Deretan Bencana Alam Mematikan Tahun 2024, Korban Tewas Berjatuhan

Emanuella B, CNBC Indonesia
28 December 2024 18:15
Seorang warga terlihat di rumah sementaranya yang terendam banjir untuk warga yang terpaksa mengungsi karena gempa bumi 1 Januari 2024 di Wajima, Prefektur Ishikawa, Jepang, 22 September 2024, dalam foto yang diambil oleh Kyodo. (Mandatory credit Kyodo/via REUTERS)
Foto: Seorang warga terlihat di rumah sementaranya yang terendam banjir untuk warga yang terpaksa mengungsi karena gempa bumi 1 Januari 2024 di Wajima, Prefektur Ishikawa, Jepang, 22 September 2024, dalam foto yang diambil oleh Kyodo. (via REUTERS/KYODO)

Jakarta, CNBC Indonesia- Tahun 2024 tercatat sebagai salah satu tahun paling meninggalkan jejak pilu dalam sejarah bencana alam. Dari badai dahsyat hingga gelombang panas ekstrem, bumi seakan berteriak di tengah perubahan iklim yang semakin nyata.

Para ilmuwan terus memperingatkan bahwa kenaikan suhu global memperburuk dampak bencana, menjadikannya lebih sering, lebih mematikan, dan lebih merusak. Setiap angka korban jiwa bukan sekadar statistik, tetapi juga cerminan kisah manusia yang kehilangan tempat tinggal, keluarga, dan masa depan.

Kerugian akibat bencana tidak hanya diukur dari nyawa yang hilang, tetapi juga dampak ekonomi yang menghancurkan.

Di Amerika Serikat saja, hingga 1 November 2024, tercatat 24 kejadian cuaca ekstrem dengan kerugian masing-masing melebihi $1 miliar, menurut National Centers for Environmental Information. Ironisnya, meski Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP29) di bulan November sepakat untuk melipatgandakan dana perlindungan bagi negara berkembang, Simon Stiell, Sekretaris Eksekutif UN Climate Change, mengingatkan bahwa dunia masih menghadapi "gunung pekerjaan yang belum selesai."

Gelombang bencana di tahun ini menunjukkan betapa gentingnya situasi ini. Badai tropis, banjir bandang, tanah longsor, gempa bumi, hingga gelombang panas melanda berbagai belahan dunia, meninggalkan jejak kehancuran yang luar biasa. Dari Filipina hingga Arab Saudi, dari Papua Nugini hingga Jepang, bencana alam tahun ini telah mengajarkan kita pelajaran berharga tentang perlunya solidaritas global untuk menghadapi ancaman ini.

Di Filipina, Topan Tropis Trami atau Kristine merenggut 141 nyawa pada akhir Oktober, dengan curah hujan setara dua bulan dalam 24 jam yang menyebabkan banjir dan tanah longsor. Di sisi lain dunia, gelombang panas saat pelaksanaan Haji di Arab Saudi mengakibatkan lebih dari 1.300 orang meninggal karena stroke panas, menjadikannya tragedi paling mematikan selama ziarah tahunan tersebut. Suhu di Mekah bahkan mencapai lebih dari 51 derajat Celsius, menggarisbawahi betapa rentannya manusia terhadap perubahan iklim.

Bencana lain datang dari Papua Nugini, di mana tanah longsor pada Mei menewaskan lebih dari 670 orang dan mengubur ribuan lainnya. Di Jepang, gempa bumi dengan kekuatan 7,6 SR pada awal tahun baru merenggut setidaknya 213 jiwa dan menghancurkan hampir 2.000 rumah. Tak jauh berbeda, hujan lebat di Nepal pada akhir September memicu banjir dan longsor yang mengakibatkan 192 korban jiwa, terutama di Lembah Kathmandu.

Di Amerika Serikat, Badai Helene mencatatkan kerusakan terparah sejak Badai Katrina pada 2005. Dengan kategori 4, badai ini menghancurkan wilayah Tenggara, menyebabkan setidaknya 225 kematian dan kerugian ekonomi hampir $60 miliar di Carolina Utara saja. Sementara itu, kebakaran hutan di Chili pada Februari menjadi yang paling mematikan dalam sejarah negara tersebut, menewaskan 136 orang dan melalap sebagian besar wilayah Valparaíso.

Bencana alam ini juga merupakan panggilan untuk bertindak. Dunia tidak boleh lagi menunda. Dari Filipina hingga Arab Saudi, dari Jepang hingga Papua Nugini, kisah-kisah ini menyampaikan pesan yang sama, jika kita tidak berubah, bencana serupa akan terus datang, dan harganya akan terus tak terbayar.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation