
Pasar Kripto Berdarah! Ini 3 Perampokan Digital Terkejam

Jakarta, CNBC Indonesia - Teknologi di balik jaringan pasar kripto sering dianggap sebagai kotak hitam yang misterius. Namun, misteri tersebut tak menghalangi banyaknya penipuan dan aksi kriminalitas dibalik transaksi kripto.
Beberapa pencurian digital terbesar tidak mengandalkan serangan brute-force, melainkan memanfaatkan celah terlemah dalam keamanan yakni kepercayaan manusia.
Brute-force adalah metode hacking atau peretasan yang mencoba semua kemungkinan kombinasi secara sistematis hingga menemukan jawaban yang benar. Ini seperti membuka gembok dengan cara mencoba semua kombinasi angka satu per satu sampai berhasil.
Grafik ini, yang dibuat bekerja sama dengan Inigo Insurance, menggambarkan 10 pencurian digital terbesar di seluruh dunia.
3 Perampokan Kripto Terbesar
Pada 21 Februari 2025, sekelompok peretas yang didukung pemerintah Korea Utara melakukan perampokan kripto terbesar hingga saat ini, mencuri US$1,5 miliar dalam bentuk token ethereum dari bursa kripto berbasis Dubai, ByBit. Skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya ini menyoroti meningkatnya kecanggihan kejahatan siber yang didukung negara.
Kemudian pada 2022, peretas menyusup ke Ronin Network, platform blockchain yang terhubung dengan game populer Axie Infinity dan mencuri US$540 juta dalam bentuk kripto.
Mereka dilaporkan mendapatkan akses ke password pribadi, memungkinkan mereka menarik dana tanpa terdeteksi. Peretasan kedua dalam peringkat ini menunjukkan kerentanan serius dalam infrastruktur terdesentralisasi.
Penipuan kripto terbesar ketiga terjadi pada 2018, ketika peretas menguras $530 juta dari bursa kripto berbasis Jepang, Coincheck. Pelanggaran awal ini menjadi peringatan akan bahaya yang mengintai seiring pertumbuhan pasar kripto.
Perampokan FTX
Meskipun bukan pencurian terbesar berdasarkan nilai, keruntuhan FTX tetap menjadi salah satu peristiwa paling terkenal dalam sejarah kripto. Saat bursa tersebut berada di ambang kebangkrutan pada tahun 2022, peretas berhasil mencari celah dalam keruntuhan dan menyedot $477 juta dana dari bursa.
Awalnya, spekulasi beredar tentang kemungkinan keterlibatan pihak dalam, termasuk keterlibatan CEO dari FTX sendiri, Sam Bankman-Fried. Namun, otoritas AS kemudian menyorotkan lampu dakwaan kepada tiga individu-Robert Powell, Carter Rohn, dan Emily Hernandez akibat peran mereka dalam mengoperasikan jaringan kejahatan siber yang diduga berada di balik peretasan tersebut.
Dunia kripto sangatlah rentan terhadap serangan siber karena bergantung pada sistem terdesentralisasi dengan pengawasan terbatas, sehingga lebih sulit untuk mendeteksi dan merespons jika ada pelanggaran.
Pengguna kripto mengelola password pribadi mereka sendiri, kemudian jika kunci ini terekspos, dana berpotensi hilang secara permanen. Selain itu, pesatnya inovasi sering kali melampaui kemampuan protokol keamanan, menciptakan celah yang dapat dieksploitasi oleh hacker.
CNBCÂ INDONESIA RESEARCH
[email protected]
Â
(mae/mae)