke-24 DPR dengan agenda tanggapan pemerintah terhadap pandangan fraksi atas RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN TA 2024 di ruang rapat Paripurna DPR, Senayan, Jakarta Pusat.

  • Rapat kerja antara Badan Anggaran DPR dengan Menteri Keuangan membahas RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN TA 2024 di ruang rapat Banggar DPR, Senayan, Jakarta Pusat.

  • Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR dengan Perum Perumnas dan PTPP di ruang rapat Komisi VI DPR, Senayan, Jakarta Pusat.

  • Kejaksaan Agung memeriksa Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2019-2024) di Gedung Jampidsus Kejagung, Jakarta Selatan.

  • TELKOMSEL menggelar acara SIMPATI TikTok yang akan diadakan di Telkomsel Smart Office, Vertical Garden, Jakarta Selatan. Narasumber antara lain Direktur Utama Telkomsel.

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  • Ex date stock split CUAN dengan rasio 1 : 10

  • Akhir perdagangan right issue WIFI di harga Rp2000

  • Penawaran dimulai untuk tender offer CNTX, INRU, dan MASA

  • RUPS MGLV, CBRE, COCO, RELI, dan PCAR

 

Berikut untuk indikator ekonomi RI :

CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut. 


(tsn/tsn) Next Article Panas! Trump Serang The Fed Habis-habisan, Ada Rapat Genting di BI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular