
Negara Hadir di Tangan Jokowi, Bukit Cinta Jadi Saksi

Jakarta, CNBC Indonesia - Pembangunan telah mengubah peradaban dan wajah Indonesia di wilayah terdepan, terluar dan tertinggal (3T) ke arah yang lebih baik.
Bagian kecil wajah Indonesia yang sudah berubah tergambar di Bukit Cinta di wilayah Desa Tasinifu, Dusun Oelbinose, Kecamatan Mutis, Timur Tengah Utara ataupun di wilayah perbatasan Oepoli, Nusa Tenggara Timur (NTT).
CNBC Indonesia mengunjungi wilayah-wilayah 3T mendekati perbatasan Timor Leste pada Senin-Selasa (9/10 September 2024) mulai dari Oelbinose hingga Oepoli.
Jalur menuju kawasan Oelbinose berliku, berdebu, melewati banyak bukit yang curam dan terjal serta melintasi banyak kawasan hutan. Mobil yang membawa kami dari Kota Kupang pada Senin pagi melaju mulus di hampir semua ruas. Mobil kami turun naik bukit tak henti-henti dan melewati pemandangan yang berganti-ganti mulai dari kota yang sudah modern, puluhan gereja yang megah, pasar yang sibuk, hutan yang asri, jalan penuh bunga, persawahan, perkampungan, hingga tanah gersang dan perbukitan kapur.
Kami mulai terguncang-guncang hebat di jalur Kapan, Kecamatan Mollo Utara, Timur Tengah Selatan hingga Eban, Kecamatan Miomaffo Barat, Timor Tengah Utara (TTU) karena jalanan rusak.
Sebagian jalan yang rusak parah karena tengah dalam perbaikan. Tumpukan pasir dan semen, alat berat seperti tandem roller hingga asphalt finisher berjajar berpacu bekerja di jalur Kapan yang sangat berliku-liku, penuh lubang, dan berdebu.
Jalan kembali mulus mendaki Bukit Oelbinose. Setelah menempuh 171 km dan 4,5 jam perjalanan dari Kupang, kami beristirahat di Bukit Cinta, Mutis, TTU.
Suhu dingin 29 derajat Celcius, angin kencang, suara ringkikan kuda, dan lenguhan sapi menyambut kami.
![]() Bukit Cinta Oelbinose, Timor Tengah Utara, NTT |
Bebatuan karang tersusun indah di lereng bukit yang berkelok-kelok. Gerombolan sapi-sapi dan kuda tengah asyik makan rumput di hamparan padang sabana yang membentang di antara deretan pohon Ampupu.
Di balik punggung pegunungan bukit ini sudah masuk kawasan perbatasan dengan Timor Leste, wilayah enclave Distrik Oecusse.
Sebelum turun dari mobil, driver yang menemani kami mengingatkan untuk mematikan layanan roaming telepon seluler. Benar juga, saya langsung mendapatkan SMS dari provider Timor Leste, Telemor, dan ada peringatan roaming meskipun sinyal dari jaringan lokal masih berstatus 4G/LTE.
Teman perjalanan kami, Felix Lau, bercerita Bukit Cinta yang penuh kedamaian, sejuk, asri, dan dikelilingi pemandangan memukau ini dulunya adalah tempat "keramat".
Namun, "kekeramatan" Bukit Cinta perlahan sirna karena hadirnya infrastruktur telekomunikasi, seperti menara Base Transceiver Station (BTS).
![]() Bukit Cinta Oelbinose Timor Tengah Utara, NTT |
Bukit ini awalnya bernama Bukit Kael. Namanya berubah menjadi Bukit Cinta karena di sana lah masyarakat sekitar bisa mendapatkan sinyal seluler untuk menelpon keluarga, kekasih, hingga sahabat untuk sekedar melepas rindu dan berkirim cinta lewat jarak jauh.
Bukit Kael dinamai Bukit Cinta sekitar 2014 oleh Personil TNI Satgas Pamtas RI-RDTL Sektor Barat Pos Oelbinose. Pos perbatasan tersebut memang terletak persis di pinggir kawasan Bukit Cinta.
Tentara yang bertugas di sanalah yang pertama kali menemukan titik sinyal saat mencari-cari jaringan sinyal untuk menelpon keluarga tercinta.
Bukit Cinta kemudian melegenda karena tempat itu menjadi satu-satunya tempat warga sekitar untuk mendapatkan sinyal seluler.
Selama bertahun-tahun bukit tersebut menjadi saksi dan telinga bagi orang yang mengirim cerita bahagia, menunggu berita dengan harap-harap cemas, mengabarkan kelahiran, menyampaikan kabar kematian, hingga mengurus keperluan sekolah. Sinyal seluler di sana menjadi penyelamat, mendekatkan yang jauh dan mengatasi sejumlah persoalan.
Namun, tak mudah bagi warga sekitar yakni di wilayah Aplal, Dusun Oelmuke, Desa Tasinifu, hingga Naekake untuk pergi ke Bukit Cinta.
![]() Pos tentara Oelbinose dan jalan sekitar Oelbinose, Mutis, Timor Tengah Utara, NTT |
"Beta dulu harus jalan 2 jam lebih ke bukit untuk telepon. Pernah Beta di sana dari pagi sampai siang karena menelpon dan mencari tahu kabar anak yang sekolah di Kefa (Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara)). Jalannya rusak dan penuh batu, tak bisa cepat sampai kalau jalan dan naik motor," tutur Feni, warga Naekake B bercerita kepada CNBC Indonesia.
Periode 2019 ke bawah, warga di sana harus memutar dan menempuh lereng bukit bebatuan dengan kemiringan 45 derajat sejauh 4-10 km demi mencapai Bukit Cinta dan menemukan jaringan sinyal.
"Kami telpon kalau ada yang penting-penting saja karena jauh," ujar Feni.
Cerita sama disampaikan Arji Nikolo. Pemuda berusia 30 tahun tersebut bercerita bagaimana sulitnya mencari sinyal telepon sebelum awal 2000 di sekitar Oelbinose.
"Beta harus jalan sampai 1 jam lebih. Banyak yang duduk-duduk di sana sampai sore. Beta ingat ada bapak-bapak guru di sana bawa laptop bekerja dari pagi sampai sore. Ada ratusan orang kalau ramai. Ada yang menangis karena telpon keluarganya meninggal," tuturnya kepada CNBC.
Arijo bercerita sampai sekarang Bukit Cinta masih tetap ramai dikunjungi saat akhir pekan. Namun, mereka tidak lagi pergi ke sana untuk mencari sinyal tetapi berekreasi.
Saat CNBC sampai di sana, bukit tersebut memang sangat sepi. Hanya ada gerombolan sapi dan kuda sedang makan rumput. Kedamaian dan suasana hening di bukit tersebut jauh berbeda saat warga ramai-ramai mencari sinyal satu dekade lalu.
Jalanan di sekitar wilayah itu yang dulu berupa bebatuan kasar, curam dan terjal kini sudah berganti menjadi aspal mulus hotmix.
"Ini jalan yang terbaik yang pernah Beta lihat seumur-umur hidup. Ini berkat Pak Jokowi (Joko Widodo)," tutur dirver kami, Otniel Paulus Adu (58 tahun), yang sudah lebih dari 17 tahun lalu lalang melalui jalur tersebut.
Tak hanya jalan, jaringan sinyal kini sudah semakin kencang.
"Sekarang beta Cuma duduk saja untuk telpon saudara jauh. Di rumah Beta bisa lihat berita. Ah kemarin Beta suka sekali lihat-lihat berita mau pemilu," kata Feni tertawa sambal memperlihatkan giginya yang merah karena rajin mengunyah pinang dan sirih.
Wanita berusia 45 tahun tersebut juga dengan bangga menuturkan kalau sekarang sudah bisa belanja online dan bermain media sosial seperti Facebook. Sinyal telepon yang sudah cukup kuat membuatnya bisa merasakan apa yang dulu dianggapnya hanya mimpi.
Di seberang rumahnya, berjarak sekitar 20 meter berdiri menara Base Transceiver Station (BTS) dari Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Sinyal seluler sudah masuk di desa-desa kawasan Bukit Oelbinose sejak 2019 dan semakin kuat sinyalnya pada 2022.
Salah satunya adalah dari BAKTI Kominfo. Terdapat tiga menara BTS BAKTI di Kecamatan Mutis yang memilikiluas 90 km² yakni di Desa Naekake A, Naekake B dan Noelelo yang dibangun pada 2021. Di dekat Naekake B juga terdapat menara BTS di Desa Netemnanu,Kabupaten Kupang.
Kecamatan Mutis, di mana Bukit Cinta berdiri, adalah salah satu dari 24 kecamatan di Kabupaten TTU.
Kecamatan Mutis terdiri dari empat desa yaitu Tasinifu, Naekake A, Naekake B dan Noelelo. Desa Naekake A merupakan pusat pemerintahan di Kecamatan Mutis.
Secara keseluruhan, BAKTI sudah membangun 428 menara BTS di seluruh pelosok NTT sejak 2021. Di antaranya di wilayah 3T yang perbatasan dengan Timor Leste seperti Kabupaten Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, hingga TTU.
![]() Menara BTS Bakti Netemnanu, Kab Kupang NTT |
Kepada CNBC Indonesia, Franco yang merupakan warga Naekake A bercerita bagaimana sinyal telepon seluler dan internet mengubah dan mempermudah hidupnya.
"Dulu Beta kalau kirim uang buat sekolah anak harus tunggu oto (mobil kurir yang memberi layanan kirim uang). Duit baru sampai 1-2 hari. Sekarang banyak BRILink, cukup ke tetangga sudah bisa kirim uang buat anak, sampai cepat," ujarnya.
Data PT Bank Rakyat Indonesia mencatat jumlah agen BRILink di Kabupaten TTU sudah mencapai 428 orang. Jumlah transaksi hingga Juli 2024 sebanyak 190.974 dengan nilai Rp 134,04 miliar.
Perluasan akses keuangan bersamaan dengan hadirnya jaringan internet menjadi bukti jika pembangunan di sana sudah memberi banyak manfaat.
Setelah 70 dekade lebih melepaskan diri dari penjajah, warga sekitar Oelbinose kini sudah merasakan kemerdekaan lain yakni berkomunikasi.
Tak hanya menopang ekonomi, jaringan sinyal yang lebih kuat juga menggenapi kebahagiaan warga di sana. Kini mereka merasakan "kemerdekaan" yang sama dengan saudara mereka di kota besar lain.
Panasnya suhu politik di Jakarta saat pemilu ataupun riuh rendah pendukung tim nasional (timnas) di Stadion Gelora Bung Karno yang berjarak 2.840 km bisa mereka ikuti dalam genggaman tangan.
Beberapa warga sekitar masih kerap mendaki Bukit Oelbinose dan mendatangi pos tentara. Bukan mencari sinyal tetapi untuk nonton bareng timnas.
"Orang biasa ke sini (pos) nonton bola sepak lewat HP atau minta wifi untuk nobar," tutur Kopda Jony Feri Sidarauk yang bertugas di pos tentara Oelbinose.
Data BPS menunjukkan persentase warga TTU yang pernah menggunakan HP dan menggunakan internet melonjak sejak adanya menara-menara BTS.
Tak Ada Lagi Pohon Sinyal yang Keramat
Bukit Cinta tak sendiri. Di sepanjang wilayah 3T banyak tempat yang pernah "keramat" dan menjadi saksi susahnya mendapatkan jaringan telepon seluler tetapi kini sudah "merdeka". Di antaranya "pohon sinyal" di wilayah perbatasan Oepoli, di Desa Netemnanu Utara, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, NTT.
Dari Bukit Cinta Oelbinose, kami melanjutkan perjalanan ke Oepoli. Mobil kami melaju di atas aspal yang baru saja jadi. Jam menunjukkan pukul 15.00 WITA tetapi suhu masih terik hingga 33 derajat Celcius. Deretan pohon kayu putih yang meranggas di musim kemarau menghiasai bukit di sepanjang jalanan. Indah sekaligus tragis.
Di sepanjang jalan, banyak anak-anak kecil dan berusia tanggung yang memikul jerijen untuk membawa air. Topografi wilayah di sana memang bukit-bukit tandus dan tinggi, air bersih masih sulit didapat karena letaknya jauh di bawah permukaan bumi.
Sumber air adalah hal yang sangat berharga dan sangat dihormati. Mungkin itulah salah satu alasan puluhan desa menemai wilayah mereka dengan menambah kata "oe' atau dalam setempat berarti air. Di TTU saja terdapat 30 desa yang berawalan Oe seperti Oemanu, Oesoko, dan Oetulu.
Teman seperjalanan kami, Felix Lau, bercerita anak-anak sekolah biasanya diminta orang mengambil air sepulang sekolah.
Sebelumnya, sebagian jalanan yang berkelok-kelok dan curam di sana hanya berupa tanah yang dikeraskan atau masih berupa bebatuan kasar sehingga semakin menambah penderitaan anak-anak tersebut. Jalan yang kini sudah mulus sedikit mengurangi beban mereka. Bantuan pemerintah dalam pembangunan sumber mata air juga semakin banyak.
Menurut Felix, pengaspalan besar-besaran dilakukan pada 2022 kini menuai hasilnya.
Sebelumnya, butuh waktu lebih dari 5 jam untuk sampai dari Naekake A ke Oepoli yang berjarak sekitar 25 km tetapi kini bisa dipersingkat hanya 2 jam.
Penduduk setempat pun dulu harus menyebrangi sungai di Desa Noelelo jika bepergian ke wilayah tersebut. Jembatan penghubung kini sudah dibangun.
Kami akhirnya sampai di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Oepoli menjelang Maghrib setelah melintasi 217 km dari Kupang dengan jarak tempuh sekitar 8 jam. Perjalanan kami termasuk singkat jika dibandingkan yang warga alami lima tahun lalu.
Untuk sampai ke Oepoli dari Kupang, dulu ditempuh dengan waktu 12 jam karena medan masih sangat berat. Di musim hujan, jarak tempuh bisa 1-2 hari karena banyaknya sungai tanpa jembatan yang harus dilalui. Kadang sungai meluap dan tak bisa dilalui. Jalanan yang licin juga menyulitkan kendaraan bergerak karena berbahaya. Alhasil, banyak warga menginap di jalan.