Newsletter

Pekan Genting: Adu Kuat Sentimen Tarif Trump & Pembuktian Prabowo

Revo M, CNBC Indonesia
03 February 2025 06:15
Foto Kolase Presiden AS, Donald Trump dan Presiden RI Prabowo Subianto.
Foto: Foto Kolase Presiden AS, Donald Trump dan Presiden RI Prabowo Subianto. (AP Photo)
  • Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam pada akhir pekan lalu di mana IHSG dan rupiah menguat tetapi harga SBN turun
  • Wall Street kompak ambruk pada akhir pekan lalu
  • Data inflasi, pertumbuhan ekonomi hingga PMI Global akan menjadi penggerak sentimen pasar pekan ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada Jumat (31/01/2025). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami kenaikan, sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) justru tampak melemah. Sedangkan Surat Berharga Negara (SBN) juga tampak dijual investor.

Pasar keuangan domestik hari ini Senin (03/02/2025) diperkirakan akan bergerak cukup volatil di tengah berbagai sentimen khususnya dari dalam negeri yang dapat langsung berdampak pada pasar keuangan. Selengkapnya mengenai sentimen pasar pekan ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

Pada penutupan perdagangan Jumat pekan lalu (31/1/2025), IHSG ditutup menguat 0,50% ke posisi 7.109,19. Posisi IHSG saat ini telah kembali bergerak di atas level psikologis 7.100 yang sebelumnya pada 30 Januari 2025 berada di bawah level tersebut.

Kendati mengalami apresiasi, IHSG selama sepekan kemarin cenderung melemah sebesar 0,79%. Hal ini berbeda dengan performa pekan sebelumnya yang tampak menguat sebesar 0,16%.

Sepanjang pekan lalu, asing terpantau melakukan penjualan sebesar Rp100,32 miliar. Angka ini lebih kecil dibandingkan pekan sebelumnya yang terpantau net sell sebesar Rp919,91 miliar.

Sementara secara sektoral (31/01/2025), sektor Consumer Non-Cyclical menguat paling signifikan yakni sebesar 1,02%, Financials naik 0,9%, begitu pula dengan Energy yang menguat 0,72%.

Sedangkan sektor Infrastructures, Consumer Cyclicals, dan Basic Materials masing-masing mengalami depresiasi sebesar 1,3%, 0,72%, dan 0,34%.

Di saat yang bersamaan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengakhiri perdagangan pada akhir pekan lalu di posisi Rp16.295/US$, dalam sehari melemah 0,25%, begitu pula dalam sepekan terakhir, rupiah tampak terdepresiasi sebesar 0,77%.

Tekanan terhadap rupiah di pekan lalu terus terjadi khususnya setelah bank sentral AS (The Fed) memutuskan untuk tidak melanjutkan pemangkasan suku bunganya yang telah dilakukan selama tiga pertemuan sebelumnya dengan total 100 basis poin (bps).

The Fed juga mengisyaratkan akan menahan suku bunga dalam waktu lama dengan menegaskan tidak akan terburu-buru memotong suku bunga. The Fed hanya menegaskan jika keputusan suku bunga ke depan akan sangat ditentukan oleh perkembangan data ekonomi.

Keputusan The Fed ini juga berbanding terbalik dengan keinginan Trump yang menginginkan suku bunga rendah.

"Kami merasa tidak perlu terburu-buru untuk melakukan penyesuaian apa pun. Saat ini, kami merasa kami berada di posisi yang sangat baik. Kebijakan ini sudah diposisikan dengan baik dan ekonomi berada dalam posisi yang cukup baik." tutur Chairman The Fed Jerome Powell dalam konferensi pers usai menggelar rapat FOMC, dikutip dari CNN International.

Keputusan bulat untuk mempertahankan suku bunga acuan dalam kisaran 4,25-4,50% saat ini, ditambah dengan pernyataan baru Jerome Powell, membuat The Fed berhati-hati menantikan data inflasi dan ketenagakerjaan lebih lanjut serta kejelasan tentang dampak kebijakan Presiden AS, Donald Trump.

Tidak sampai di situ, data transaksi dari Bank Indonesia (BI) pada 30 Januari 2025 juga menunjukkan investor asing melakukan aksi jual neto sebesar Rp0,82 triliun, terdiri dari jual neto sebesar Rp0,40 triliun di pasar saham, jual neto Rp0,43 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), dan beli neto Rp5 miliar di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Selanjutnya, beralih pada imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) yang bertenor 10 tahun terpantau mengalami kenaikan menjadi 6,984% pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Kenaikan imbal hasil ini selaras dengan 30 Januari 2025 yang juga tercatat naik sebesar 0,13%.

Perlu diketahui, hubungan yield dan harga pada SBN ini berbanding terbalik, artinya ketika yield naik berarti harga obligasi turun, hal ini menunjukkan investor yang kembali menjual SBN.

Pada penutupan perdagangan Jumat lalu, bursa Wall Street tampak mengalami pelemahan baik S&P500, Dow Jones Industrial Average, maupun Nasdaq Composite pasca tarif agresif Presiden Donald Trump terhadap mitra dagang utama AS akan mulai berlaku.

Dilansir dari CNBC International, Indeks S&P 500 turun 0,5% dan ditutup pada 6.040,53, sementara Dow Jones Industrial Average anjlok 337,47 poin, atau 0,75%, dipicu oleh penurunan saham Chevron. Dow, yang terdiri dari 30 saham, mengakhiri sesi di 44.544,66. Sementara itu, Nasdaq Composite, yang berfokus pada teknologi, melemah 0,28% menjadi 19.627,44.

Saham-saham kehilangan keuntungan awalnya setelah sekretaris pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengumumkan pada Jumat sore bahwa tarif presiden akan tersedia untuk pemeriksaan publik. Trump akan memberlakukan tarif 25% terhadap Kanada dan Meksiko, serta bea masuk 10% terhadap China.

Pada titik tertingginya dalam sesi perdagangan, Dow sempat naik lebih dari 170 poin. Beberapa saham yang memiliki eksposur ke pasar-pasar tersebut bereaksi, seperti Constellation Brands, produsen bir Corona, dan jaringan restoran makanan Meksiko Chipotle, yang masing-masing turun hampir 2% dan 1% setelah berita tersebut.

"Ini sangat mirip dengan yang kita lihat pada hari Senin dengan DeepSeek, bukan? Jadi ada berita, dan reaksi pertama adalah menjual," kata Tom Hainlin, ahli strategi investasi senior di U.S. Bank Asset Management Group.

"Ada reaksi awal terhadap berita utama mengenai tarif. Kami tidak memiliki detailnya-berapa persennya, apakah bersifat sementara atau permanen, serta respons yang mungkin muncul dari Kanada, Meksiko, atau China. Pandangan kami adalah menunggu dan melihat ketika kebijakan benar-benar diterapkan," tambahnya.

Investor juga menaruh perhatian pada Apple, yang melampaui ekspektasi kuartal pertama fiskal. Meskipun Apple melaporkan penjualan iPhone yang mengecewakan, pendapatan dari layanan tampaknya menjadi sorotan. Saham Apple turun 0,7% pada akhir sesi. Sementara itu, saham Chevron dan Exxon Mobil masing-masing turun 4,6% dan 2,5% akibat laporan hasil kuartal keempat yang mengecewakan.

Aksi pasar pada hari Jumat terjadi setelah sesi perdagangan yang bergejolak tetapi menguntungkan bagi tiga indeks utama. Teknologi telah menjadi fokus utama investor minggu ini, terutama setelah aksi jual besar-besaran pada hari Senin yang dipicu oleh perkembangan dari startup kecerdasan buatan China, DeepSeek, serta laporan pendapatan dari perusahaan-perusahaan utama dalam beberapa hari terakhir.

"Saya pikir aksi jual besar-besaran itu berlebihan," kata Jay Hatfield, CEO Infrastructure Capital Advisors. "Kepanikan terkait DeepSeek mulai mereda. Kami pikir itu akan semakin mereda dengan laporan keuangan dari Amazon dan Google minggu depan, serta Nvidia yang akan melaporkan kemudian. Kami optimistis mengenai hal itu."

Rilis data indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) bulan Desember-indikator inflasi favorit Federal Reserve-menunjukkan kenaikan 0,3% dari November dan tingkat tahunan sebesar 2,6%. Meskipun kenaikan tahunan ini sesuai dengan ekspektasi para ekonom, angka tersebut menandai percepatan dari tingkat bulan sebelumnya yang sebesar 2,4%, yang menimbulkan kekhawatiran bahwa inflasi tetap tinggi. Jika tidak termasuk makanan dan energi, PCE inti juga meningkat 0,2% secara bulanan dan 2,8% secara tahunan.

Pasar keuangan akan menghadapi pekan yang penuh dengan sentimen ekonomi domestik dan global. Dari dalam negeri, pengumuman data pertumbuhan ekonomi 2024, Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur, serta data Indeks Harga Konsumen (IHK) akan menjadi perhatian utama. Sementara dari eksternal, Non-Farm Payroll (NFP) di akhir pekan ini akan menjadi data yang ditunggu pelaku pasar.

Pidato sejumlah pejabat bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) serta tarif perdagangan dari Donald Trump juga akan menjadi katalis utama bagi pergerakan pasar global pekan ini.

