
Mimpi Mata Uang BRICS: Belum Lahir, Sudah Sekarat

Jakarta, CNBC Indonesia - Harapan negara-negara BRICS untuk melahirkan mata uang bersama kembali menemui jalan buntu. Setelah lebih dari satu dekade wacana bergulir, BRICS kembali gagal membentuk sistem pembayaran lintas batas untuk perdagangan dan investasi, yang menjadi prasyarat utama lahirnya mata uang baru.
Dalam beberapa tahun terakhir, BRICS sangat gencar menyuarakan isu dedolarisasi. BRICS bahkan sempat mengisyaratkan kemungkinan peluncuran mata uang digital pemersatu sebagai alternatif terhadap dominasi dolar Amerika Serikat (AS) dan sistem pembayaran global dari negara Barat seperti Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT).
Dorongan untuk membuat mata uang sendiri semakin kuat setelah AS dan sekutunya membekukan aset Rusia senilai lebih dari US$300 miliar sebagai sanksi atas invasi ke Ukraina. Kejadian itu menjadi titik balik penting yang menunjukkan risiko dominasi dolar dan ketergantungan pada sistem keuangan Barat.
Namun, hambatan teknis dan struktural membuat proyek ini kembali tertunda. Meski semua anggota BRICS mendukung pembayaran lintas batas, realisasinya sulit tercapai dalam waktu dekat. Sistem bank sentral antarnegara belum terintegrasi, mekanisme pembayaran belum disepakati, infrastruktur teknis belum siap, dan masih ada perdebatan soal pembagian biaya serta keamanan sistem.
Ide ini pertama kali dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)BRICS 2015. Namun hingga kini, mimpi membangun mata uang BRICS justru tampak mati sebelum sempat terbit.
Mata Uang Masih Jadi Tanda Tanya
Negara-negara BRICS kembali gagal membuat kemajuan signifikan dalam sistem pembayaran lintas batas untuk perdagangan dan investasi yang telah mereka bahas selama satu dekade terakhir.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis saat mereka memulai pertemuan di Brasil pada Minggu, para pemimpin BRICS menyatakan komitmen mereka untuk melanjutkan pembahasan mengenai potensi integrasi perdagangan yang lebih besar di blok yang kini beranggotakan 10 negara.
"Kami menugaskan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral, sesuai kewenangan masing-masing, untuk melanjutkan diskusi mengenai Inisiatif Pembayaran Lintas Batas BRICS," bunyi pernyataan tersebut.
Meskipun kelompok BRICS memiliki aspirasi besar, kemajuan yang dicapai sejauh ini berjalan lambat sedangkan arus perdagangan global berubah begitu cepat sehingga mungkin mustahil untuk mengejar ketertinggalan.
Perkembangan saat ini menjadi peluang yang terlewatkan bagi BRICS, di tengah tekanan yang terus menerpa dolar AS akibat kebijakan Presiden Donald Trump yang tidak menentu.
Dolar mencatat kinerja awal tahun terburuk sejak 1973, seiring perang dagang dan serangan Trump terhadap sikap Federal Reserve yang enggan menurunkan suku bunga mengguncang pasar, memunculkan keraguan terhadap kinerja aset-aset AS yang selama ini unggul, dan mendorong investor mencari alternatif.
Kondisi ini menjadi berkah bagi pasar negara berkembang, dan para pelaku pasar memperkirakan tren ini akan terus berlanjut.
Meski semua anggota mendukung gagasan sistem pembayaran lintas batas aspek teknis integrasinya sangat kompleks. Sistem bank sentral di beberapa negara belum siap, menurut tiga sumber yang mengetahui diskusi tersebut.
Diperlukan waktu untuk menyesuaikan sistem tersebut, dan mereka menambahkan bahwa kemungkinan besar hal ini tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Hambatan Mata Uang BRICS
Diskusi mencakup mekanisme pembayaran, jenis mata uang yang digunakan, bagaimana membangun infrastruktur, dan bagaimana pembagian biaya. Ada juga kekhawatiran keamanan terkait sistem terintegrasi, menurut dua sumber, dan perluasan keanggotaan BRICS baru-baru ini juga menyebabkan penundaan.
Fakta bahwa beberapa mata uang anggota BRICS tidak dapat dikonversi secara bebas, serta adanya sanksi terhadap anggota seperti Iran dan Rusia, semakin memperumit diskusi.
Sementara itu, beberapa negara berpendapat bahwa biaya membangun dan memelihara sistem terpadu tidak sebanding dengan manfaatnya, mengingat mereka telah memiliki perdagangan bilateral yang cukup mapan. Semua sumber tersebut meminta agar identitas mereka tidak diungkap karena membagikan isi pembicaraan bersifat pribadi.
China, misalnya, memanfaatkan kekacauan di AS dan meluncurkan kampanye besar-besaran untuk mempromosikan peran global yuan. Dalam pidatonya bulan lalu, Gubernur Bank Sentral China Pan Gongsheng memaparkan visi di mana pasar keuangan China lebih terbuka dan yuan memainkan peran sentral dalam aliran modal dunia.
Beijing juga tengah menjajaki peluncuran kontrak berjangka mata uang domestik pertama, yang dapat bersaing dengan instrumen lindung nilai serupa di pasar luar negeri seperti Singapura dan Chicago. Selain itu, mereka memperluas sistem pembayarannya sendiri, CIPS (Cross-Border Interbank Payment System), agar mencakup lebih banyak bank asing.
Jika pasar likuid tersedia, "Anda akan memiliki nilai tukar langsung real-renminbi, real-rupee, real-rand," kata Rosito. "Namun hal ini akan bergantung pada apakah Anda memiliki massa kritis dan volume perdagangan serta investasi yang memadai."
Suku Bunga Tinggi
Pernyataan BRICS juga menyinggung tantangan tambahan yang ditimbulkan oleh fluktuasi kebijakan keuangan dan moneter di beberapa negara maju bagi negara-negara yang sudah menghadapi tingkat utang yang tinggi.
"Suku bunga yang tinggi dan kondisi pembiayaan yang lebih ketat memperburuk kerentanan utang di banyak negara," bunyi pernyataan tersebut.
Blok ini juga sedang dalam pembahasan untuk membentuk inisiatif jaminan multilateral yang berfokus pada peningkatan kredibilitas kredit di negara-negara BRICS dan Global South."
Inisiatif ini, yang diberi nama BMG (Brics Multilateral Guarantees), akan diinkubasi dalam New Development Bank (NDB) dan akan dimulai tanpa tambahan kontribusi modal, menurut pernyataan tersebut.
BRICS Masih Fokus Pada Mata Uang Lokal
Di tengah berhentinya wacana pembentukan mata uang bersama, negara-negara BRICS menegaskan tentang komitmen mereka untuk memperluas penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan dan pembiayaan lintas negara.
Para pemimpin BRICS menekankan pentingnya diversifikasi sumber pendanaan serta penguatan kerja sama perdagangan guna mendorong pertumbuhan yang inklusif dan pembangunan berkelanjutan. Mereka sepakat bahwa penggunaan mata uang lokal menjadi langkah strategis dalam memperkuat ketahanan ekonomi kawasan.
Menurut Tatiana Rosito, Sekretaris Hubungan Internasional di Kementerian Keuangan Brasil, "Salah satu cara untuk mendekatkan negara-negara adalah dengan mengurangi biaya pembiayaan perdagangan, dan salah satunya adalah dengan menggunakan lebih banyak mata uang lokal," ujarnya dikutip dari Business Standard.
Selain itu, pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang mengancam akan menaikkan pajak bagi negara-negara BRICS jika mereka meninggalkan dolar dalam perdagangan bilateral.
Penolakan ini, telah menyebabkan minta untuk mengembangkan sistem pembayaran lokal dan instrument lain yang dapat memfasilitasi perdagangan dan investasi antar negara BRICS.
Tujuan Awal Pembentukan Mata Uang BRICS
Salah satu tujuan utama pembentukan mata uang BRICS sejak awal adalah untuk mengurangi ketergantungan pada dolar Amerika Serikat (AS), yang selama ini mendominasi sistem keuangan global.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2024 yang digelar di Kazan, Rusia, Presiden Vladimir Putin secara terbuka menyerukan dibentuknya sistem pembayaran internasional alternatif. Putin menyebut bahwa dolar AS telah digunakan sebagai alat tekanan politik oleh pemerintah Amerika Serikat.
"Dolar digunakan sebagai senjata. Kami benar-benar melihat bahwa memang demikian. Saya pikir ini adalah kesalahan besar oleh mereka yang melakukan ini," ujar Putin, dikutip dari The Guardian, Kamis (24/10/2024).
Wacana ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik dan sanksi ekonomi dari Barat terhadap sejumlah anggota BRICS, terutama Rusia.
Sebagai respons, negara-negara BRICS mulai mendorong penciptaan sistem keuangan mandiri dan pembentukan mata uang bersama sebagai langkah strategis untuk menciptakan tatanan ekonomi multipolar.
Hingga kini, dolar AS masih menjadi mata uang cadangan devisa global paling dominan. Berdasarkan data International Monetary Fund (IMF), sekitar 58,22% dari total cadangan devisa global masih dalam bentuk dolar AS. Hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh dolar dalam sistem keuangan dunia, sekaligus menjadi tantangan besar bagi BRICS dalam mewujudkan mata uang tandingan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)