
SRBI - SBN Lebih Dilirik, Bank Saling Sikut Cari Dana Murah

Jakarta, CNBC Indonesia - Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Surat Berharga Negara (SBN) ternyata lebih dilirik daripada deposito bank.
Hal tersebut sebenarnya menjadi jurus jitu dalam menjaga profitabilitas bank, tetapi jadi satu ancaman bagi likuiditas bank yang ketat dalam penyaluran kredit.
SRBI yang merupakan instrumen baru Bank Indonesia (BI) sejak diluncurkan pada 15 September 2023 lalu laris manis di pasar.
Bahkan, bank pun ikut memburu instrumen tersebut. Terlihat dalam grafik berikut sejak diluncurkan hingga akhir Juli 2024 porsi SRBI terus melebar pada penempatan dana BI.
![]() Porsi penempatan SRBI pada BI |
Berdasarkan siaran pers BI, sejak awal tahun sampai akhir setelmen pekan lalu, non residen sudah mengakumulasi SRBI hingga Rp185,29 triliun.
Sebagai catatan, SRBI adalah penguat kebijakan suku bunga acuan yang pro-market dalam rangka memperkuat upaya pendalaman pasar uang, mendukung upaya menarik portfolio inflows, serta untuk optimalisasi aset SBN yang dimiliki BI sebagai underlying.
Sementara itu, Surat utang RI atau SBN juga tercatat menjadi buruan investor selama dua tahun terakhir. Menurut laporan BCA yang mengumpulkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan BI mencatat indeks preferensi investor masuk ke SBN lebih tinggi dibandingkan deposito sebagaimana terlihat pada grafik berikut :
![]() Indeks preferensi SBN dibandingkan deposito bank |
SRBI sampai SBN yang laris manis ini disinyalir berkat imbal hasil atau yield yang diberikan cukup atraktif, terlebih selama dua tahun ke belakang ini memang sedang dalam era suku bunga tinggi.
Keberadaan instrumen tersebut bisa menjadi bantalan bagi perbankan untuk menjaga profitabilitas mereka. Namun, ini bisa berubah menjadi ancaman bagi likuiditas untuk penyaluran kredit yang menipis.
Hal ini tercermin dari data Loan to Deposit Ratio (LDR) yang meningkat. Jika dibandingkan sejak diluncurkan SRBI pada September 2023, LDR bank umum menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berada di 83,92%. Angka ini kemudian naik pada akhir Juni 2024 menjadi 85,74%.
Peningkatan LDR menunjukkan likuiditas semakin ketat. Namun, perlu diakui bahwa di level saat ini LDR bank masih di angka yang ideal dan belum memicu crowding out.
Pelaku pasar beberapa waktu lalu sempat khawatir terjadinya fenomena Crowding out, ini merupakan istilah yang menggambarkan terserapnya aliran dana dari pasar keuangan ke salah satu instrumen otoritas, sehingga likuiditas sulit diperoleh oleh pelaku pasar keuangan.
Meski begitu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo membantah hal itu. Ia mengatakan, imbal hasil atau yield SRBI untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan per 12 Juli 2024 yang tercatat masing-masing 7,30%, 7,39%, dan 7,43% tak memicu munculnya fenomena crowding out.
"Apakah terjadi crowding out? jawabannya tidak. Dari sisi SRBI dan SBN, baik dari suku bunga dan juga lelangnya SBN untuk pembiayaan fiskal," ucap Perry saat konferensi pers di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (17/7/2024).
Selain membantah adanya pengetatan likuiditas, Perry juga menekankan, keberadaan SRBI dengan yield tinggi itu juga tak menyebabkan pengetatan likuiditas. Sebab, likuiditas perbankan masih tinggi, tergambar dari data rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tercatat tinggi sebesar 25,36%.
"Apakah ini cukup? lebih dari cukup karena sepanjang history alat likuid per DPK pada umumnya tidak akan lebih dari 15%, jadi lebih dari cukup," tegas Perry.
Sementara itu, pertumbuhan kredit dalam satu industri bank juga terbilang masih ekspansif. BI menyebut hingga akhir Juli 2024 penyaluran kredit tumbuh 12,4% secara tahunan (yoy).
Kredit juga diperkirakan masih bisa tumbuh ekspansif pada paruh kedua tahun ini terdongkrak prospek penurunan suku bunga yang semakin dekat sehingga minat kredit masyarakat pun meningkat.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)