Seperti diketahui, Wakil Ketua The Fed Philip N. Jefferson akan berbicara pada Economics Department Special Lecture, Lafayette College, Easton, Pennsylvania, Gubernur Michelle W. Bowman akan berbicara pada Kansas Bankers Association Harold A. Stones Government Relations Conference.

IHK Indonesia Periode Januari 2025

Badan Pusat akan mengumumkan data inflasi Januari 2025 pada hari ini, Senin (03/02/2025) dan inflasi kali ini tampaknya akan dipicu kenaikan harga cabai, rokok, serta bahan bakar minyak (BBM) non subsidi.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan Indeks Harga Konsumen (IHK) diproyeksi akan naik atau mengalami inflasi secara bulanan (month to month/mtm) sebesar 0,30% pada Januari 2025. Sementara secara tahunan (year on year/yoy), inflasi diproyeksi akan menembus 1,85%.

Konsensus CNBC Indonesia juga memperkirakan inflasi inti pada Januari 2025 akan berada di 2,27% (yoy)

Sebagai catatan, inflasi Desember 2024 tercatat 0,44% (mtm) dan secara tahunan mencapai 1,57%.

Kepala ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, menjelaskan inflasi Januari akan didorong oleh kelompok bahan pangan, terutama cabai dan bawang.
"Harga BBM pada Januari juga naik," tutur Andry, kepada CNBC Indonesia.

Sebagai catatan, Badan Usaha penyedia Bahan Bakar Minyak (BBM), yakni PT Pertamina (Persero), Shell Indonesia, BP-AKR kompak menaikkan harga produk BBM-nya di seluruh SPBU yang ada di Indonesia. Penyesuaian harga tersebut berlaku mulai 1 Januari 2025.

Harga BBM non subsidi jenis Pertamax (RON 92), Pertamax Green 95 (RON 95), Pertamax Turbo (RON 98), Dexlite, dan Pertamina Dex resmi mengalami kenaikan harga per 1 Januari 2025.

Ekonom Bank Danamon, Hosianna situmorang, menjelaskan inflasi disebabkan faktor musiman yang mempengaruhi harga barang.

PMI Manufaktur Januari 2025

Masih pada hari yang sama, S&P Global akan merilis data PMI Manufaktur periode Januari 2025.

Seperti diketahui, data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 51,2 pada Desember 2024. Angka ini memastikan PMI Indonesia kembali ke jalur ekspansif setelah terkontraksi selama lima bulan.

Seperti diketahui, PMI Manufaktur Indonesia mengalami kontraksi selama lima bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9), September (49,2), Oktober (49,2), dan November 2024 (49,6).

Ini menandai pertumbuhan pertama dalam aktivitas manufaktur sejak Juni, dengan output yang tumbuh secara moderat tetapi lebih cepat dibandingkan November.

Selain itu, pesanan baru meningkat untuk pertama kalinya dalam enam bulan, sementara penjualan ke luar negeri naik tipis, menandai kenaikan pertama dalam hampir satu tahun. Tingkat pembelian meningkat untuk bulan kedua berturut-turut, mencapai kenaikan terkuat sejak Mei.

Di sisi ketenagakerjaan, jumlah staf mengalami peningkatan bersih pertama dalam tiga bulan, meskipun hanya tumbuh sedikit, yang menyebabkan kenaikan moderat dalam pekerjaan yang belum terselesaikan untuk pertama kalinya sejak Mei.

Dari sisi harga, inflasi biaya input tetap tinggi akibat dolar yang kuat, meskipun masih di bawah rata-rata survei. Performa vendor memburuk untuk pertama kalinya dalam tiga bulan, mencerminkan beberapa tekanan pasokan.

Harga jual naik untuk bulan ketiga berturut-turut, dengan tingkat inflasi tertinggi sejak Agustus. Terakhir, sentimen pasar tetap optimis, didorong oleh harapan akan stabilitas makroekonomi yang lebih baik.

Tidak sampai di situ, China hingga Amerika Serikat juga akan merilis data PMI Manufaktur mereka pekan ini.

Dari AS, S&P Global Manufacturing PMI Final Januari dan ISM Manufacturing PMI akan menjadi perhatian pasar. ISM Manufacturing PMI sebelumnya di level 49,3, sedikit di bawah ekspektasi 49,5, yang mencerminkan masih lemahnya sektor manufaktur AS.

PDB Kuartal IV & Full Year 2024 Indonesia

Pada Rabu (05/02/2025), BPS akan merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal IV-2024 dan setahun penuh 2024. Pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2024 dan tahun penuh 2024 ini sangat penting bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Data pertumbuhan ini menjadi kunci untuk melihat momentum ekonomi domestik serta modal bagi Prabowo dalam menggapai ambisi pertumbuhan 8%.

Data tersebut juga akan mencerminkan seberapa besar dampak pelemahan daya beli pada Oktober-Desember 2024 berpengaruh ke ekonomi.Kuartal IV 2024 juga menjadi pembuktian seberapa besar dampak kepemimpinan awal Prabowo kepada pertumbuhan ekonomi.

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2024 akan mencapai 5,01% secara tahunan (year on year/YoY). Angka tersebut lebih tinggi dari realisasi kuartal III-2024 yang sebesar 4,95%, tetapi lebih rendah dari kuartal IV-2023 yang mencapai 5,04%.

NFP & Unemployment Rate Amerika Serikat

Laporan ketenagakerjaan Non-Farm Payrolls (NFP) Januari akan menjadi kunci bagi arah kebijakan The Fed. Konsensus memperkirakan NFP berada di 170.000, menurun dari 256.000 di bulan sebelumnya. Sementara tingkat pengangguran diproyeksikan stabil di 4,1%.

Untuk diketahui, secara keseluruhan sepanjang 2024, total lapangan kerja bertambah 2,2 juta, dengan rata-rata kenaikan bulanan 186.000 pekerjaan. Angka ini lebih rendah dibandingkan 3,0 juta pekerjaan yang tercipta pada 2023, dengan rata-rata bulanan 251.000.

Kendati pertumbuhan lapangan kerja melambat dibandingkan tahun sebelumnya, angka ini tetap mencerminkan pasar tenaga kerja yang kuat dan stabil.

Tarif Trump

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akhirnya menerapkan kenaikan tarif impor yang telah lama direncanakannya atas barang-barang dari Kanada, Meksiko, dan China. Tarif tersebut diharapkan mulai berlaku pada Selasa, 4 Februari 2025.
Pada hari Sabtu (01/02/2025), Trump menandatangani perintah yang mengenakan tarif sebesar 25% atas impor dari Meksiko dan Kanada, serta bea masuk sebesar 10% atas produk China.

Sementara itu, sumber daya energi dari Kanada akan menerima tarif sebesar 10%. Sebagai catatan, nilai perdagangan AS dan tiga negara ini mencapai total US$ 1,6 triliun per tahun.

Untuk diketahui, tarif adalah bea yang dikenakan pada barang asing yang dibayar oleh importir AS. Para ekonom secara umum menentang kebijakan tarif ini, dengan alasan bahwa tarif mengakibatkan harga yang lebih tinggi bagi konsumen dalam negeri.

Namun, Trump telah lama mempromosikan tarif sebagai cara untuk menegosiasikan kesepakatan yang lebih baik dengan mitra dagang AS. Dia pun menegaskan kebijakan ini dilakukan demi melindungi industri dalam negeri dari persaingan asing, dan mendapatkan pendapatan.

Di Ruang Oval pada wawancara pada Jumat, Trump mengatakan keputusannya untuk mengenakan tarif pada barang-barang dari Kanada, Meksiko, dan China adalah "murni ekonomi". Namun, para ekonom khawatir hal ini dapat 'menyalakan' kembali inflasi pada saat tampaknya tekanan harga mulai mereda.

Menanggapi hal ini, pemerintah China mengecam pengenaan tarif bea masuk tambahan sebesar 10% atas barang ekspornya. Kendati dikenakan tarif yang lebih tinggi, China tetap membuka pintu untuk perundingan dengan AS.

Ini diyakini dapat menghindari konflik yang semakin dalam. Beijing akan menentang tarif Presiden Donald Trump dan membawa masalah ini ke meja Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

China menegaskan akan mengambil "tindakan balasan" yang tidak ditentukan sebagai tanggapan atas pengenaan tarif tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Kementerian Keuangan dan Perdagangan China.

Tidak hanya China, Kanada dan Meksiko pun siap memberikan balasan.

Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengatakan negaranya akan membalas tarif baru Trump dengan mengenakan tarif sebesar 25% pada barang-barang AS mulai dari minuman hingga peralatan.

Adapun, Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum telah memerintahkan tarif pembalasan. Dalam posting yang panjang di X, Sheinbaum mengatakan pemerintahnya menginginkan dialog daripada konfrontasi dengan tetangganya ini, tetapi Meksiko terpaksa menanggapi dengan cara yang sama.

"Saya telah menginstruksikan menteri ekonomi saya untuk melaksanakan rencana B yang telah kami kerjakan, yang mencakup tindakan tarif dan non-tarif untuk membela kepentingan Meksiko," tulis Sheinbaum, tanpa merinci barang-barang AS apa yang akan menjadi target pemerintahnya.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. PMI Manufaktur Indonesia (07:30 WIB)
  2. Caixin Manufacturing PMI (08:45 WIB)
  3. IHK Indonesia periode Januari 2025 (11:00 WIB)

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  1. Pemberitahuan RUPS Rencana 31-12-2024 BPD Lampung (Bank Lampung)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular