
Drama 12 Babak Trump vs Powell: Mirip Sinetron!

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell saling melempar komentar dingin saat melakukan kunjungan publik ke proyek renovasi Federal Reserve senilai US$2,5 miliar, Kamis (24/7/2025). Keduanya bertemu dengan wartawan dan berselisih pendapat mengenai jadwal dan biaya proyek tersebut.
Ini merupakan pertemuan publik pertama mereka sejak Trump mengkritik Powell dan Federal Reserve karena menolak menurunkan suku bunga.
Dalam percakapan itu, Trump bergurau bahwa ia akan "sangat senang" jika Powell menurunkan suku bunga-yang memicu sedikit tawa dari para wartawan dan Powell sendiri-kurang dari satu minggu sebelum pertemuan penetapan suku bunga berikutnya, di mana para pembuat kebijakan diperkirakan akan mempertahankan suku bunga tetap.
Kunjungan Trump ke The Fed ini merupakan yang pertama oleh seorang presiden yang sedang menjabat sejak Presiden George W. Bush menghadiri pelantikan Ben Bernanke sebagai ketua pada tahun 2006.
![]() Presiden AS Donald Trump berbicara kepada media selama tur gedung Dewan Federal Reserve, yang saat ini sedang direnovasi, di Washington, D.C., AS, 24 Juli 2025. (REUTERS/Kent Nishimura) |
Perselisihan antara Donald Trump dan Jerome Powell menjadi salah satu episode paling dramatis dalam sejarah hubungan antara Presiden AS dan Ketua The Fed Meski Powell ditunjuk langsung oleh Trump, keduanya justru terlibat dalam perang terbuka yang mengguncang pasar keuangan global antara 2018 hingga awal pandemi.
Sebagai catatan, Jerome Powell resmi dilantik sebagai Ketua The Fed, menggantikan Janet Yellen. Penunjukan ini berasal dari Trump sendiri, namun hubungan keduanya mulai memburuk saat kebijakan The Fed tak sejalan dengan keinginan Trump.
Trump mulai melancarkan kritik terbuka karena The Fed terus menaikkan suku bunga. Pada Desember 2018, Powell menaikkan suku bunga untuk keempat kalinya dalam setahun - langkah yang dianggap Trump sebagai ancaman bagi ekonomi dan pasar saham. Trump pun menyebut: "The Fed has gone crazy."
![]() Presiden AS Donald Trump, Ketua Federal Reserve Jerome Powell, dan Senator AS Tim Scott (R-SC) mengunjungi gedung Dewan Federal Reserve, yang saat ini sedang direnovasi, di Washington, D.C., AS, 24 Juli 2025. (REUTERS/Kent Nishimura) |
Tensi antara Trump dengan Powell, kembali menjadi sorotan dan kali ini lebih dari sekedar perselisihan politik pada Juli tahun ini. Perseteruan ini memiliki implikasi nyata bagi kebijakan moneter, stabilitas pasar, dan kepercayaan investor.
Sejarah Ketegangan Trump dan Powell
Ketegangan antara Donald Trump dan Jerome Powell sudah dimulai jauh di era perdana kepresidenan Trump. Senat AS menyetujui penunjukan Powell sebagai gubernur bank sentra AS, Federal Reserve, pada 23 Januari 2018.
Powell ditunjuk langsung oleh Trump sebagai Ketua The Federal Reserve (The Fed) pada 2018, saat Trump menjalani masa jabatan pertamanya sebagai Presiden Amerika Serikat.
Jika ditelusuri sejak awal penunjukan hingga Juli maka perselisihan keduanya sudah mencuat berkali-kali bahkan mencapai 12 periode atau babak tertentu.
Konflik mulai mencuat ketika Powell menaikkan suku bunga acuan The Fed, langkah yang dianggap Trump sebagai hal yang bertentangan dengan agendanya yang berfokus pada percepatan pertumbuhan ekonomi AS. Sejak saat itu, Trump mulai secara terbuka melontarkan kritik terhadap Powell.
Trump bahkan sempat menyarankan agar Powell diberhentikan dari jabatannya. Itu merupakan sebuah usulan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap seorang pimpinan bank sentral AS.
Melalui media sosial dan berbagai wawancara televisi, Trump menuduh kebijakan moneter The Fed justru menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Trump kemudian mendesak agar suku bunga diturunkan ke level yang lebih rendah guna mendorong pasar dan memperkuat ekonomi domestik.
Powell pun merespons tekanan tersebut dengan menegaskan komitmen The Fed terhadap independensinya. Powell menyatakan bahwa semua kebijakan yang diambil telah berbasis pada data ekonomi yang tersedia, bukan atas dasar tekanan politik.
Ketegangan kembali memuncak pada April 2025 lebih tepatnya 16 April, Powell memperingatkan bahwa kebijakan tarif baru yang diusulkan oleh Trump berpotensi menyebabkan stagflasi, situasi di mana terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan lonjakan inflasi.
Menurut Powell, kondisi ini akan semakin menyulitkan tugas The Fed dalam menurunkan inflasi sekaligus menjaga penciptaan lapangan kerja.
Trump yang terkenal tak kenal kompromi membalas melalui unggahan di media sosial miliknya, Truth Social. Dalam cuitannya, Trump menyerukan pemecatan Jerome Powell dan menyebutnya sebagai "selalu terlambat dan salah".
Situasi kian memanas setelah The Fed memutuskan untuk kembali menahan suku bunga di kisaran 4,25%-4,5%, serta menolak mengikuti langkah Bank Sentral Eropa (ECB) yang lebih dulu memangkas suku bunga.
Keputusan ini memperdalam perbedaan pandangan antara Trump dan Powell, sekaligus memunculkan kekhawatiran akan campur tangan politik dalam kebijakan moneter AS menjelang pemilu.
Ancaman terhadap Independensi The Fed?
Donald Trump bukanlah politisi pertama yang menjadikan bank sentral sebagai kambing hitam saat menghadapi gejolak ekonomi, atau yang secara terbuka mendesak penurunan suku bunga.
Trump juga bukan satu-satunya tokoh yang pernah mengkritik Jerome Powell, terutama atas keputusannya yang sempat menganggap inflasi pasca pandemi sebagai fenomena "sementara", serta kecenderungannya terlalu bergantung pada data historis dalam pengambilan kebijakan.
Namun demikian, tekanan Trump terhadap The Federal Reserve dinilai telah melampaui batas kewajaran. Sikap ini bertentangan dengan tradisi di Washington selama beberapa dekade terakhir, di mana presiden umumnya menghormati independensi bank sentral.
Perbandingan pun mulai muncul dengan era Presiden Richard Nixon, yang pada pemilu 1972 diduga menekan Ketua The Fed kala itu untuk melonggarkan kebijakan moneter demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi jelang pemilihan.
Kebijakan tersebut justru dituding sebagai pemicu krisis stagflasi yang membayangi ekonomi AS di dekade 1970-an.
Gagasan bahwa Trump dapat mengendalikan The Fed telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan banyak ekonom. Sejarah mencatat berbagai contoh negara di mana campur tangan politik terhadap bank sentral berujung pada lonjakan inflasi dan keruntuhan ekonomi.
Sarah Binder, profesor di Universitas George Washington dan pakar kebijakan The Fed, menegaskan bahwa kepercayaan terhadap independensi bank sentral merupakan fondasi penting dalam menjaga ekspektasi pasar terhadap pengendalian inflasi.
"Jika kepercayaan itu terguncang, maka konsekuensinya adalah peningkatan biaya pinjaman bagi semua pihak. Investor akan menuntut imbal hasil lebih tinggi untuk memegang surat utang negara," jelasnya. Ia juga menambahkan bahwa jika The Fed nantinya memangkas suku bunga, langkah itu akan dibayangi spekulasi tentang kemungkinan pengaruh politik dari Trump, terlepas dari ada atau tidaknya intervensi langsung.
"Pada akhirnya, itulah inti persoalannya persepsi terhadap independensi. Serangan-serangan terhadap The Fed merusak persepsi tersebut, dan menimbulkan keraguan apakah The Fed dapat tetap seteguh yang diharapkan oleh para bankir sentral," ujar binder dikutip dari bbc.
Bisakah Trump Memecat Powell?
Pertanyaan mengenai apakah Presiden AS memiliki kewenangan untuk memecat Ketua The Fed kembali mencuat di tengah ketegangan antara Donald Trump dan Jerome Powell.
Joe Lavorgna, Kepala Ekonom di SMBC Nikko Securities yang pernah bertugas di Dewan Ekonomi Nasional pada masa jabatan pertama Trump, menyebut bahwa Trump tidak perlu menahan diri dalam kritiknya terhadap The Fed. Ia menyatakan bahwa Trump menyampaikan "argumen makro yang sangat klasik" terkait kelemahan bank sentral tersebut.
"Saya sepenuhnya setuju dengan simpati atau komentar Presiden bahwa The Fed secara historis sering terlambat dalam merespons kondisi ekonomi," ujar Lavorgna.
Dia menambahkan bahwa penurunan pasar saham saat ini justru lebih dipengaruhi oleh ketidakpastian atas kebijakan perdagangan, bukan oleh kebijakan suku bunga semata.
Lavorgna meyakini bahwa pejabat The Fed tetap akan lebih responsif terhadap kondisi keuangan ketimbang tekanan politik. Namun, ia memperingatkan bahwa tekanan berlebihan dari Trump justru bisa membuat The Fed enggan memangkas suku bunga demi menjaga citra independensinya.
"Pada akhirnya, The Fed akan melakukan apa yang dianggap bijaksana," katanya. "Pertanyaannya hanya soal waktu," tambah Lavorgna dikuting dari bbc.
Sementara itu, Powell yang merupakan seorang pengacara berpengalaman di Washington menegaskan bahwa ia tidak terganggu oleh kritik Trump dan menolak anggapan bahwa presiden memiliki wewenang untuk memberhentikannya. Masa jabatan Powell sebagai Ketua The Fed sendiri akan berakhir tahun depan.
Secara hukum, seorang gubernur The Fed hanya bisa diberhentikan "karena suatu alasan" (for cause). Namun, hingga kini belum ada kejelasan apakah perlindungan tersebut juga berlaku untuk peran Powell sebagai Ketua Dewan Gubernur, bukan hanya sebagai anggota dewan.
Pemerintahan AS sebelumnya telah mengambil langkah untuk mengurangi kekuasaan lembaga independen seperti The Fed, serta memperluas wewenang presiden terhadap institusi-institusi yang dirancang dengan perlindungan hukum terhadap tekanan politik.
Mark Spindel, pendiri dan Chief Investment Officer di Potomac River Capital, yang juga bekerja sama dengan profesor Sarah Binder dalam studi terkait independensi The Fed, hasilnya mencatat bahwa konsep independensi bank sentral adalah sesuatu yang terus berkembang dan sering kali sebagai respons terhadap krisis politik atau ekonomi.
"Segala sesuatu yang diberikan bisa saja diambil kembali," ujarnya, hanya beberapa jam sebelum Trump mengindikasikan sikapnya mulai melunak dikutip dari BBC.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
